DIRGAHAYU “kota pahlawan” Surabaya. Pada 31 Mei lalu, usianya sudah menginjak 726 tahun. Hari jadi Surabaya 31 Mei diambil dari momen pada 1293 ketika Raden Wijaya memimpin pasukan Majapahit menangkal invasi pasukan Mongol.
Seiring perjalanan waktu, Surabaya berkembang pesat dan bertabur kisah heroisme hingga dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Sayangnya, majunya perkembangan kota justru membuat identitas kepahlawanan Surabaya perlahan menguap seiring dengan beralih fungsinya bangunan-bangunan bersejarah. Benteng Kedungcowek di sisi timur Jembatan Suramadu, salah satunya.
Persoalan itu sedang digugat sekelompok aktivis dan penggiat sejarah dari komunitas Roode Brug Soerabaia. “Surabaya adalah kota petarung dengan karakter penduduknya yang egaliter serta blak-blakan. Mari kita jujur pada diri sendiri, ruh Surabaya sebagai kota pahlawan apakah semakin memudar? Jika semakin memudar lantas kita bisa apa?” bunyi penggalan surat terbuka Ady Erlianto Setyawan, periset sejarah serta founder Roode Brug Soerabaia.
Surat terbuka itu tidak hanya disebar via media sosial namun juga sudah disampaikan secara resmi ke Kadisbudpar Kota Surabaya Antiek Sugiharti pada Jumat (31/5/2019) pagi. Ia tak ingin Benteng Kedungcowek senasib dengan sejumlah situs sejarah yang akhirnya musnah dalam lima tahun belakangan.
Baca juga: Meluruskan Peristiwa Insiden Bendera di Surabaya
“Sebelumnya kan ada Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo hilang (dibongkar). Lalu ada nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari sebagian dihilangkan. Ada juga rumah perundingan para pembesar Surabaya saat pertempuran 10 November di daerah Kayun juga hilang,” terang Ady ketika dihubungi Historia.
Pernyataan dan surat terbuka itu diajukan setelah pada 23 Mei 2019 muncul dua kabar di dua media lokal bahwa situs Benteng Kedungcowek sudah ditukar guling ke pihak swasta. Situs itu sendiri kepemilikan lahannya ada di tangan Kodam V Brawijaya.
“Jadi rame karena koran Surya dan Tribun menurunkan dua judul: ‘Benteng-Bunker Milik Swasta, Pemkot Surabaya Gagal Ubah Jadi Destinasi Wisata’, dan ‘Pemkot Surabaya Kubur Impian Jadikan Bunker di Kaki Suramadu Destinasi Wisata, Jatuh ke Pihak Swasta’,” sambungnya.
Di salah satu berita itu disebutkan bahwa lahan situs itu sudah ditukar guling oleh Kodam ke perusahaan produsen kopi. Soal ini Historia sempat berusaha mengonfirmasi kepada Kapendam V Brawijaya Kolonel (Inf) Singgih Pambudi via pesan singkat namun belum ada respons hingga tulisan ini diturunkan. Pun begitu saat mencoba mengontak Purnawan Basundoro, salah satu anggota tim cagar budaya, setali tiga uang.
“Pernah saya hubungi juga pihak Kodamnya tapi katanya tidak (benar). Cuma saja yang mengganjal saya, kenapa mereka tidak kasih pernyataan resmi? Dari pihak Pemkot ngeles-nya dengan alasan bahwa itu (lahan) milik Kodam. Padahal Undang-Undangnya tidak begitu,” kata Ady merujuk pada Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB) Nomor 26 ayat 1 tahun 2010, di mana intinya pemerintah punya kewajiban dalam pencarian cagar budaya dan meriset lokasi/bangunan/struktur yang diduga cagar budaya.
Sejarah Benteng dan Epos Batalyon Sriwijaya
Situs Benteng Kedungcowek mulai jadi perhatian setelah ditemukan kembali pada 2010. Sejumlah sisa bangunannya berselimut tumbuhan menjalar dan rimbun. Pencarian awal data, dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? karya Batara R. Hutagalung, didapati kisah bahwa benteng ini pernah jadi markas sejumlah pemuda Sumatera eks-Heiho (Pasukan Pembantu Jepang) dalam pertempuran dahsyat itu.
Pada 2013, Roode Brug Soerabaia dibantu Batalyon Arhanudse 8 Gedangan Kodam V Brawijaya menggelar kerja bakti dan bersih-bersih benteng. Riset lebih dalam dilakoni Ady setahun berselang dengan melawat ke Arsip Nasional Belanda di Den Haag untuk mengintip cetak birunya.
Dari situ ditemukan fakta bahwa benteng itu dibangun di era 1880-an dan selesai pada awal 1900-an. Rupa benteng pun “11-12” dengan Benteng Labrador di Singapura. “Keduanya sama-sama sebagai benteng pertahanan pantai. Benteng Labrador dibangun berhadapan dengan Benteng Siloso di Pulau Sentosa. Kedungcowek dibangun berseberangan dengan Pulau Madura,” sambung Ady, yang membukukan hasil risetnya menjadi Benteng-Benteng Surabaya.
Selain adanya hoist dan minor recess maupun parapet-nya, kesemaan mencakup hingga vegetasi yang merangkul sejumlah badan bangunan. Perbedaan keduanya hanya pada penempatan titik-titik mounting meriam.
Pada Pertempuran 10 November, benteng ini jadi salah satu pos terdepan dalam meladeni gempuran meriam-meriam kapal laut Inggris. Dituliskan Batara dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya?, setelah “lepas dinas” dari Heiho, para pemuda Sumatera itu transit di Surabaya sepulang dari bertempur di Morotai. Sekira satu batalyon memutuskan tetap tinggal di Surabaya, sementara sisanya kembali ke daerah masing-masing. Mengingat situasi Surabaya mulai panas sejak Oktober 1945, mereka dikumpulkan untuk “direkrut” demi angkat senjata lagi.
Baca juga: Lelaki Pencabut Nyawa Mallaby
Para pemimpin Surabaya menunjuk Kolonel Wiliater Hutagalung untuk mengoordinir sesama pemuda dari Sumatera itu. Mereka diterangkan soal situasi terkini bahwa Republik Indonesia sudah diproklamirkan dan diminta bersumbangsih dalam mempertahankannya. Mereka berkenan kembali bertempur setelah izin membentuk pasukan sendiri dikabulkan.
“Kemudian mereka memilih pimpinannya sendiri di antara mereka serta mengatur pangkat sesuai aturan dalam sebuah batalyon. Mereka kemudian menamakan dirinya pasukan Sriwijaya. Memang agak aneh karena sebagian besar berasal dari Tapanuli, Aceh, dan Deli, hanya beberapa yang berasal dari Sumatera Barat dan Selatan,” tulis Batara.
Mereka ditempatkan di Benteng Kedungcowek dengan sisa-sisa persenjataan dan meriam artileri Jepang yang memang sudah mereka kuasai operasionalnya. Tambahan persenjataan lain didapat saat ikut perebutan senjata dari tangsi Jepang di Morokrembangan.
Pagi 10 November 1945, Inggris menggelontorkan kekuatannya dari darat, laut, dan udara. Pasukan Sriwijaya bertugas meladeni muntahan meriam-meriam kapal perang HMS Glenroy, HMS Princess Beatrix, HMS Waveney, HMS Loch Glendhi, HMS Cavallier, HMS Lochgorm, HMS Sussex, HMS Carron, dan HMS Ekma. Dengan meriam-meriam peninggalan Jepang, Batalyon Sriwijaya membalas walau tak seberapa kuat. Hasilnya, dari hari ke hari perlawanan kian melemah. Sepertiga jiwa pasukan melayang.
Perlawanan Batalyon Sriwijaya baru berakhir pada 27 November 1945 setelah benteng itu diduduki Inggris. Catatan Public Record Office No. 172/6965 X/5 1512 dalam ISUM tertanggal 27 November melaporkan, tentara Inggris mendapati 400 ton peluru meriam yang belum sempat ditembakkan. Sisa-sisa Batalyon Sriwijaya yang mundur lantas meleburkan diri ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon Djarot (Djarot Subijantoro) untuk bergerilya di luar kota.
Epos itulah yang ingin dilestarikan Ady Setyawan dkk. sejak 2015, saat mereka presentasi di depan tim ahli cagar budaya Disbudpar Kota Surabaya. Temuan-temuan di arsip-arsip Belanda turut diserahkan sebagai pertimbangan pemerintah kota menjadikan benteng itu sebagai cagar budaya.
Baca juga: Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Namun pada April 2018 justru muncul pernyataan ganjil tim ahli itu bahwa benteng itu merupakan peninggalan Jepang. “Lho, berarti rapat-rapat yang diadakan sama kita sebelumnya itu apa? Hasil riset dan presentasi yang kita kasih diapakan sama mereka?” tandas Ady.