Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Terbentuknya Komunitas Armenia di Indonesia

Awal mula hadirnya orang-orang Armenia di Indonesia. Datang untuk berdagang.

Oleh: Budi Setiyono | 25 Agt 2015
Lukisan Wilhelmina Margaretha Martherus, putri dari pasangan Armenia dan Indo-Belanda, karya Jan Daniel Beynon. Foto: Tropenmuseum.

Pada awal abad ke-17, penguasa Persia Shah Abbas merelokasi ribuan orang Armenia di Julfa ke Persia, khususnya di Isfahan. Di dekat Isfahan, mereka mendirikan kota New Julfa, menurut kota asal mereka. Karena sebagian besar dari mereka dikenal sebagai pedagang, teristimewa sutera, Shah Abbas mengambil perdagangan sutra dari tangan para pedagang Persia yang tidak kompeten dan menyerahkannya kepada orang-orang Armenia terampil, yang lebih diterima di Eropa karena kekristenan mereka. Persia pun berkembang pesat.

Tapi bulan madu itu tak langgeng. Dipandang terlalu kaya dan kuat, penerus Shah Abbas menindas koloni Armenia. Pada abad ke-18, banyak orang Armenia bermigrasi ke Amsterdam, Alexandria, Venesia, Rusia, Tiongkok, beberapa kota di India, hingga Batavia.

“Sebagian besar orang Armenia tiba langsung dari Isfahan atau dari permukiman Armenia di India. Karena Armenia yang Kristen, penguasa VOC pada 1747 memberikan mereka hak yang sama dengan orang Eropa,” tulis Han T. Siem dalam “The Armenian Minority in the Dutch East Indies”, dimuat hetq.am. Beberapa orang Armenia juga datang dari Belanda terutama setelah Belanda diserbu Prancis pada 1795.

Advertising
Advertising

Baca juga: Komunitas Armenia di Indonesia, Minoritas yang Punah

Pedagang Armenia paling penting di Batavia adalah Kevork/Gavork (George) Manouk(ian) Manuchariants atau biasa disingkat George Manook. Dia menjalin pertemanan dengan penguasa VOC. Karena kedekatannya itulah, ketika Napoleon menganeksasi Belanda, Manook menolak untuk membantu Inggris dalam mendapatkan Hindia Belanda.

Manook dikenal sebagai seorang yang baik, murah hati, patriot tulen. Selain membantu orang sebangsanya yang membutuhkan, dia memberikan kontribusi untuk berbagai lembaga sosial, agama, dan pendidikan di Persia, India, dan Armenia. Mesrovb J. Seth dalam History of the Armenias in India, mencantumkan jumlah sumbangan yang diberikan Manook kepada The Armenian Philanthropic Academy of Calcutta, The Armenian School of Madras, The Holy Sea of Etchmiatzin di Armenia, The Armenian Monastery of St. James at Jerussalem, The Cathedral of All Saviour at Julfa di Isfahan, dan The Nunnery of St. Catherine at Julfa di Isfahan.

Dua saudara perempuannya, Mariam dan Thagouhi (Takouni), kemudian menyusul dari Madras ke Batavia. Keduanya datang bersama Hakob Haroutunian (Jacob Arathoon), suami Mariam, yang bekerja pada George Manook dan menjadi pedagang sukses. Menurut E.H. Ellis, Arathoon sosok yang relijius. Dia mendirikan sebuah kapel tahun 1831, yang didedikasikan untuk St. Hripsimeh di Gang Scott. Gereja kecil dari kayu ini pernah terbakar tahun 1841 tapi dibangun lagi sebelum dirobohkan dan diganti Gereja St. John.

Baca juga: Benjamin Galstaun dari Kamp Interniran ke Ragunan

George Manook meninggal dunia di Batavia pada 2 Oktober 1827 di usia 64 tahun dalam kondisi membujang dan meninggalkan kekayaan yang sangat besar.

“Dalam testamen dan wasiat terakhirnya yang dibuat tahun 1820, dia mewariskan porsi terbesar dari kekayaannya sebesar lima juta gulden untuk adik perempuannya dan anak dari saudara lelakinya, Malcom, yang meninggal di Kalkuta tahun 1826,” tulis Mesrovb J. Seth.

Mariam dan Thagouhi menggunakan warisan itu untuk mendanai Komunitas Armenia dan pembangunan Gereja St. John. Mereka juga membuat yayasan untuk menutupi biaya gereja dan kebutuhan pendetanya. Hal yang sama dilakukan di Kalkuta dan New Julfa.

Menurut Alle G. Hoekema, mantan dosen Seminari Mennonite dan Vrije Universiteit Amsterdam, umumnya para imam yang melayani di Jawa berasal dari Persia. Kebaktian diadakan dalam bahasa Armenia.

“Kadang-kadang ada uskup-uskup Armenia dari luar negeri yang berkunjung; biasanya setiap 10 tahun. Bagi mereka, Hindia-Belanda merupakan suatu diaspora kecil, yang tetap terikat pada pusat di Etsmiadzin dan New Julfa (dan India),” tulis Hoekema dalam “Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah”, dimuat di jurnal Gema Teologi Vol. 37 No. 1 tahun 2013.

Baca juga: Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia

Mariam dan Thagouhi juga mendirikan Manuck en Arathoonschool pada 26 Agustus 1855, yang berlokasi di belakang gereja. Mereka ingin anak-anak Armenia punya kesempatan belajar dan mendapatkan pengetahuan mengenai sejarah dan gereja mereka sendiri. Sekolah ini memiliki kelas sore dan malam hari. Murid-muridnya bukan hanya orang Armenia, tapi juga dari bangsa lain. Setelah pemerintah Hindia Belanda mulai menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak Eropa, jumlah murid Manuck en Arathoonschool menurun hingga akhirnya ditutup sekira 1878. Untuk mengajarkan anak-anak mereka bahasa ibu, orang Armenia mengundang guru privat di rumah. Selain itu Komunitas tetap memberi beasiswa bagi pemuda Armenia untuk belajar di Kalkuta.

Tampaknya Mariam mengambil peran menonjol dalam komunitas Armenia. Tak heran jika setelah kematiannya tahun 1864, monumennya berdiri tegak di teras Gereja St. John.

Marius Buys dalam buku Batavia, Buitenzoeg en Preanger (1891) menulis bahwa bangunan gereja sangat rapi, dengan teras depan terdapat monumen yang dibuat untuk menghormati Ny Arathoon. Dia juga menyebut komunitas Armenia di Batavia hanya berjumlah 62 orang.

“Semua anggotanya memiliki posisi dalam perdagangan. Beberapa dari mereka memiliki kekayaan besar dan tinggal di rumah yang indah di dekat alun-alun,” tulisnya.

TAG

armenia

ARTIKEL TERKAIT

Teror Armenia di Paris Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia Dari Kamp Interniran Hingga Ragunan Komunitas Armenia di Indonesia, Minoritas yang Punah Tur di Kawasan Menteng Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu Gara-gara Iklan Pertunangan Palsu Awal Mula Biro Iklan