Masuk Daftar
My Getplus

Mahasiswa Indonesia dalam Proyek NASA

Mahasiswa Indonesia ini terlibat dalam sebuah proyek NASA. Memilih pulang ketimbang bekerja dengan gaji besar di Negeri Paman Sam.

Oleh: Randy Wirayudha | 11 Okt 2017
Giri Suseno Hadihardjono (kiri) etika diwisuda di University of Michigan di Ann Arbor pada Juli 1966 membantu pembimbingnya, Prof. Charles Lipson (kanan) mengerjakan sebuah proyek NASA. Foto: repro "Bermula dari Nol, Banda Aceh sampai Los Palos" dan lib.umich.edu.

KEBOHONGAN Dwi Hartanto terbongkar. Sebelumnya, media menyebutnya “The next B.J. Habibie” karena prestasinya yang luar biasa dalam teknologi antariksa dan roket. Padahal, dia hanya mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft, Belanda.

Terlepas dari kebohongan itu, sejak 1960-an Indonesia sebenarnya memiliki ilmuwan-ilmuwan hebat bahkan pernah bekerja dalam sebuah proyek NASA (National Aeronautics and Space Administration). Salah satunya Giri Suseno Hadihardjono (1941-2012).

Setelah lulus dari jurusan teknik mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), pada Juni 1964 Giri bersama 23 orang dari ITB dan IPB mendapat beasiswa S2 ke Amerika Serikat melalui program USAID (United States Agency for International Development).

Advertising
Advertising

Giri dan beberapa orang ditempatkan di University of Kentucky di Lexington. Setahun kemudian, dia pindah ke University of Michigan di Ann Arbor. Sambil kuliah, dia bekerja dengan pembimbingnya, Prof. Charles Lipson.

“Beliau sedang mengerjakan proyek dari Badan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA) untuk meneliti sifat-sifat kelelahan (fatigue properties) pada material,” kata Giri dalam biografinya, Bermula dari Nol, Banda Aceh sampai Los Palos.

Giri bertugas melakukan analisis terhadap kemampuan material dalam menerima beban berulang seperti yang terjadi bila material itu menerima getaran hingga material itu patah. “Belakangan baru saya ketahui bahwa material itu digunakan dalam pesawat ruang angkasa Apollo Space Craft,” kata Giri.

Giri membantu Lipson sampai lulus S2 dengan gelar MSME (Master of Science in Engineering-Mechanical Engineering) pada Juli 1966. Almamater memanggilnya pulang. Lipson berusaha menahannya dengan menawarkan dua tempat kerja: laboratorium University of Michigan yang dipimpinannya atau Stress Analytic Laboratory milik Ford Motor Company.

Giri menolak meski ditawari gaji sangat besar, US$9.000 per tahun. Lipson tetap mendesak bahkan meminta tunangan Giri menyusul ke Amerika Serikat. Dia akan menanggung biaya perjalanannya. Dia juga menyarankan agar Giri menikah di Amerika Serikat. Namun, Giri tetap menolak. Ketika Lipson bertanya berapa gajinya, Giri menjawab sekitar US$70 per bulan.

“Beliau sampai bilang bahwa saya sudah gila. Ditawari gaji yang jauh lebih besar tidak mau, malah mau hidup dengan gaji kecil. Profesor Lipson berkata, ‘Either you are dumb or crazy’ (entah Anda bodoh atau gila),” kenang Giri.

Kawan Giri yang bergelar master asal India dan bekerja di laboratorium University of Michigan mendengar pembicaraan mereka. Sambil bercanda dia mengatakan bahwa Giri keponakan Presiden Soeharto; Giri dipanggil pulang bukan karena panggilan almamater tapi akan membantu pamannya yang baru saja naik takhta menjadi presiden menggantikan Sukarno.

“Saya tidak tahu dia mengarang cerita itu dari mana sumbernya, karena saya memang bukan keponakan Pak Harto. Karena itu, kami bertiga pun tertawa-tawa,” kata Giri.

Sekembalinya di Indonesia, Giri menjadi dosen di ITB. Dia kemudian berkarier di direktorat perhubungan: direktur LLAJR, sekretaris sampai dirjen perhubungan darat, wakil B.J. Habibie di Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), dan menteri perhubungan merangkap menteri pariwisata, seni dan budaya (1998-1999).

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin