BATAVIA pernah termasyhur sebagai Koningin van het Oosten atau Ratu dari Timur karena keindahannya yang memesona para pelancong maupun penduduk kota pada abad ke-18. Namun, Batavia kemudian dijuluki Graf der Hollanders atau kuburan orang Belanda.
Pengarang asal Amerika Serikat, Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta menulis bahwa pada puncak kejayaannya, Batavia justru mengalami kemerosotan. “Batavia pada abad ke-17 memang bukan merupakan daerah yang sehat, tetapi pada abad ke-18 mulai kelihatan sebagai tempat menyimpan mayat atau tulang-tulang (rumah mayat),” tulis Hanna.
Sejarawan Leonard Blussé dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC menyebut bahwa ahli-ahli kesehatan masa lampau mengemukakan dalam analisis mereka berbagai sebab Batavia berubah dari “Ratu Timur” menjadi “Kuburan Timur”, di antaranya iklim kota yang buruk, kabut menggelantung rendah yang beracun, parit yang tercemar dan penyakit-penyakit aneh dengan nama-nama seram seperti remitterende rotkoortsen (demam maut), roode loop (berak-berak merah), febres ardentes, malignae et putridae serta mort de chien (demam parah, jahat dan busuk, dan mati mendadak). Para pejabat Kompeni melempar kesalahan terutama pada alam dan cenderung menuding para pendahulunya yang telah membangun kota dengan mencontoh gaya kota Belanda.
Baca juga: Menjaga Kebersihan Kota pada Zaman Belanda
Kondisi ini membuat sebagian besar orang Eropa menganggap Batavia tak layak untuk dihuni. Pada musim kemarau kanal-kanal yang mandek mengeluarkan bau yang menusuk, sedangkan saat musim hujan air kotor dari kanal meluap ke bagian kota yang lebih rendah dan membanjiri lantai dasar rumah.
Kanal-kanal di wilayah Batavia dibersihkan, namun prosesnya sama mengganggunya seperti air kanal yang bau. Pasalnya, setelah lumpur hitam yang sebagian besar berisi kotoran manusia yang rutin dibuang ke kanal diangkat dari dasar, lumpur-lumpur tersebut dibiarkan bertumpuk di tepi kanal hingga mengering. Tak jarang ditemukan bangkai hewan terdampar di bagian kanal yang dangkal. Bila tak ada yang berupaya menyingkirkannya, bangkai itu dibiarkan begitu saja. Peneliti dan akademisi Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun menyebut inilah Batavia yang pernah terkenal dengan sebutan “Ratu dari Timur” di masa-masa kemundurannya.
Menurut Susan, orang-orang Batavia pada abad ke-18 tidak mengetahui penyebab atau bahkan sifat penyakit yang melanda kota yang mereka huni. “Sebagian besar orang Eropa cenderung menyalahkannya pada udara berbau busuk yang memaksa mereka menutup jendela dan menarik tirai di rumah mereka yang pengap,” sebut Susan.
Baca juga: Cara Belanda Mengatur Pasar di Batavia
Kemunduran Batavia semakin tak tertahankan dengan merebaknya wabah penyakit yang kini diidentifikasi sebagai malaria. Hanna menyebut wabah ini merupakan bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali menderita wabah disentri dan kolera. “Pada tahun 1732 dan tahun-tahun berikutnya, ratusan dan ribuan orang Eropa meninggal dunia karena cuaca pancaroba dan demam panas yang sangat hebat, dan banyak orang tampaknya terus-menerus menderita sakit,” sebut Hanna.
Menurut Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia, dampak penyebaran penyakit di wilayah Batavia menyebabkan angka kematian naik hingga ke tingkat yang mengerikan dan tetap tinggi hingga abad berikutnya. Tak jarang pengunjung asing yang datang ke Batavia dan menjalin relasi di sana kerap tak menemukan satu pun dari rekannya yang masih hidup ketika mereka kembali ke kota itu setengah tahun kemudian usai menjelajah wilayah Nusantara.
Ancaman kematian oleh wabah penyakit membuat penduduk Batavia melakukan berbagai upaya untuk melindungi diri, mulai dari menutup seluruh pintu dan jendela dari dalam rumah guna mencegah masuknya angin laut, memasang kelambu di tempat tidur, hingga tidak meminum air dari sungai yang kotor.
Baca juga: Cara Penduduk Batavia Memperoleh Air Minum
Menurut ahli sejarah Jakarta Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, penduduk Batavia memiliki cara sendiri dalam menjaga kesehatannya. Kaum pria menjaga kesehatan dengan minum segelas air gin sebelum makan apa-apa. Bagi penduduk Batavia masa itu meminum minuman beralkohol dianggap sebagai salah satu upaya mencegah penyakit. Bahkan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pernah menulis pada 1619 bahwa “bangsa kami harus minum atau mati”. Minuman beralkohol tak hanya dikonsumsi sebelum makan, tetapi juga beberapa kali sepanjang hari sampai malam sebelum tidur.
Selain minum minuman beralkohol, cara pencegahan lain dengan merokok. Heuken menyebut penduduk di Batavia lebih suka mengisap pipa daripada cerutu. “Mereka merokok pada saat menghadiri pemakaman dan saat para penjaga kota dengan bangga ikut serta dalam pawai kemiliteran. Dan tentu saja, mereka merokok pipa juga di depan rumah pada sore hari sambil menikmati udara ‘segar’ dari kali,” tulis Heuken.
Baca juga: Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing
Sementara itu, menurut arsiparis Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 2, apa yang dilakukan penduduk Batavia untuk mencegah penyebaran penyakit berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Inggris di wilayah koloninya. Bila Inggris memilih untuk memberikan akses bebas cahaya dan udara ke rumah mereka serta menjalani banyak kegiatan olahraga, penduduk Batavia justru cenderung menjalani pola hidup yang kurang sehat. Mereka jarang melakukan olahraga, mandi tidak terlalu dihargai, makanan berat dimakan berlebihan serta alkohol dianggap sebagai alat yang luar biasa dan diperlukan untuk melindungi diri dari penyakit.
“Pagi, siang, dan sore, kata Benevolus (nama samaran Robert Tytler, red.), orang Belanda itu minum jenever, rum, dan cognac; yang umum adalah wajah pucat dan bengkak, tangan gemetar, mata berair dan merah, serta napas berbau busuk; di malam hari orang-orang duduk di atas kanal yang bau, meminum alkohol dan mengisap rokok secara berlebihan. Ia lalu makan malam dan kemudian tidur dengan kondisi setengah mabuk di balik tirai tebal di kamar yang pengap,” tulis De Haan.
Baca juga: Gubernur Jenderal Van Imhoff Melarang Mandi di Kali
Seiring berjalannya waktu, alkohol bukan satu-satunya minuman yang dikonsumsi penduduk Batavia untuk menjaga kesehatan. Setelah memperhatikan orang Cina lebih jarang diserang penyakit yang tiba-tiba, orang Eropa pun berspekulasi bahwa minum teh dibandingkan minum air putih mungkin merupakan suatu pencegahan. Oleh karena itu, mereka pun beramai-ramai meminum teh. Sementara orang-orang berdompet tebal tak segan merogoh kocek lebih dalam demi mengimpor air Spa atau Seltzer dari Eropa maupun sumber mata air dari pedalaman untuk memenuhi kebutuhan air minum mereka.
Menurut Hanna, para pembesar dan orang-orang kaya meninggalkan Oud Batavia atau Batavia Lama yang berbau busuk untuk pindah ke daerah yang lebih sehat, salah satunya kawasan Weltevreden yang udaranya dianggap bersih dan nyaman. “Menjelang akhir abad, kota yang berdinding tembok itu terutama hanya didiami oleh orang-orang mestizos yang paling miskin dan orang-orang Cina yang lebih kasar,” tulis Hanna.*