Masuk Daftar
My Getplus

Patas AC, Bus Kota Kaum Eksekutif

Patas AC, bus kota pertama berpendingin udara. Nyaman dan mewah tapi sepi penumpang.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 06 Apr 2019
Bus buatan karoser Volgren asal Australia. Bus ini menjadi salah satu armada awal Patas AC di Indonesia. (Wikimedia).

Naik bus kota berpendingin udara di Jakarta pada 1993 menjadi kesenangan tersendiri bagi Bayu Kusuma Yuda, karyawan swasta. “Busnya bagus dan baru. Jika ingin turun dari bus, kita bisa memencet bel untuk memberi tahu sopir. Lalu pintu terbuka otomatis. Canggih. Sangat keren pada masanya untuk anak kecil seperti saya,” cerita Bayu dengan fasih.

Bayu waktu itu masih berusia 5 tahun. Rumahnya di Rawamangun, Jakarta Timur. Tak jauh dari jalan raya lintasan bus Patas dan Patas AC. Dia ingat naik bus Patas AC bersama ayahnya. Duduk di kursi belakang. Bus itu milik Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Warnanya putih mulus. “Dulu namanya Patas AC RMB (Rute Metode Baru),” kata Bayu.

Bus ini masuk ke Indonesia pada 1992. Mesinnya dari pabrikan Mercedes Benz, Jerman, dan karoserinya buatan Volgren, Australia. Kali pertama digunakan untuk mengangkut anggota delegasi negara Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok (KTT GNB) di Jakarta pada 1-6 September 1992.

Advertising
Advertising

Setahun setelah KTT GNB, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jakarta 11 Mei 1993, bus ini mengaspal untuk khalayak. Menjadi armada Patas AC. Ciri khasnya, badan bus terbuat dari aluminum dan terdapat kotak ongkos (fare box) di samping kiri sopir.

Penumpang harus mencemplungkan ongkos sebesar Rp1.300 ke kotak tersebut ketika memasuki bus. Sebab tak ada kondektur di dalam bus. Karena itulah disebut RMB. Sistem baru untuk menggantikan sistem Patas AC sebelumnya.

Pelengkap Patas

Gagasan Patas AC berpunca pada masa Soeprapto, gubernur Jakarta 1982-1987. Dia menginginkan bus Patas kelak lebih nyaman daripada masanya. Saat itu, bus Patas telah beroperasi melayani sejumlah rute di Jakarta: Utara-Selatan, Timur-Barat, Timur-Utara, dan Barat-Utara.

Baca juga: Patas, Bus Kaum Berdasi

“Untuk menarik minat masyarakat, bus Patas harus dilengkapi AC,” kata Soeprapto dalam Kompas, 7 Agustus 1984. Keinginan Soeprapto serupa dengan rencana Sukresno, direktur utama PPD. “PN (Perusahaan Negara) PPD sedang memikirkan untuk mencoba mengadakan bus kota khusus untuk eksekutif,” kata Sukresno dalam Aktuil, 4-17 Oktober 1982.

PPD merencanakan bus ini akan beroperasi di jalur-jalur padat kendaraan dan sarat penumpang. Pokoknya simpul-simpul pusat perdagangan dan perkantoran. “Akan disediakan bus eksekutif ber-AC untuk mengangkut manajer, kepala kantor, kasir, sekretaris, dan setarafnya dari titik dekat tempat tinggalnya ke jurusan tempat tinggalnya,” lanjut Sukresno.

Bagaimana dengan bus Patas yang lebih dulu ada?

Banyak orang menilai bus Patas telah gagal mencapai misi awalnya sebagai bus untuk kaum berdasi. Maksudnya supaya kaum berdasi meninggalkan kendaraan bermotor pribadi di garasi dan memilih naik bus tersebut. Tapi selepas setahun beroperasi, bus Patas menjelma selaik bus kota reguler. Berhenti di sembarang tempat, mudah kotor, sering ngetem, ugal-ugalan, dan penuh penumpang. Siapa pula yang mau naik bus kota seperti ini jika tidak terpaksa?

Baca juga: Bus Patas dari Cepat Terbatas Jadi Tanpa Batas

Patas tidak lagi cepat dan terbatas, melainkan tanpa batas. Akhirnya kaum berdasi menggunakan kendaraan bermotor pribadi lagi. Jalanan pun bertambah macet. Bahkan untuk memperlancar arus kendaraan bermotor, trotoar sampai harus dipapras. Hanya tersisa sedikit ruang bagi pejalan kaki.

Ketika trotoar kian menyempit, gagasan Patas AC kian melebar. Ia dibicarakan banyak lembaga berwenang seperti Departemen Perhubungan, PPD, operator bus swasta (Mayasari Bakti), dan pemerintah daerah. Konsep operasi busnya seperti Patas non-AC : hanya boleh berhenti di halte tertentu dan tidak diperkenankan mengangkut penumpang berlebih.

Semua sepakat bahwa bus Patas AC adalah sebuah keharusan. Mereka telah menghitung tarifnya: Rp750 sekali jalan, jauh ataupun dekat. Tarif itu dua kali lipat dari bus Patas non-AC (Rp350) atau tiga kali lipat dari bus kota reguler (Rp200). Sebagai perbandingan, harga solar ketika itu Rp250 per liter dan biaya hidup rata-rata sebulan di Jakarta sebesar Rp150.000.

Pihak berwenang merencanakan akhir Juli 1987 sebagai waktu ujicoba Patas AC mengaspal. Tapi rencana itu batal. Berbagai macam penyebabnya. Dari ketidaksiapan armada sampai kebuntuan penetapan rute. Penjadwalan ulang dilakukan. Targetnya Februari 1988. Lagi-lagi molor. Hingga satu bulan.

Sepi Penumpang

Akhirnya hari bersejarah itu tiba. 21 Maret 1988. Bus Patas AC milik PPD mulai beroperasi. Rutenya membentang dari Blok M ke Kota. Inilah bus baru untuk kaum eksekutif. Kursinya berbusa dan empuk. Kaca gelap supaya penumpang tidak silau. Udara sejuk mengalir dari AC dan musik lembut mengalun dari pengeras suara. Penumpang akan benar-benar merasa nyaman dan bahkan bisa tertidur pulas di tengah kemacetan dan terik jalanan ibukota.

Kapasitas bus Patas AC lebih sedikit daripada Patas non-AC. Hanya 34 kursi dengan formasi 2-2. Bandingkanlah dengan Patas non-AC, 50 kursi dengan formasi 2-3. Jarak antarkursi di Patas AC jadi lebih luas. Kaki tidak melulu tertekuk. Gang untuk berjalan juga jadi lebih lebar.

Baca juga: Suka Duka Sopir Bus Dodge

Sopir dan kondektur berkemeja rapi. Kerah mereka dihias oleh dasi kupu-kupu. Sopir mengemudikan dengan santai, sesuai aturan lalu-lintas menyangkut bus kota. Tak ada sistem setoran sehingga sopir tidak kejar target dan ugal-ugalan.

Kondektur bertugas memberi penumpang karcis dan memberitahukan kantor pusat di mana posisi bus berada. Karena itu, tangannya selalu memegang radio komunikasi. Kantor pusat tidak perlu lagi mengirim pengawas ke jalanan. Semua jadi lebih terkendali.  

Tapi nasib Patas AC pada hari pertama serupa Patas non-AC: sepi penumpang. Menurut warga, tarifnya terlalu mahal. Tidak terjamin lebih cepat tiba di tujuan pula. Sebab jalurnya bersatu dengan kendaraan bermotor lainnya. Sementara menurut pihak berwenang, penyebab bus Patas AC sepi penumpang lebih karena warga kekurangan informasi tentang Patas AC.

Ternyata keadaan sepi berlanjut hingga hari dan bulan-bulan berikutnya. Menurut Kompas, 11 Juli 1988, Patas AC hanya mengangkut 150 penumpang per hari. Satu hari menempuh 14 rit. Berarti rata-rata hanya 10 penumpang terangkut tiap satu rit.

“Masyarakat bermobil yang jadi incaran pengadaan bus Patas AC, sepertinya tak berhasil digaet oleh kehadiran bus yang lumayan luks ini,” tulis Kompas. Perlu waktu dua tahun bagi Patas AC untuk penuh penumpang.

Memasuki 1990-an, barulah Patas AC menemukan pasarnya. Penumpang perlahan memenuhi Patas AC. Penyimpangan aturan pun terjadi seperti di Patas non-AC. Kemudian penjahat juga mulai menyasar bus ini. Hingga akhirnya membuat pihak berwenang memikirkan ulang sistem operasi Patas AC. Salah satunya melalui sistem RMB.

TAG

Transportasi

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Sejarah Kereta Malam di Indonesia Masa Lalu Lampu Lalu Lintas Pemilik Motor Pertama di Indonesia Sukarno Bikin Pelat Nomor Sendiri Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia SIM untuk Kusir dan Tukang Becak Begitu Sulit Mendapatkan SIM Kemacetan di Batavia Tempo Dulu Mula Istilah Kuda Gigit Besi