Masuk Daftar
My Getplus

Sudah Kena Pes Tertimpa Apes

Usaha pemerintah kolonial memberantas pes lebih mengerikan dibanding penyakit itu sendiri.

Oleh: Nur Janti | 04 Jul 2019
Pameran Dinas Pemberantasan Pes di Klaten. Sumber: Dukun dan Mantri Pes.

PADA 1910, wabah pes menyerang Malang, Jawa Timur. Tak butuh lama bagi nestapa ini untuk menyebar ke daerah-daerah lain. Semarang dan Yogyakarta jadi korban berikutnya. Akibatnya, dari 1910-1939, pes memakan 39.254 korban jiwa di Jawa Timur, 76.354 di Jawa Tengah, dan 4.535 di Yogyakarta.

Wabah pes terus merembet ke barat Jawa. Pada 1920-an, pes menyerang Cirebon, Priangan, dan Batavia dengan angka kematian yang terus meningkat. Dari 1933-1935, wabah pes mencapai puncaknya di Jawa Barat dengan kematian mencapai 69.775 jiwa.

Untuk menanganinya, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Publik) membentuk program pemberantasan pes. Ketika wabah pes makin menjadi dan menjalar ke berbagai daerah, pemberantasan pes tidak lagi dinaungi BGD yang berada di Batavia melainkan diurus daerah masing-masing.

Advertising
Advertising

Pada 2 Januari 1915, persiapan pembentukan Dienst der Pestbestijding (DDP, Dinas Pemberantasan Pes) di tiap daerah terjangkit pes. Tiga minggu kemudian, 28 Januari 1915, Gubernur Jenderal Alexander Willem F Idenburg mengeluarkan surat keputusan No.2 yang menetapkan Dienst der Pestbestijding sebagai lembaga otonom untuk melayani distrik terjangkit pes. DDP, yang keberadarannya terlepas dari BGD, kewenangannya berada di masing-masing karesidenan.

Baca juga: Hari Kesehatan Nasional dan Pemberantasan Malaria

Petugas kesehatan, mulai dari mantri, perawat Eropa, hingga dokter Jawa, dikirim ke kampung-kampung untuk memeriksa penduduk pribumi. Tjipto Mangunkusumo, salah satunya, yang ikut memberantas pes di Malang. Di Surakarta, mantri pes dan pengawasnya datang ke rumah penduduk untuk memeriksa setiap Rabu. Kegiatan mereka menutupi ketiadaan dokter-dokter Eropa, yang jarang sekali mau berkunjung ke kampung. Selain karena akses yang suliit dijangkau dari kota, ketidakmauan dokter Eropa disebabkan adanya kesenjangan kelas dan sentimen rasial yang bikin dokter kulit putih enggan menyentuh pasien pribuminya.

Diskriminasi itu tampak jelas jika dibandingkan dengan penanganan pes pada orang Eropa. Para kulit putih penderita pes umumnya langsung dilarikan ke rumah sakit secara cuma-cuma, dapat makanan bergizi gratis, dan pemeriksaan rutin setiap hari oleh dokter kulit putih.

Sementara, orang yang tinggal serumah dengan pasien pes kulit putih harus menjalani isolasi selama dua minggu. Mereka menjalaninya dengan fasilitas amat layak, berupa bangunan barak observasi kokoh dan luas.

Baca juga: Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa

Kondisi itu berbeda jauh dari yang diterima kaum terjajah. Jika satu warga terbukti menderita pes, satu kampung langsung diungsikan ke barak obsevasi. Barak untuk pribumi itu terbuat dari papan, beratap daun, dan terdapat tiang bambu. Hal ini jadi paradoks lantaran pemerintah memerintahkan penduduk pribumi untuk mengganti bahan baku rumah mereka dari bambu jadi bata dan kayu.

Banyak penduduk menolak dipindahkan ke barak. “Kebanyakan orang pribumi menganggap ekses penerapan kebijakan pemerintah kolonial jauh lebih menakutkan dan menyengsarakan dibanding penyakit pes itu sendiri,” tulis Martina Safitri dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”. Penanganan pes pada pribumi pun bukan karena pemerintah kolonial peduli pada kesehatan warga jajahannya, melainkan semata tak ingin tertular penyakit nestapa itu.

Terkadang, pemerintah tak bisa berbuat banyak menghadapi penolakan warga untuk diungsikan. Pasalnya, jumlah polisi dan pejabat desa yang mengamankan rumah tidak sebanding dengan jumlah rumah yang harus dijaga. Itu antara lain bisa dilihat di Desa Gandjar, Malang yang memiliki 150 keluarga yang harus dipindahkan sedangkan jumlah polisi hanya 2-3 orang.

Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis

Banyak penduduk yang sudah dipindahkan pun nekat kembali ke desa pada malam hari untuk menjaga rumah masing-masing. Mereka kembali ke barak, yang letaknya di luar permukiman, menjelang pagi. Main kucing-kucingan itu disebabkan penduduk khawatir barang-barang di rumah mereka raib atau lebih buruk lagi, rumah mereka dibakar karena dianggap sarang tikus berkutu pembawa penyakit pes.

“Pada abad ke-20, beberapa Layanan Pes membakar habis sebuah desa yang dijangkiti pes. Tindakan ini meningkatkan kecurigaan kaum nasionalis pada layanan medis Eropa,” tulis Peter Boomgard dalam “The Development of Colonial Health Care in Java”.

Rumah-rumah yang sudah dibakar itu kemudian dibangun ulang dengan bata dan kayu. Namun, jumlah kompensasi dari pemerintah amat kecil sehingga sulit membangun ulang rumah yang sudah dibumihanguskan sekampung itu. Di Semarang, bila seseorang tidak bisa melakukan perbaikan rumah sesuai aturan, terpaksa menyerahkan tanahnya kepada gemeente.

Baca juga: Kisah Jutaan Manuskrip yang Dibakar

Aturan yang memberatkan penduduk itu masih ditambah lagi dengan kewajiban mengapur tembok rumah dan rutin menjemur semua perlengkapan, seperti kasur, bantal, pakaian dan lain-lain. Namun, tembok rumah siapa yang harus dikapuri jika tanahnya direbut?

TAG

medis

ARTIKEL TERKAIT

Hukuman Bagi Pelanggar Karantina di Hindia Belanda Penerjunan Tenaga Medis pada Wabah di Hindia Belanda Korona dan Beragam Virus yang Berasal dari Kelelawar Menelusuri Riset Virus Korona dan Kelelawar Bercermin dari Bantuan Pokok Pemerintah Kolonial di Tengah Wabah Bidan Ujung Tombak Penyehatan Generasi Baru Mencegah Bayi Mati Karena Tetanus Dokter Pribumi Menolak Diskriminasi Gaji Bahder Djohan dan Akses Bacaan untuk Dokter Pribumi Melahirkan di Masa Perang