Anda masih ingat adegan Dono mengamen di bus kota dalam film Godain Kita Dong (1989)? Dia berambut gimbal dan memainkan alat musik tuts. Madonna (Lisat Patsy), pacarnya, menyanyi parodi lagu Hati Yang Luka karya Betharia Sonata.
Penumpang, semuanya duduk, menikmati sajian tersebut. Sebagian mereka tampak perlente: berkemeja, berdasi, dan berpantofel.
Penumpang perlente naik bus kota bukanlah pemandangan kaprah. Di Jakarta, misalnya, mereka memilih menggunakan mobil pribadi untuk ke tempat kerja atau urusan bisnis.
Penumpang perlente tidak percaya dengan pelayanan bus kota. “Kumuh, panas, sesak, berdebu, macet, dan lambat,” begitulah kesan mereka. Kalau nekat pakai bus kota, pakaian jadi kucel, kulit bersisik, badan bau knalpot, dan wajah kuyu. Belum lagi kalau telat sampai ke tempat tujuan. Atasan bisa marah dan klien mendadak kecewa. Runyam urusan.
Bus kota lebih banyak dipilih oleh kaum kusam, pelajar, mahasiswa, dan pemuda bertampang kriminil. “Di dalam bus kota ini pencopetan, perampasan, pembajakan, serta tindak kekerasan lainnya bisa terjadi setiap saat, termasuk kejahatan seks,” tulis Tim Prisma dalam “Angkutan Kota Jauh dari Harapan”, No. 12 tahun 1986.
Baca juga: MRT, Sebuah Keajaiban di Jakarta!
Pemerintah daerah Jakarta berupaya mengubah gambaran seram bus kota pada 1981. Mereka menggagas bus kota cepat dan terbatas (Patas). Bus ini nantinya mempunyai halte khusus untuk naik-turun penumpang. Tidak semua halte disinggahi oleh bus ini. Sehingga bus akan lebih cepat tiba ke tempat tujuan.
Jumlah penumpang bus Patas dibatasi. Mereka semua bakal duduk di kursi berbusa. Tak boleh ada yang berdiri. Betapa nyamannya!
Bandingkanlah dengan bus kota biasa. Kursi plastik nan keras dan orang-orang berdiri hingga ke pintu. Sampai membuat bus doyong ke kiri. Inilah saat-saat copet mengintai. Siapa yang lengah, dompetnya lekas berpindah.
Soal keamanan menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam mengubah citra bus kota. Kriminalitas terjadi karena tidak ada petugas keamanan. Maka pemerintah daerah mengusulkan ada petugas keamanan khusus dalam pelayanan bus Patas. Sehingga copet dan kriminal lainnya akan berpikir berkali-kali beraksi di bus ini.
Baca juga: Bus Dodge Penguasa Jalanan Jakarta
Tapi untuk semua kenyamanan, kecepatan, dan keamanan bus patas itu, penumpang mesti membayar lebih mahal. Ada harga, ada kualitas. Demikian janji pemerintah daerah. Maka tarif bus Patas berada di angka Rp150, sesuai dengan SK Gubernur No. 2864/IV-1981 tertanggal 6 April 1981. Tiga kali lipat lebih tinggi daripada tarif bus kota biasa berjenis Dodge.
Pelajar dan mahasiswa harus bayar penuh jika naik bus Patas. Tak ada tarif khusus untuk mereka sebagaimana di bus kota biasa. Karena itu, jelaslah segmen pasar bus Patas. “Kalangan 'berdasi' diharapkan ikut menggunakan,” tulis Kompas, 12 Maret 1981.
Operator bus menyongsong girang gagasan pemerintah daerah tentang bus Patas. Mereka siap memberikan pelayanan lebih jika memang tarifnya lebih pula. Armada baru pun sudah ada. Bus merk Mercedes Benz buatan Jerman. Pengganti bus-bus Dodge keluaran Amerika Serikat yang muncul pada 1970-an.
Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), perusahaan milik negara sejak 1981, terpilih sebagai operator pertama bus Patas di Jakarta. Bus Patas pertama kepunyaan PPD mengaspal sepanjang Blok M (Selatan)-Kota (Utara), poros paling sibuk dan prestisius di Jakarta. Tersedia sepuluh bus Patas untuk rute ini.
Hari pertama pengoperasian bus Patas PPD pada Sabtu, 10 April 1981, memang kurang menarik perhatian. Penumpang bus Patas sepi. Tapi hari-hari berikutnya, kursi-kursi bus Patas mulai terisi penuh.
Baca juga: Suka Duka Sopir Bus Dodge
Penumpang perlente perlahan kepincut dengan layanan transportasi baru ini. Mereka meninggalkan mobil pribadinya di garasi rumah.
Pemerintah daerah merasa upayanya menggaet segmen penumpang perlente berhasil. Mereka kemudian mengembangkan rute bus Patas pada November 1981 ke berbagai arah. Antara lain Pulogadung (Timur)-Kota, Cililitan (Timur)-Grogol (Barat), dan Pulogadung-Blok M.
“Bus kota Cepat Terbatas (Patas) akan langsung menghubungkan daerah-daerah permukiman dengan daerah tempat bekerja dan demikian pula sebaliknya diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan bagi masyarakat tanpa menggunakan kendaraan pribadi,” tulis SK Gubernur No. 1085/1981 tentang pengembangan rute bus Patas.
Melalui SK itu pula, pemerintah daerah menunjuk Mayasari Bakti, operator swasta, sebagai pemain bus Patas untuk tiga rute tersebut. Tercatat 20 bus Mayasari Bakti hilir-mudik pada tahun-tahun awal penghidupan rute tersebut.
Tahun ke tahun, jumlah bus Patas kian bertambah dan rutenya makin berkembang. Tapi usulan baru tentang layanan bus Patas muncul pada 1988. Sebab kualitas layanan bus Patas mulai menurun. Kelak usulan ini menghasilkan jenis layanan bus baru: Bus Patas AC.