Lima lelaki menghentikan bus Patas AC. Lagak mereka seperti penumpang biasa. Mereka naik dari pintu depan, sesuai aturan. Dua duduk di depan, tiga menuju kursi deretan belakang. Baru saja duduk, dua lelaki di depan berdiri kembali. Mereka menodongkan pisau ke leher sopir beserta kondektur. Tiga lelaki di belakang ternyata juga bersenjata tajam.
“Hati-hati, Pak sopir! Ingat nyawa. Jalankan terus kendaraan!” kata seorang lelaki di depan. Kemudian dia memberi kode kepada tiga temannya di belakang untuk menjarah setiap barang berharga milik penumpang. Ada belasan penumpang di dalam bus Patas AC malam itu. Tapi tak seorang pun berani melawan. Mereka serahkan barang berharga ke komplotan penjahat.
Kejahatan dalam Patas AC jurusan Kalideres (Jakarta Barat)-Cililitan (Jakarta Timur) tercatat dalam Kompas, 15 September 1990. Masa ini jumlah penumpang Patas AC di Jakarta sedang tinggi-tingginya.
Runtuhnya Citra
Setelah sempat sepi sejak pengoperasiannya pada pertengahan Maret 1988, Patas AC mulai memperoleh pangsa pasarnya. Trayek-trayek baru bermunculan dan bus-bus tambahan bersliweran. Mayasari Bakti, operator swasta, menyiapkan 50 bus patas AC pada awal 1989 dan mengusulkan kepada pemerintah daerah agar membuat rute Patas AC di sepanjang permukiman golongan menengah ke atas.
Baca juga: Patas AC, Bus Kota Kaum Eksekutif
Kaum eksekutif perlahan memanfaatkan bus kota bertarif mahal (tiga kali lipat dari bus reguler dan dua kali lipat dari bus Patas) untuk pergi kerja dan pulang ke rumah. Mereka memuji Patas AC sebagai bus kota paling cepat, nyaman, dan bergengsi.
Bus Patas AC berjalan secara tertib. Sopir menaik-turunkan penumpang di halte tertentu. Kondektur mengabarkan posisi bus setiap beberapa menit kepada petugas operator melalui radio komunikasi. Penumpang memperoleh karcis setelah membayar ongkos ke kondektur.
Janji Pemerintah Daerah dan operator bus menghadirkan angkutan umum yang cepat, terbatas, aman, dan nyaman telah tunai beberapa jenak. Anggapan sejumlah orang bahwa Patas AC telah gagal menjadi bus kaum eksekutif berdasarkan jumlah penumpang pada pengoperasian hari pertamanya, juga gugur sementara.
Tapi kejahatan di dalam Patas AC Kalideres-Cililitan itu meruntuhkan semua pujian di sekeliling Patas AC.
Selain kejahatan, cela lain Patas AC berkisar pada soal melemahnya pengawasan operator, banyaknya pungutan liar di jalan yang menimpa awak bus, merosotnya kesejahteraan awak bus, penerapan kembali sistem setoran (Wajib Angkut Penumpang), menaiknya jumlah setoran sedangkan tarif dari pemerintah tidak bergerak, dan bertindihannya trayek bus kota satu sama lain (bus reguler, Patas, Patas AC, dan mikrobus).
Baca juga: Patas, Bus Kaum Berdasi
“Patas AC berubah fungsi. Kenyataan yang kita dapati belakangan ini, bus Patas AC tidak berbeda dengan bus reguler. Berjejal, penuh, dan ngetem di mana-mana. Menimbulkan kesan kumuh,” kata seorang warga dalam Kompas, 23 April 1991.
Nasib Awak Bus
Ketika operator berupaya memperbaiki layanan Patas AC, sasaran pertama perbaikan adalah perilaku awak bus. Operator yakin sumber kekacauan pelayanan Patas AC berasal dari perilaku awak bus. Maka mereka menerapkan tindakan tegas terhadap pelanggaran para awak bus. Tapi semakin tegas penindakan, semakin kuat perlawanan balik dari awak bus.
Awak bus Patas AC berpendapat operator hanya tahu untung, tapi tidak pernah sekalipun memikirkan kesulitan awak bus di jalan. Utamanya soal pungutan liar dan kesejahteraan.
Puncak konflik operator dengan awak bus Patas AC terjadi ketika delapan awak bus dipecat secara sepihak oleh PPD pada akhir 1991. Pemecatan berawal dari pelanggaran kondektur bus. Mereka tidak memberi penumpang karcis.
Operator menghitung jumlah penumpang naik dan uang masuk berdasarkan sobekan karcis. Semakin banyak karcis tersobek, semakin banyak pula penumpang naik dan uang masuk. Kalau kondektur tidak memberi penumpang karcis, operator menduga kondektur telah menilep uang perusahaan.
Baca juga: Suka Duka Sopir Bus Dodge
Kondektur mengakui perbuatan tersebut. Tetapi mereka mengatakan uang tersebut bukan untuk memperkaya dirinya, melainkan untuk membayar aneka macam pungli di jalanan. Pungli berasal dari petugas dinas jalan raya, preman, sampai polisi. Demikian catatan Kompas, 12 November 1991.
Biaya pungli bisa mencapai Rp10.000-30.000 setiap hari. Tergantung pada kondisi rute tempuh. Semakin sarat penumpang, semakin tinggi punglinya. Gaji kondektur sebulan sekira Rp70.000 dan uang makan per hari Rp12.500. Waktu kerja mereka 24-25 hari sebulan, sehingga total pendapatan mereka Rp382.500. Tapi terpotong oleh pungli hingga Rp250.000-750.000 sebulan.
Operator tidak lekas percaya pengakuan kondektur. Sebaliknya, kondektur justru melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), datang ke DPRD, dan menggugat operator PPD ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas pemecatan sepihak tersebut. Salah satu tokoh yang membantu awak bus adalah Nursyahbani Katjasungkana. Tetapi ketika dihubungi Historia, dia agak lupa dengan akhir gugatan tersebut.
Kondektur menilai perbuatan mereka tidak layak diganjar pemecatan. Sebab sesuai aturan PPD, hukuman bagi awak bus yang tidak memberi penumpang karcis adalah teguran atau surat peringatan. Dasar pembelaan ini menyebabkan posisi PPD terdesak.
Peristiwa ini menjadi salah satu alasan PPD menghapus peran kondektur dalam sistem layanan Patas AC baru pada 1993. Sistem ini bernama Rute Metode Baru (RMB).