Kampung pelangi. Begitu sebutan kampung elok berwarna-warni di Malang, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Kampung-kampung itu tadinya kumuh dan suram. Tapi prakarsa warga, penggiat kota, pemerintah, dan perusahaan swasta mengecat segala isi kampung mengubahnya jadi lebih bersih dan ceria. Bahkan menarik banyak orang datang berekreasi.
Pengecatan kampung menjadi salah satu upaya memperbaiki keadaan kampung. Upaya ini tidak bermula dari kemarin sore, melainkan bertapak pada masa kolonial.
Mohammad Husni Thamrin, anggota Dewan Kota Batavia, meminta pemerintah kota mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki kondisi kampung kumuh pada 1920-an.
“Ia menyarankan untuk memperbaiki pengelolaan distribusi beras, mengadakan fasilitas drainase yang layak serta pasokan air bersih ke kampung-kampung,” tulis Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin.
Pemerintah Kota Batavia mengiyakan permintaan Thamrin. “Program perbaikan kampung pun berlangsung dengan dana patungan dari pemerintah pusat dan kota,” tulis Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during Decolonization of Indonesia 1930-1960.
Program perbaikan kampung (kampongs verbetering) mewujud di tiga kota besar: Batavia, Semarang, dan Surabaya. Perbaikan menyentuh kualitas jalan, gang, selokan, dan pembangunan fasilitas mandi dan kakus umum.
Tapi perbaikan kampung berjalan setengah hati. Thamrin memandang program ini hanya menyentuh segi fisik dari kampung. Belum sampai meresap ke dalam perbaikan kualitas hidup warga kampung.
Laporan Komisi Perbaikan Kampung pada 1939 turut menyimpulkan program perbaikan kampung telah gagal. “Diduga biang keladi kegagalan program tersebut adalah karena pesatnya pertambahan jumlah penduduk,” tulis Amir Karamoy dalam “Program Perbaikan Kampung: Harapan dan Kenyataan”, termuat di Prisma, No. 6, 1984.
Zaman pendudukan Jepang menghentikan kampongs verbetering. Masa ini penghuni kampung-kampung kumuh justru jadi sasaran eksploitasi Jepang menjadi romusha.
Setelah Indonesia merdeka, upaya memperbaiki kampung muncul lagi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perluasan kampung-kampung kumuh di kota-kota besar Indonesia.
Di Jakarta, Walikota Sjamsuridjal mengupayakan pembelian tanah-tanah partikelir yang dihuni oleh pemukim liar. Mereka mendirikan gubuk-gubuk reot dengan jarak yang rapat satu sama lain. Pendudukan tanah nganggur ini bermula pada masa Jepang dan terus berlanjut pada 1950-an sehingga kawasan tersebut menjadi kampung kumuh ilegal.
Pembelian tanah partikelir merupakan langkah awal bagi Sjamsuridjal untuk memperbaiki kampung. Langkah kedua berupa pembongkaran bangunan-bangunan liar. “Kemudian akan dilakukan pembangunan dalam arti perbaikan kampung sebagaimana layaknya untuk tempat manusia merdeka sekarang ini,” tulis Sjamsuridjal dalam Karya Jaya.
Pada masa Sudiro, Soemarno, dan Henk Ngantung menjabat kepala daerah Jakarta, perbaikan kampung tak banyak dilakukan oleh pemerintah. Menurut Amir Karamoy, masa-masa itu perbaikan kampung lebih sering berasal dari inisiatif warga.
“Pemerintah kota hanya membantu penyediaan sebagian dana atau fasilitas. Baru sekitar tahun 1966, program perbaikan kampung dimulai lagi secara lebih terorganisir di Jakarta, ketika Ali Sadikin baru saja menjadi gubernur DKI Jakarta,” catat Amir.
Ali Sadikin menaruh prioritas tinggi pada upaya memperbaiki kampung-kampung kumuh. Sebab di kampung-kampung kumuh itulah pertaruhan Jakarta sebagai ibukota negara. “Di mana martabat bangsa dipertaruhkan di dalamnya,” tulis Djaja, 15 Februari 1969.
Ali menamakan program ini “Proyek Muhammad Husni Thamrin” untuk mengenang ikhtiar Thamrin mengupayakan perbaikan kualitas hidup penghuni kampung kumuh pada masa kolonial.
Prinsip dan langkah perbaikan kampung termaktub dalam Surat Keputusan Gubernur No. Ab. 13/1/2/1969 tanggal 17 Januari 1969. Prinsip dasarnya ialah pemerintah kota membantu penghuni kampung kumuh dalam menciptakan lingkungan kehidupan yang sehat agar mendorong pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi, dan spiritual. Muara program ini terletak pada maujudnya kesejahteraan semua warga kota.
Langkah perbaikan kampung antara lain memperbaiki jalan, jembatan, listrik, irigasi, drainase, sanitasi, penyediaan balai pengobatan, sumur air, fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) umum, bak sampah, dan rehabilitasi fasilitas pendidikan.
Ali Sadikin membagi kampung-kampung kumuh dalam ukuran tertentu. Dia mendahulukan perbaikan pada kampung paling kumuh di antara kampung-kampung kumuh.
Kriteria kampung terkumuh antara lain terlihat dari kondisi lingkungan terburuk, kepadatan penduduk yang tinggi, potensi dinamika penduduk untuk melanjutkan dan memelihara hasil perbaikan kampung, usia kampung, dan pengaruh perbaikan suatu kampung dengan kegiatan kota secara keseluruhan.
“Atas dasar kriteria tersebut di atas dipilihlah kampung-kampung yang akan diperbaiki. Selama Pelita I (Pembangunan Lima Tahun) mencakup 87 kampung, umumnya terdiri dari kampung-kampung yang dibangun sebelum tahun 1956,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya.
Luas area perbaikan kampung tahap pertama mencapai 2.400 hektar. Area seluas itu menampung sekira 1.2 juta penghuni kampung kumuh. Sebagian besar mereka menyambut baik program perbaikan kampung.
“Hal ini ditunjukkan dengan partisipasi mereka di dalam pembuatan jalan-jalan. Misalnya tanah yang diperlukan untuk pembuatan jalan, mereka serahkan umumnya secara sukarela tanpa mendapatkan ganti rugi,” ungkap Ali.
Tapi program perbaikan kampung bukan tanpa hambatan dan kritik. Hambatan terbesar berupa dana. Kas pemerintah kota tidak mampu membiayai perbaikan kampung kumuh di seluruh wilayah Jakarta.
Maka dana perbaikan digenjot dari pajak judi dan hiburan malam. “Dan buntutnya dari segi uang pembiayaan tak pernah sepi dari gugatan,” tulis Ekspres, 5 April 1971.
Masalah pembiayaan perbaikan kampung mulai terpecahkan ketika lembaga internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia memberikan nilai positif. Bank Dunia bahkan mengucurkan kredit berjangka 15 tahun untuk membiayai perbaikan kampung.
“Bantuan Bank Dunia meliputi 50% dari biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan tahap berikutnya, yang meliputi pelaksanaan perbaikan selama 5 tahun,” tulis Ali.
Hingga akhir masa jabatannya pada 1977, Ali menghitung bahwa perbaikan kampung telah mencakup area seluas 4.694 hektar dengan penghuni sebanyak 1.9 juta orang. “Tinggalah kini kewajiban dari masyarakat untuk dapat memelihara keadaan perkampungan yang telah diperbaiki,” pesan Ali.
Gubernur Jakarta selepas Ali Sadikin berupaya melanjutkan program perbaikan kampung. Mereka melengkapi kekurangan program sebelumnya seperti pembangunan sarana bermain anak, penyediaan penerangan jalan, dan perawatan hasil perbaikan.
Sekarang perbaikan kampung diwujudkan secara berbeda melalui inisiatif konsep kampung warna-warni. Tapi semangatnya tetap sama: perbaikan kualitas hidup penghuni kampung kumuh.
Baca juga:
Dari Flat ke Perbaikan Kampung
Dari Dalam Kampung Kumuh Ibukota
Cerita Kampung Kumuh dari Zaman Kolonial