SEJAK lama Jakarta sudah dianggap tak layak sebagai pusat pemerintahan. Pilihan tempat sebagai pengganti pun ditetapkan. Inilah potret dua kota yang dipersiapkan sebagai ibukota di masa kolonial dan Orde Lama, yang karena sejumlah alasan gagal di tengah jalan.
Bandung
GAGASAN ini bermula dari studi tentang kesehatan kota-kota pantai di Pulau Jawa oleh Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan Belanda yang bertugas di Semarang. Tillema suka menyebut dirinya “insinyur kesehatan dan kebersihan”. Hasil studi itu menyimpulkan: “Kota-kota pelabuhan di pantai Jawa yang tak sehat menyebabkan orang tidak pernah memilih sebagai kedudukan kantor pemerintah, kantor pusat niaga dan industri, pusat pendidikan, dan sebagainya.”
Umumnya kota-kota pelabuhan hawanya panas, tidak sehat, mudah terjangkit wabah. Hawa tak nyaman membuat orang cepat lelah, semangat kerja menurun. Tak terkecuali Batavia, kota pelabuhan itu kurang memenuhi syarat sebagai “pusat pemerintahan” ibukota Hindia Belanda, tulis H.F. Tillema, seperti dikutip Haryanto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Rekomendasinya: kota Bandung sebagai ibukota (pusat pemerintahan) yang baru.
Usul Tillema kepada Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung mulai dilaksanakan pada 1920. Pengusaha swasta menyambut gagasan ini dengan memindahkan kantor pusat dagang mereka. Meneer Steeflanda, pemilik Oliefabrieken Insulinde, tercatat sebagai pengusaha pertama yang memindahkan kantor pusatnya. Kemudian diikuti Tentara Bala Keselamatan (Leger des Heils), instansi pemerintah seperti Jawatan Kereta Api Negara, Dinas Pekerjaan Umum, Jawatan Metrologi, Jawatan Geologi, Departemen Perdagangan, Kantor Keuangan, Kementerian Peperangan, dan sebagainya. Yang belum sempat pindah: Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Pengajaran, dan Volksraad.
Pembangunan juga dilakukan untuk melengkapi infrastruktur dan fasilitas yang diperlukan untuk sebuah pusat pemerintahan. Membangun museum, penambahan tenaga listrik, pembukaan jalur penerbangan udara, membuka hubungan “Radio Telepon”, dan sebagainya. Malang, malaise keburu tiba. Rancana pemindahan pusat pemerintahan dihentikan.
Usai Indonesia merdeka, Bandung menjadi salah satu calon ibukota negara. Tapi ia akhirnya hanya dikenal sebagai “ibukota Asia-Afrika” karena menjadi tempat Konferensi Asia-Afrika pada 1955. Kini, Bandung tak masuk deretan kota yang akan dijadikan calon ibukota. Sama seperti Jakarta, Bandung juga sudah terlalu padat. Dan lagi... sebagian menjadi lautan cai alias banjir.
Palangkaraya
IDE ini datang setelah Sukarno mengunjungi sejumlah kota di dunia. Pada 1956, ia pun membuat masterplan pengembangan kota Jakarta. Tapi ia punya pikiran lain. Sejak merdeka, pemerintah belum menetapkan Jakarta sebagai ibukota negara, meski sudah dipakai pusat pemerintah atas dasar faktor sejarah. Jakarta sendiri adalah sebuah kota yang sudah jadi, terbentuk, terlalu penuh dengan simbol-simbol kolonial. Ide itu terlalu sulit diterapkan. Selain itu, sejak merdeka, pemerintah juga belum pernah membangun kota sendiri; semuanya peninggalan kolonial.
Sukarno pun berpikir untuk membangun sebuah kota, yang kelak bisa jadi ibukota negara. Pilihannya jatuh pada “Palangkaraya”. Saat itu, ada keinginan untuk membentuk Provinsi Kalimantan Tengah, memisahkan diri dari Kalimantan Selatan, yang kemudian ditetapkan pada 7 Mei 1957 melalui UU Darurat No 10 tahun 1957. Sukarno membuat desain kotanya.
Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.

Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun insinyur-insinyur Rusia dengan membabat hutan lebat serta menembus rawa-wara dan gambut, yang kini masih mulus seperti dilaporkan Kompas dalam jelajah Kalimantan: “Sepotong Jalan Rusia dan Impian Sukarno”, 19 Februari 2009.
Pada 17 Juli 1957, Presiden Sukarno datang rombongan, antara lain dua dutabesar Rusia DA Zukov dan dutabesar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr, menteri-menteri, dan pegawai istana. Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan kota baru yang diimpikan Sukarno. Lalu dimulai pembangunan; dari bundaran besar, taman kota, istana, dan sebagainya. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti “tempat suci, mulia, dan agung”.
Mimpi Sukarno itu diulas oleh Wijarnaka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya. Tapi mimpi Sukarno tak terwujud. Ibukota baru batal karena kesulitan pengadaan bahan dan medan yang sulit menuju lokasi. Kota Jakarta tetaplah pilihan yang realistis karena sudah terbentuk, tinggal mengembangkannya melalui pembangunan infrastuktur. Sejumlah dutabesar negara sahabat, termasuk dua dutabesar yang ikut menemani Sukarno ke Palangaraya, menyarankan untuk tak pindah. Tak kalah penting ada agenda internasional yang mendesak bagi pemerintah seperti penyelenggaraan Asian Games (1962) dan ajang olahraga tandingan Olimpiade Games of the New Emerging Forces (Ganefo) setahun kemudian. Di Jakarta-lah akhirnya Sukarno menuangkan ide-ide besarnya: membangun Gelora Bung Karno, Tugu Selamat Datang, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, dan sebagainya.
Pembangunan Palangkaraya pun mulai ketinggalan dari kota Jakarta. Palangkaraya juga harus puas hanya sebagai ibukota provinsi Kalimantan Tengah.
“Walaupun pada akhirnya desain kota awal tak terealisasi secara maksimal, kini dalam desain kota Palangkaraya telah ditinggali elemen dasar desain untuk ibukota negara yang merupakan kreasi Sukarno,” ujar Wijanarka, dosen Jurusan Arsitektur Universitas Palangkaraya dalam Kronik, media Unika Soegijopranoto, 15 April 2005.
Kota Palangkaraya adalah tonggak sejarah pembangunan kota di Indonesia. Tapi, kini Palangkaraya hanyalah sebuah ibukota provinsi yang sepi, gelap, dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.
[pages]