Masuk Daftar
My Getplus

Malaria di Cihea

Ketika Politik Etis yang mulia, berubah jadi bencana. Irigasi salah urus, malaria datang menyerang. 

Oleh: Bonnie Triyana | 25 Nov 2010

PEMERINTAH kolonial menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada kurun 1830-1870. Sistem ini diberlakukan untuk mengisi kembali pundi-pundi kas negara Belanda yang kosong terkuras untuk membiayai perang Jawa (1825-1830). Selama tiga dekade lebih penyelenggaraan tanam paksa, Belanda berhasil membawa keuntungan yang berlimpah. Namun seiring dengan mengalirnya gulden untuk Belanda, gerakan balas budi terhadap warga jajahan di Hindia Belanda pun muncul.

Menjelang akhir abad ke-19 berhembus isu penurunan tingkat (mindere-welvaart) kesejahteraan warga jajahan di Hindia Belanda. Gerakan balas budi itu kemudian semakin mengkristal dan berujung pidato Ratu Belanda di hadapan parlemen pada 1901. Dalam pidatonya itu Ratu menyampaikan sebuah konsep “kewajiban moral” kepada warga Hindia Belanda. Kemudian dari sana lahirlah Politik Etis, suatu program yang mengedepankan upaya meningkatkan kesejahteraan warga jajahan lewat edukasi, irigasi dan emigrasi.

Rencana besar itu pada kenyataannya tak semulia yang dibayangkan. Tiga program Politik Etis hanya menguntungkan pihak swasta yang membutuhkan tenaga murah dan fasilitas dari pemerintah. Emigrasi yang sejatinya bertujuan untuk pemerataan jumlah penduduk digunakan sebagai cara mendatangkan tenaga kerja ke perkebunan-perkebunan milik swasta Belanda. Bahkan di beberapa tempat program pembangunan irigasi menimbulkan masalah dan merugikan penduduk.

Advertising
Advertising

Sebuah skripsi di Universitas Diponegoro (2003) yang ditulis oleh Sofia Adrianti membeberkan ketidakberesan pembangunan irigasi berujung pada berjangkitnya wabah malaria di Cihea, Cianjur, Jawa Barat. Proyek pembuatan irigasi salah urus itu dilakukan antara tahun 1891 sampai dengan 1904 dengan tujuan mengairi areal persawahan seluas 8000 bau (1 bau = 7096 m2). Sebelum proyek pembangunan irigasi itu dilakukan, Bupati Cianjur Raden Aria Wiranatakusumah telah melontarkan ide terlebih dulu untuk mengairi sawah seluas 500 bau yang berada di Lembah Cihea.

Untuk mewujudkan idenya itu dia memerintahkan agar warga membendung sungai Cisokan yang mengalir melintasi daerah tersebut. Air lantas dialirkan untuk menggenangi lahan persawahan milik penduduk. Pengairan sawah dengan cara tradisional itu ternyata tak bisa berfungsi baik. Baru pada 1891, ketika pemerintah kolonial mencurahkan konsentrasi pada persoalan pengairan, proyek pembangunan irigasi yang lebih modern digalakkan. Sejumlah tenaga ahli bidang pengairan yang bekerja di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW, Burgerlijk Openbare Werken).

Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Desember 1890, Direktur BOW menjelaskan bahwa sebelum proyek pembangunan irigasi dimulai oleh pemerintah, luas areal persawahan yang berhasil dialiri air hanya sekira 1700 bau saja. Sementara 2000 bau areal persawahan mengandalkan sistem tadah hujan. Pada 1891 pemerintah memulai proyeknya. Pelaksanaan pembangunan irigasi dibagi menjadi empat bagian, yakni proyek Seksi I, Seksi II, Seksi III dan Seksi IV. Masing-masing seksi mengerjakan saluran primer, sekunder, tersier dan bangunan-bangunan pelengkap lainnya.

Untuk pembangunan proyek Cihea itu BOW mengajukan dana sebesar f.800 ribu. Dana diperoleh dari investasi pemerintah yang disetujui oleh Menteri Urusan Koloni dengan perhitungan f.100 per bau. Pemanfaatan irigasi ini selain untuk petani juga digunakan untuk perusahaan swasta yang beroperasi di daerah sekitar dengan harapan mereka bisa membayar biaya yang diberlakukan atas dasar jumlah debit air yang dimanfaatkan.

Pada awalnya pembangunan irigasi tak menemui hambatan yang berarti. Pembangunan kanal utama yang dilanjutkan dengan pembangunan saluran pada proyek Seksi I dan II berjalan lancar. Memasuki tahun ketiga pembangunan mulai mengalami hambatan yang datang karena lingkungan kerja yang kurang baik yang menyebabkan para pekerja jatuh sakit.

Menerima laporan tentang masalah ini Gubernur Jenderal C. Pijnacker Hordijk memerintahkan Jawatan Kesehatan Sipil untuk memberikan bantuan kesehatan pada para pekerja. Bahkan sebelumnya Pijnacker sempat berpikir untuk menghentikan saja proyek pembangunan irigasi tersebut. Namun pihak BOW memohon agak pembangunan irigasi dilanjutkan dengan alasan irigasi Cihea akan membawa banyak manfaat di kemudian hari.

Memasuki awal 1894 persoalan kesehatan pekerja bisa diatasi dengan bantuan dari Jawatan Kesehatan Sipil. Namun datang masalah berikutnya yakni kurangnya jumlah pekerja yang melaksanakan proyek pembangunan. Penduduk di sekitar daerah Cihea belum banyak. Belum lagi selesai masalah tenaga kerja, proyek kembali terhambat oleh persoalan sanitasi lingkungan kerja yang kurang bersih. Para pekerja yang sedang menyelesaikan pembangunan irigasi Seksi III terserang penyakit disentri. Proyek pun kembali tertunda.

Kendati tersendat-sendat, pembangunan proyek Seksi I dan II berhasil dirampungkan pada medio 1895. Saat itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda sudah beralih ke tangan Carel Herman Aart van der Wijck. Departemen Pekerjaan Umum kembali melanjutkan pembangunan Seksi III yang meliputi saluran primer pada bantaran sebelah kanan sungai Ciranjang.

Pada tahun yang sama pemerintah mulai mengetatkan anggaran karena pembangunan irigasi Cihea tahap pertama dan kedua telah menghabiskan banyak biaya. Penghematan itu membuat proyek tak lagi bisa leluasa dikerjakan. Proyek macet ini ternyata bukan saja terjadi di Cihea, tapi juga pada proyek-proyek lainnya. Dalam bukunya, Etika yang Berkeping-Keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877–1942, sejarawan Elsabeth Locher-Scholten menulis bahwa hal itu mengundang keprihatinan kaum etisi yang kemudian mendorong pelaksanaan pinjaman sebesar 100 juta gulden kepada pemerintah Belanda untuk membiayai proyek-proyek di Hindia Belanda.

Pada akhir abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda sendiri sedang mengalami defisit keuangan yang cukup parah. Sehingga melalui Departemen Urusan Koloni pemerintah Hindia Belanda mengajukan pinjaman kepada Departemen Keuangan di Negeri Belanda. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan proyek-proyek di Hindia Belanda seperti di Cihea salah satunya.

Di balik kesulitan yang menggelayuti realisasi proyek Cihea, para spekulan tanah mulai pasang aksi cari untung. Pihak swasta melihat lahan yang dilintasi oleh aliran irigasi akan naik nilainya. Mereka pun berlomba memengaruhi residen, asisten residen, kepala distrik dan kontrolir setempat untuk bisa menguasai lahan-lahan milik penduduk. Selain itu kepala-kepala pribumi yang bekerjasama dengan kontrolir bermain mata untuk menjadikan lahan liar yang berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870 dikuasai oleh negara menjadi lahan sewaan yang bisa dikuasai secara sepihak dengan harapan bisa memetik keuntungan apabila irigasi selesai dibangun. Perlakuan pemerintah kolonial terhadap petani pribumi pun tak kurang jomplangnya. Pemerintah memberlakukan pajak kepada mereka atas penggunaan air dari irigasi padahal keuntungan yang diraih petani pun tidak seberapa banyaknya.

Setelah pembangunan irigasi selesai pada 1904, masalah lain pun datang menyusul. Pemerintah abai terhadap keadaan lingkungan di Cihea, khususnya kondisi tanah di sana. Selain itu, pemerintah juga tidak berhitung bahwa petani yang bekerja di Cihea sangat terbelakang dan tak terbiasa menggunakan aliran irigasi yang pada zaman itu terbilang modern. Air yang mengaliri sawah ternyata menggenang dan tak kunjung surut. Genangan air pun meluas, menggenangi lahan-lahan selain persawahan. Walhasil Cihea terjangkiti wabah penyakit malaria.

Delapan tahun semenjak irigasi beroperasi, Cihea dinyatakan sebagai daerah endemi malaria. Dari laporan yang disusun oleh W.J van Gorkom mengenai wabah malaria di Cihea dapat diketahui tingginya tingkat kematian penduduk akibat malaria. Dari sekitar 22 desa yang ada di wilayah Cihea, tingkat kematian penduduk mencapai rata-rata 50 persen. Pembangunan irigasi di bawah semangat etis ternyata mendatangkan bencana. Selama beberapa tahun ke depan, paling tidak sampai dengan 1930, korban tewas berjatuhan di pihak penduduk.

Setelah irigasi beroperasi, pemerintah mengijinkan berdirinya sebuah pabrik kertas milik swasta Belanda. Pemerintah ingin menangguk untung besar dari keberadaan irigasi. Sementara itu para petani pun dikenakan pajak dari bunga investasi yang ditanam oleh pemerintah kolonial. Buruk wajah pemerintah kolonial pun dapat dilihat dari cara mereka menangani wabah malaria yang lamban sehingga persoalan berlarut-larut sementara penderitaan penduduk tak pernah berakhir. Inilah contoh betapa wajah etik kolonial ditutupi topeng hipokritnya.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Bergaya Lewat Karung Pisang Asal Jawa Dibutuhkan Australia Dari Manggulai hingga Marandang Ibu Negara dari Masa ke Masa Ranah Rantau Rumah Makan Padang Pahlawan Berbulu di Perang Dunia II Bos Sawit Tewas di Siantar Sambil Berhaji Menimba Ilmu Bung Karno di Meksiko Susahnya Bisnis Karet di Zaman Gerombolan