Masuk Daftar
My Getplus

Hari Kesehatan Nasional dan Pemberantasan Malaria

Komando Soekarno dalam pemberantasan malaria ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 12 Nov 2018
Presiden Soekarno menyemprotkan DDT untuk memberantas malaria di sebuah rumah penduduk di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964).

PADA 12 November 1959, Presiden Soekarno memberikan komando pemberantasan penyakit malaria di Indonesia. Pada kesempatan itu, Soekarno melakukan penyemprotan pertama menggunakan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) di sebuah rumah penduduk di Kalasan, Sleman, Yogyakarta.  

Tanggal 12 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 64033/KBB/218 tanggal 30 Desember 1964. Sejak tahun 1973, Hari Kesehatan Nasional selalu diperingati dengan tema sesuai tujuan kesehatan yang hendak dicapai pada tahun itu.

Menurut Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I, pada peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-22 tanggal 12 November 1986, diresmikan monumen Pembangunan Kesahatan di Desa Kringinan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.   

Advertising
Advertising

Di Hindia Belanda, terutama Batavia, malaria menjadi musuh yang ditakuti. Setidaknya selama 53 tahun, antara 1714-1767, sekitar 72.816 penduduk Eropa di Batavia meninggal karena malaria. Batavia pun sempat dijuluki Het graf van het Oosten atau kuburannya negeri timur.

Baca juga: Berabad Lamanya Kina Jadi Obat Malaria, Kini Muncul Artemisia

Bertahun-tahun setelahnya malaria masih sulit ditanggulangi. Sampai pada pertengahan 1800-an, Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda Ch. F. Pahud memulai proyek besar menanggulangi malaria. Dia mengutus Karl Haskarl, ilmuwan berkebangsaan Jerman, untuk membudidayakan kina yang diselundupkan dari Peru. Kina dibudidayakan dan diproduksi secara besar-besaran untuk obat malaria.

Sampai Indonesia merdeka, malaria tetap menjadi penyakit yang menakutkan. Sehingga Sukarno mencanangkan pemberantasan malaria pada 1959. Menurut laporan Tempo, 22 Maret 1980, program pembasmian malaria antara 1959 sampai 1964 itu dengan bantuan USAID (The United States Agency for International Development). Program ini berhasil menekan penyakit malaria di Jawa-Bali, dari 10.000 penduduk hanya tercatat 1 penderita.

“Setelah Bung Karno –dalam masa menjelang akhir kekuasaannya– mengusir bantuan dari Amerika Serikat dan penanggulangan malaria kurang diperhatikan, penyakit ini merangkak naik,” tulis Tempo.

Departemen Kesehatan menempatkan malaria dalam deretan teratas penyakit yang harus diberantas. Dana yang dialokasikan cukup besar. Hampir separuh dari dana pemberantasan dan pencegahan penyakit menular jatuh ke malaria. Misalnya, untuk tahun 1978, tak kurang dari Rp2,7 miliar.

Baca juga: Ketika Politik Etis Jadi Bencana, Malaria Datang Menyerang

Pada 1980, dari delapan juta kasus pertahun dengan keluhan mirip malaria, begitu diperiksa di laboratorium, ternyata 1,2 persen positif menderita malaria. Untuk luar Jawa-Bali saban tahun tercatat 700.000 penderita yang masuk rumah sakit dan puskesmas. Saat itu, metode pemberantasan malaria untuk Jawa-Bali dibedakan dengan daerah lain. Ini disebabkan pemberantasan di Jawa-Bali lebih mudah karena penduduknya terkonsentrasi. Jadi, daerah ini mendapat prioritas. Di Jawa-Bali, selain penderita datang ke rumah sakit dan puskesmas, petugas-petugas kesehatan juga menyebar ke lapangan untuk mencari kasus-kasus malaria. Sedang luar Jawa-Bali hanya bersandar pada penyembuhan terhadap penderita yang datang ke rumah sakit atau puskesmas.

Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan yang sampaikan dr. Elizabeth Jane Soepardi, direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, pada 23 April 2018, sebagian besar warga Indonesia (72 persen) telah bermukim di wilayah bebas malaria. Namun, masih terdapat 10,7 juta penduduk yang tinggal di daerah endemis menengah dan tinggi malaria. Daerah yang tinggi tingkat penularannya berada di kawasan timur Indonesia yaitu sebanyak 39 kabupaten/kota. Wilayah endemis tinggi malaria tersebut berada di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: Awas Cacar Monyet

Target wilayah eliminasi malaria dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 2016 pemerintah berhasil mengeliminasi malaria di 247 kabupaten/kota, 2017 sebanyak 266 kabupaten/kota, dan 2018 ditargetkan 285 kabupaten/kota.

Selain pelatihan tenaga malaria (dokter, perawat, analis, kader, petugas surveilans, etomolog, dan penyediaan obat antimalaria dihydroartemisinin), pemerintah mengadakan pekan kelambu massal dan pemantauan penggunaannya. Secara nasional, jumlah kelambu yang didistribusikan untuk seluruh Indonesia sejak tahun 2004 sampai 2017 sebanyak 27,6 juta kelambu.

“Secara umum upaya yang efektif adalah tidur menggunakan kelambu, penyemprotan dinding rumah dan menggunakan repellent (penolak nyamuk),” kata dr. Jane. “Sementara yang lain adalah dengan manajemen lingkungan, termasuk menebarkan ikan pemakan jentik, seperti ikan mujair dan cupang.”

TAG

sukarno kesehatan malaria

ARTIKEL TERKAIT

Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Pertemuan Presiden Sukarno dan Paus Yohanes XXIII di Vatikan Bung Karno dan Takhta Suci Vatikan Rumah Proklamasi Pak Azis, Tukang Cukur Bung Karno Gambir Berdarah dan Kudatuli sebagai Tonggak Awal Reformasi Ratna Assan, Gadis Cilik Penyambut Sukarno di Amerika Guru Besar yang Disingkirkan Bung Besar