“Selamat siang. Sebelum duduk, mohon siapkan uang pas dan masukan ke kotak itu. Terimakasih.” Begitulah sapaan ramah sopir bus Patas AC kepada setiap penumpang sejak 14 Mei 1993. Sapaan ini menjadi populer ketika pengoperasian Patas AC milik Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) memakai sistem Rute Metode Baru (RMB).
RMB menggantikan sistem setoran atau Wajib Angkut Penumpang (WAP) untuk bus Patas AC di Jakarta. Selama menggunakan sistem WAP, PPD menerima tiga konsekuensi negatif: defisit anggaran, hubungan buruk antara perusahaan dan karyawan, dan ketidakpuasan penumpang.
Penyebab defisit keuangan PPD berasal dua sumber: internal dan eksternal. “Secara internal (inward looking), kerugian ini karena karyawan belum berdisiplin, perhatian terhadap perusahaan belum baik, dan kurang setuju terhadap sistem kompensasi yang diberikan,” tulis Sri Haryoso Suliyanto dalam Perbandingan Sistem Wajib Angkut Penumpang dan Rute Metode Baru dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Perum PPD, tesis pada jurusan Ilmu Administrasi FISIP-UI tahun 1995.
Beda WAP dan RMB
Paradigma WAP berpusat pada pencarian penumpang sebanyak-banyaknya. Awak bus Patas AC berkewajiban mengangkut sejumlah penumpang berdasarkan target dari PPD. Cara awak bus memperoleh penumpang berlandas pada aturan PPD dan lalu lintas.
Tapi bagi awak bus Patas AC, aturan PPD dan lalu lintas justru menyusahkan perolehan penumpang. Kesulitan memperoleh penumpang menyebabkan uang awak bus terlalu minim untuk membayar setoran.
Kekurangan uang setoran menjadi utang awak bus Patas AC. Untuk menghapus utang, awak bus harus memperoleh lebih banyak penumpang. Cara itu tercapai bila mengabaikan sejumlah aturan PPD dan lalu lintas.
Baca juga: Patas, Bus Kaum Berdasi
Tapi PPD tak selalu senang dengan pelanggaran awak bus terhadap aturan perusahaan dan lalu lintas. Mereka menilai awak bus Patas AC susah diatur dan merugikan nama baik perusahaan. Sebaliknya, awak bus memandang perusahaan terlalu banyak menuntut, tetapi begitu sedikit memberi. Hubungan antara karyawan dan perusahaan pun penuh ketegangan dan kecurigaan.
Hubungan buruk tersebut berdampak pada penumpang. PPD gagal memberi penumpang layanan memuaskan. “Tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna jasa,” catat Sri Haryoso. Akibatnya penumpang memilih naik kendaraan pribadi. Inilah penyebab defisit keuangan PPD dari faktor eksternal.
PPD merasa perlu mengubah keadaan tersebut. Dimulai dari mengubah sistem WAP bus Patas AC menjadi RMB. Orientasinya pun bergerak pula. “Dari mencari penumpang sebanyak-banyaknya kepada memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya,” ungkap Sri Haryoso. Jika berhasil, RMB akan menggantikan pula WAP di bus reguler dan Patas.
Baca juga: Bus Patas dari Cepat Terbatas Jadi Tanpa Batas
Harapan PPD pada sistem RMB ada tiga. Menaikkan pendapatan, menyejahterakan awak bus Patas AC, dan memuaskan penumpang. Jika berhasil, RMB akan berlaku untuk seluruh angkutan umum Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Demikian laporan Kompas, 15 Mei 1993.
Mengerek Pendapatan
Langkah pertama untuk mewujudkan semua tujuan tersebut adalah penghapusan peran kondektur dalam bus Patas AC. Sebuah kotak transparan (fare box) tersedia di samping sopir bus sebagai pengganti kondektur.
Penumpang harus memasukkan uang Rp1.300 ke kotak tersebut. Setelah itu, penumpang boleh duduk di kursi mana saja. PPD yakin cara ini akan menekan kebocoran pendapatan akibat ulah kondektur dan oknum penarik pungli.
Langkah kedua penerapan RMB berpijak pada peningkatan interaksi antara awak bus Patas AC dan penumpang. PPD berupaya menghadirkan keramahan kepada para pengguna jasanya. Antara lain dengan mewajibkan awak bus menyapa penumpang.
Baca juga: Patas, Bus Kaum Berdasi
Langkah berikutnya mengarah ke pendisiplinan ulang awak bus Patas AC dan penumpang. Sopir bus tak wajib lagi menyetorkan sekian rupiah kepada PPD. Dengan begini, dia bisa mengemudikan busnya secara santai tanpa ngoyo. Sementara aturan bagi penumpang sangat sederhana: naik dari pintu depan, keluar lewat pintu belakang. Tidak perlu memaksa masuk jika tak ada kursi kosong.
Bus-bus Patas AC RMB pertama berasal dari bus baru pengangkut anggota delegasi Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok (KTT GNB) di Jakarta pada September 1992. Bus itu melayani umum melalui Surat Keputusan Gubernur Jakarta 11 Mei 1993.
Baca juga: Awak Bus Patas AC Menggugat Operator
"Busnya Mercedes. Karoseri Volgren asal Australia. Pintunya otomatis dan ada bel untuk memberitahu sopir jika penumpang ingin turun di halte khusus," kenang Bayu Kusuma Yuda, salah satu pengguna aktif bus tersebut pada masa kecil bersama bapaknya.
Penerapan RMB berpengaruh besar pada PPD sepanjang beberapa waktu. Kajian Sri Haryoso memperlihatkan peningkatan kepuasan penumpang terhadap layanan PPD. Seiring peningkatan kepuasan penumpang terhadap layanan PPD, minat orang naik Patas AC ikut terkerek pula. Pemasukan pun bertambah. PPD senang, sopir girang.