Masuk Daftar
My Getplus

Tanam Paksa Dorong Penelitian Pangan

Tanam paksa membuat rakyat kelaparan dan kurang gizi. Menganggap itu sebagai kerugian, dokter-dokter kolonial melakukan penelitian bahan pangan.

Oleh: Fadrik Aziz Firdausi | 03 Nov 2017
"East Indian Market Stall in Batavia" karya Albert Eckhout. Foto: fineartamerica.com.

DUA puluh tahun pertama penerapan cultuurstelsel (tanam paksa) adalah masa tersulit bagi masyarakat Pulau Jawa. Para petani dan penduduk desa diwajibkan menanam, memelihara, dan memanen tanaman ekspor seperti tebu dan kopi. Tak hanya itu, mereka juga harus membangun prasarana dan infrastruktur.

Akibatnya, tanah-tanah pertanian terbengkalai yang menyebabkan bencana kelaparan. Seperti di Demak dan Grobogan selama 1848 sampai 1850. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV mencatat, “Jumlah penduduk Demak, misalnya, telah turun dari 336.000 sampai 120.000, sedangkan jumlah penduduk Grobogan turun dengan lebih banyak lagi, yaitu 89.500 sampai 9.000.”

Daerah-daerah lain di Jawa Tengah juga mengalami hal yang sama. Gagal panen dan kelaparan berujung pada wabah penyakit dan rendahnya asupan gizi. Standar kesehatan penduduk menurun drastis, padahal pemerintah kolonial amat bergantung kepada tenaga mereka. Kondisi ini lalu direspons oleh dokter-dokter kolonial.

Advertising
Advertising

“Dokter dan ahli gizi yang berafiliasi dengan pemerintah melihat ini sebagai kerugian, karena tenaga bumiputra sangat dibutuhkan untuk kepentingan ekonomi kolonial. Lalu mereka menggalakkan perbaikan gizi, vaksinasi, juga riset-riset kesehatan untuk menyempurnakan potensi bumiputra sebagai tenaga kerja,” ujar Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjadjaran.

Menurut Fadly, standar gizi bumiputra sangat rendah dibandingkan dengan orang Eropa. Bahkan, botanis Jacobus Bontius dan Rumphius sudah menengarai hal itu sejak abad 17 di wilayah timur Hindia. Menurutnya, Hindia sangat kaya akan flora yang bisa dibudidaya dan dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan penduduk lokal. Namun, VOC tidak pernah menggubris hal itu dan hanya fokus pada perdagangan rempah. Bumiputra pun sama tak acuh.

“Bagi dokter dan ahli gizi Eropa standar kesehatan dan gizi bumiputra itu begitu memprihatinkan. Walaupun, bagi bumiputra sendiri itu bukan sesuatu yang memprihatinkan,” ujar Fadly yang fokus pada sejarah pangan.

Di Eropa, pemahaman akan nutrisi pada makanan mulai mengemuka sejak awal abad 19. Dalam Chemistry and Its Applications to Agriculture and Physiology (1846), ilmuawan Jerman Justus von Liebig menerakan bahwa jaringan sel hidup (termasuk bahan makanan) terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein.

Sementara di Hindia Belanda penelitian terkait nutrisi bahan pangan mulai dilakukan pada paruh kedua abad 19. Fokus pertama riset-riset awal ini terutama pada inventarisasi bahan pangan dan observasi pola makan. Pionirnya, L.F. Praeger, berfokus pada pemetaan keragaman bahan makanan. Pada 1863, dia menerbitkan hasil risetnya berupa katalog aneka bahan makanan yang lazim dikonsumsi di Hindia Belanda berikut kategorisasinya.

Praeger mengkategorisasi bahan makanan dalam enam kelompok. Kelompok I bahan-bahan makanan pokok meliputi beras, sagu, kentang, ubi jalar, singkong dan beberapa jenis buah. Kelompok II dan III sumber protein hewani dan nabati. Kelompok IV berupa sayur mayur dan buah. Kelompok V minuman dan kelompok VI bahan lain sebagai stimulan, pemedas, dan pencuci mulut. Melalui risetnya itu, Praeger secara tak langsung menawarkan perlunya keragaman konsumsi bahan makanan.

Riset awal Praeger itu kemudian disempurnakan dengan penelitian dr. Adolphe Guillaume Vorderman pada 1884. Vorderman melengkapi katalog Praeger dengan bahan makanan orang Tionghoa. Lebih jauh dia juga menyertakan deskripsi singkat terkait sejarah pembudidayaan bahan, asal-usul, ciri fisik, hingga cara pengolahan dan khasiatnya.

“Tetapi, Vorderman cenderung hanya memetakan dan mengenalkan berbagai bahan makanan dan belum sepenuhnya melakukan penanaman kesadaran akan nutrisi dan kesehatan terhadap pembacanya,” tulis Fadly dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia.

Adalah dokter Cornelis Leendert van der Burg yang kemudian melakukan hal itu. Dia menjelaskan pentingnya pengetahuan gizi dan petunjuk konsumsi makanan dalam bukunya De Geneesheer in Nederlandsch-Indie yang terbit bersamaan dengan karya Vorderman. Buku van der Burg itu mendapat sambutan hangat dan sangat populer. Kepopulerannya, menurut Fadly, “Tak lain karena dia menyajikan hubungan berbagai praktik hidup keseharian di Hindia secara komprehensif, dan salah satu tema yang paling banyak dibahasnya adalah bahan makanan berikut cara-cara mengolah dan mengonsumsinya secara ideal.”

Van der Burg mengobservasi pola makan seluruh lapisan masyarakat Hindia Belanda. Baik Eropa, Tionghoa dan orang timur asing lainnya, serta bumiputra. Melalui observasinya, dia menyimpulkan bahwa orang Eropa semestinya beradaptasi dalam soal pola makan. Standar Eropa yang cenderung lebih banyak mengonsumsi daging dan lemak tidak sepenuhnya cocok untuk kondisi Hindia Belanda.

“Menurutnya semua itu bagus untuk lingkup wilayah dingin, tetapi di tempat beriklim panas standar tersebut tak perlu seluruhnya diikuti. Dari penelitiannya, dia mendapati orang-orang Tionghoa yang menderita karena mengonsumsi terlalu banyak lemak,” tulis Fadly.

Penelitian lain yang penting di akhir abad 19 adalah yang dilakukan oleh Christian Eijkman terkait penyebab utama penyakit beri-beri. Van der Burg sebenarnya telah menyinggung tentang beri-beri. Dia mendapati adanya hubungan antara penyakit dengan kualitas kebersihan dan pemasakan beras yang buruk. Dia juga menengarai ada hubungan antara penyakit beri-beri dengan konsumsi beras. Itu dikuatkannya dengan mengutip penelitian Von Rochard dan Dr. B. Simmons, peneliti beri-beri. Tetapi, sejauh itu mereka masih berasumsi bahwa penyakit beri-beri disebabkan oleh bakteri.

Eijkman merevisi asumsi itu dan menemukan penyebab sebenarnya dari penyakit beri-beri. Pada 1896, dia berhasil menemukan bahwa penyebab beri-beri adalah kurangnya vitamin B1 atau thiamine. Sejak itu diketahui bahwa beri-beri bermula dari pengolahan bahan makanan, dalam hal ini beras, yang kurang baik. Kebiasaan makan beras putih yang tidak berkulit ari di kalangan bumiputra ternyata tanpa disadari malah menyebabkan beri-beri. Diketahui pula bahwa beras merah punya khasiat menangkal penyakit itu.

“Apa yang dihasilkan dari penelitian Eijkman itu pun menjadi perbincangan dan pemikiran penting di kalangan ilmuwan menjelang awal abad 20. Kesadaran terhadap kesehatan dan higienitas dalam memandang makanan dan praktik makan secara bertahap mulai tertanam dalam kehidupan masyarakat, baik di luar negeri maupun di Hindia sendiri,” tulis Fadly.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola Selintas Hubungan Iran dan Israel M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Tradisi Sungkeman