Sebuah bus Dodge sarat penumpang melaju kencang. Sopirnya ber-zig zag, menyalip belasan kendaraan bermotor. Pengendara bermotor lain hampir terserempet. Sumpah serapah keluar. “Mampus Kau, nanti!” kata pengendara sedan kepada sopir bus Dodge.
Tiba di persimpangan yang agak menurun, sopir bus Dodge kehilangan kendali. Bus menabrak tiang listrik dan terguling. Ringsek. Penumpang bergelimpangan.
Empat penumpang meninggal dunia, belasan lainnya luka-luka. Sopir dan kondekturnya selamat. Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyambangi lokasi kecelakaan. “Rupanya di sini jiwa manusia dianggap murah,” kata Hoegeng. Kecelakaan tunggal bus Dodge terjadi di Jalan Thamrin, jalan utama Jakarta, pada 20 Juli 1971.
Ekspres, 9 Agustus 1971, melaporkan gambaran perilaku sopir bus Dodge di jalan raya. Mereka laksana raja. Bertindak semaunya di jalanan demi cepat tiba di tujuan. “Kalau ditanyakan mengapa mereka demikian, alasan mereka karena uang setoran terlalu tinggi.”
Kejar Setoran
Menjadi sopir bus Dodge di Jakarta pada 1970-an bukanlah pekerjaan mudah. Tapi kesan orang sering seperti ini. “Ah, cuma menyetir bus baru saja, kok. Apa susahnya?” Bus mereka memang baru. Catnya bagus, warna-warni, setirnya enteng, persneling-nya lancar, dan mesinnya sehat.
Banyak penumpang awalnya suka dengan bus Dodge baru ini. Sehingga sopir pasti selalu dapat penumpang. Tiap penumpang naik berarti ada uang masuk ke kantong sopir. Makin banyak penumpang, makin kembang kantong sopir. Begitu teorinya. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.
Tekanan menjadi sopir bus Dodge cukup besar. Dan inilah yang membuat kerja sopir bus Dodge tidak mudah. Tekanan muncul dari berbagai arah: atas, bawah, dan samping.
Tekanan dari atas berasal dari operator swasta dan pemerintah. Sopir bus Dodge wajib menyetor hasil tarikan sebesar minimal Rp10.000 setiap hari kepada operator swasta. Uang sebesar itu cukup untuk membeli 200 kilogram beras. Menurut catatan bappenas.go.id, harga satu kilogram beras ketika itu antara Rp40-50. Sedangkan tarif naik bus Dodge sebesar Rp10.
Baca juga: Bus Dodge Penguasa Jalanan Jakarta
Sopir bus Dodge mempunyai batas maksimal mengemudi hingga 10 rit dalam sehari. Rit adalah ukuran perjalanan untuk satu kali bolak-balik dari tempat berangkat ke tujuan, dan sebaliknya.
Satu bus Dodge berkapasitas 40 penumpang. Jika dalam satu rit sopir berhasil membawa 80 penumpang, dia memperoleh Rp800. Katakanlah bus Dodge penuh penumpang sepanjang hari selama 10 rit. Berarti sopir bus Dodge akan mendapat Rp8.000. Ini tidak cukup untuk menutup target setoran. Belum ditambah uang bensin. Rata-rata sehari habis Rp2.000-3000.
Bagaimana kalau setoran tidak tercapai? “Hutang. Dan nanti kami bayar secara mencicil tiap hari,” kata seorang sopir bus Dodge dalam “Achirnja Sang Supir Jang Dibebani”, Ekspres, 19 April 1971.
Sopir bus Dodge mengemban sejumlah kewajiban dari pemerintah daerah. Seperti menaik-turunkan penumpang di halte, melajukan kendaraan di bawah 40 kilometer per jam, dan mengisi penumpang sesuai kapasitas bus.
Penumpang Tak Bayar
Tekanan dari bawah datang dari penumpang. Sopir bus Dodge kerapkali menerima protes seputar cara mengemudi dan kenyamanan di dalam bus. Ini berkaitan dengan upaya sopir bus Dodge mengejar setoran. Mereka melabrak aturan lalu-lintas dan ketentuan pemerintah tentang batasan kapasitas penumpang.
“Kalau turut aturan, mana bisa makan?” kata sopir bus Dodge dalam Ekspres, 26 September 1970. Akhirnya penumpang kesal dengan sopir bus Dodge. Makian serakah berulang kali keluar dari mulut penumpang untuk sopir bus Dodge. Untuk makian seperti ini, sopir bus Dodge sudah kebal.
Baca juga: Sejarah Tertib Berlalu-Lintas
Ada jenis penumpang lain yang paling menekan sopir Bus Dodge. Biasanya penumpang berstatus anggota ABRI. “Mereka mengeluh tentang banyaknya anggota ABRI yang hanya numpang saja,” tulis Ekspres, 19 April 1971. Kondektur sebenarnya sudah meminta ongkos ke mereka.
Tapi jawaban dari anggota ABRI, “Minta saja sama Bang Ali (Gubernur Jakarta 1966-1977). Kan, ini ABRI tidak punya uang.” Jawaban ini masih mendingan. Sewaktu-waktu “suatu bunyi ‘plok’ bisa dianggap sebagai pelunas ongkos bis itu,” tulis Ekspres. Maksudnya suatu gamparan bagi para kenek atau sopir karena berani-beraninya minta ongkos ke anggota ABRI.
Sering Nginap di Pool
Istri atau keluarga di rumah dan sesama penarik angkutan umum jadi tekanan lain bagi para sopir bus Dodge.
Penghasilan sopir bus Dodge tidak menentu. Kadang bisa melebihi setoran, lain waktu justru harus nombok. Jika penghasilan ada, mereka akan pulang ke rumah membawa banyak hal untuk istri dan anaknya: makanan, mainan, dan sedikit tabungan. Tapi lain kejadian ketika mereka harus nombok setoran.
“Terpaksa saja ke pool (tempat bus Dodge). Kepalang tanggung pulang ke rumah tidak bawa uang,” kata seorang sopir bus Dodge dalam “Sukaduka Sopir Bis Kota”, Kompas, 7 Maret 1970. Mereka bisa berhari-hari menginap di pool demi menghemat ongkos ke rumah. Kalau sudah begitu, seringkali istri dan anak mereka menyusul ke pool. Sebab sang istri khawatir si suami main gila, sedangkan sang anak mengadu ke ibunya bahwa dirinya kangen pada bapaknya.
Baca juga: Oplet, Moyang Angkot di Indonesia
Selain dengan istri dan keluarga, sopir bus Dodge harus berhadapan pula dengan sesama penarik angkutan umum lain. Ratusan bus Dodge baru hasil kredit dari USAID itu menciptakan trayek baru. Kehadiran mereka di trayek baru ini mendesak penarik becak, sopir mikrobus, bemo, dan oplet yang lebih dulu ada di trayek tersebut.
Sopir bus Dodge jadi bersaingan dengan mereka. Bahkan bisa sampai bermusuhan. Mengemudikan bus Dodge pun terasa was-was. Takut-takut kalau ada serangan atau perusakan terhadap bus Dodge baru dari penarik angkutan umum lain. “Mereka kerja seperti kuda, tidak heran lekas naik darah,” kata seorang sopir bus Dodge kepada Kompas.
Dengan semua tantangan itu, sopir bus Dodge tetap menjalankan pekerjaannya. Hingga tiba waktunya bus-bus Dodge itu harus diganti pada 1980-an. Tapi armada baru tidak menjamin perbaikan taraf hidup mereka. Sebab sistem setoran masih berlaku dan pengaturan trayek kerapkali tumpang-tindih.