Masuk Daftar
My Getplus

Jakarta Kota Tinja

Tak ada peluru, tinja pun jadi. Pasukan Belanda melempari pasukan Mataram dengan keranjang penuh tinja.

Oleh: Rahadian Rundjan | 20 Mar 2015
Kawasan Kota Tua, Jakarta. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.

GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali mengumpat. Kali ini dalam siaran langsung ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi swasta.

“Lalu apa tuduhan yang lebih keji lagi, istri saya menerima dana CSR (dana sosial perusahaan swasta) untuk main di Kota Tua. Lu buktiin, tahi, bangsat, goblok, nenek bego,” ujarnya dengan jengkel sebelum disela. Umpatannya itu keluar terkait konflik antara dirinya dan DPRD DKI Jakarta dalam kasus APBD.

Kata “tahi” bukan sekali ini keluar dari mulut Ahok. Tahun lalu, dia pernah menyebut Jakarta sebagai “Kota Tahi” kala mengomentari kepengurusan kawasan Kota Tua yang tak becus.

Advertising
Advertising

Ternyata “tahi” memiliki ceritanya sendiri dalam sejarah Jakarta (dulu Batavia). Tepatnya ketika pasukan Mataram menyerbu Batavia pada 1629. Raja Mataram, Sultan Agung (1593-1646) berambisi menaklukkan Batavia untuk memuluskan jalan menaklukkan Kesultanan Banten. Pasukan Mataram menyerbu Batavia dua kali, tahun 1628 dan 1629.

Adapun episode pertempuran yang berkaitan dengan “tahi” terjadi di salah satu menara benteng pertahanan Belanda, Hollandia, pada malam hari 20 Oktober 1629. Kisah tersebut ditemukan dalam buku karya penjelajah Belanda, Johan Nieuhof (1618-1672), Het Gezandtschap der Neêrlandtsche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen Keizer van China (Kedutaan Besar dari Kongsi Dagang Belanda Republik Belanda kepada Tartar Cham, Kaisar Cina) yang kali pertama terbit pada 1665 di Belanda.

Kala itu, pertahanan Hollandia dipimpin oleh sersan asal Jerman, Hans Madelijn. Sudah kehabisan senjata untuk mempertahankan benteng dari pasukan Mataram, Hans menelurkan gagasan sinting. “Benteng itu dipertahankan oleh hanya 15 serdadu. Mereka kehabisan peluru, dan untuk bertahan terpaksa melemparkan segala macam benda yang bisa dilempar, konon termasuk isi tangki kakus,” tulis Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia.

Sejarawan Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, mencatat, “saat mereka diserang oleh peluru jenis baru ini, orang-orang Jawa itu langsung melarikan diri sambil berteriak jengkel, “0, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay (Oh, Belanda setan, kalian berkelahi pakai tahi!).”

“Ini adalah kata berbahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku yang ditulis oleh orang Jerman,” tambah Heuken.

Hermanus Johannes de Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung mengatakan kejadian itu dijadikan dalih untuk menghentikan pengepungan. “Akan tetapi Valentijn melihat bahwa bukan karena alasan inilah mereka mundur melainkan terutama juga karena mereka melihat datangnya pasukan pembebasan dari kota menuju ke arah mereka,” tulis de Graaf mengutip dari catatan penulis Belanda, Francois Valentijn (1666-1727).

Batavia gagal direbut dan prajurit Mataram pulang dengan terlunta-lunta. Orang Mataram kemudian menjuluki Batavia sebagai “Kota Tahi”, baik dalam artian umpatan maupun merujuk peristiwa konyol yang mereka alami di benteng Hollandia.

Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) dalam bukunya, History of Java, menulis bahwa julukan tersebut masih digunakan oleh orang-orang Jawa setidaknya sampai awal abad ke-19. Sebuah kampung bernama “Kota Tahi” juga pernah eksis sebelum namanya menghilang di pertengahan abad yang sama. Adapun di bekas lokasi situs benteng Hollandia kini berdiri pusat perbelanjaan Glodok.

 

 

TAG

batavi jakarta raffles mataram

ARTIKEL TERKAIT

Mencari Pasangan Lewat Koran Samsi Maela Pejuang Jakarta Batik dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Ketika Hujan Es Melanda Jakarta Tak Bisa Bayar Utang Dipenjara di Ruang Bawah Tanah Berburu Binatang Berhadiah Uang Kebun Binatang Zaman VOC Dari Guci Jadi WC Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Dua Gubernur Jenderal VOC