Masuk Daftar
My Getplus

Wejangan Penguasa Buat Partai Kalah

Bagaimana para penguasa di masa lalu memberikan nasehat untuk partai yang belum beruntung dalam mengikuti pemilu.

Oleh: Martin Sitompul | 29 Apr 2019
Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesian (PSI) dalam konferensi pers mengumumkan kekalahan partainya dalam pemilu 2019. Foto: @psi_id/instagram.

ADA kejutan dalam pemilihan umum (pemilu) yang baru saja kita gelar. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang populer di kalangan generasi muda, keok. Menurut hasil hitung sejumlah lembaga survei, PSI hanya mendulang suara kurang dari 2%. Itu berarti, PSI gagal mencapai ambang batas parliamentary treeshold (4%). Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dalam proses perhitungan menuju hasil akhir perolehan suara.  Kendati demikian, Ketua Umum PSI Grace Natalie telah mengakui dan menerima hasil kekalahan ini.

“Kami telah berjuang dengan apa yang kami bisa. (Dengan kekalahan ini) kami tak akan menyalahkan siapa-siapa,” kata Grace Natalie dalam konferensi persnya. "Inilah keputusan rakyat melalui mekanisme demokrasi yang harus kami terima dan hormati.”

Menanggapi kekalahan PSI , ada saja politisi lain yang sinis. Hanum Rais, putri politisi gaek Amin Rais ini misalnya. Dalam akun twitter-nya, Hanum me-retweet berita pernyataan Ketua Umum PSI Grace Natalie yang akan melanjutkan perjuangan partainya meski gagal lolos ke Senayan. Cuitan Hanum menarik untuk disimak karena menyebut PSI sebagai Partai Nasakom.     

Advertising
Advertising

“Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma,” tulis Hanum dalam retweet-nya.

Di masa lalu, menang atau kalah dalam pemilu adalah keniscayaan. Pada pemilu 1987, ada tiga partai yang bertarung: Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Persatuan Pembangunan. Hasilnya, Golkar menang besar dengan perolehan suara 73,11% dan meraih 299 kursi di parlemen. Sementara itu, PPP bersama PDI praktis menjadi partai gurem.  PPP memperoleh  61 kursi (15,96% suara) dan PDI 40 kursi (10,93% suara). Presiden Soeharto yang maju dari partai pemenang, Golkar tetap mengapresiasi semua pihak, termasuk partai-partai yang kalah. 

“Dalam sistem Demokrasi Pancasila, dalam negara kekeluargaan kita, kita tidak berbicara tentang siapa yang kalah atau siapa yang menang. Jika kita harus berbicara tentang kemenangan dalam pemilu ini, maka yang menang adalah kita semua,” kata Presiden Soeharto menyikapi hasil pemilu 1987 dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H.

Menurut Soeharto, dalam pemilu 1987, semua partai berkompetisi dengan menawarkan program kerja nyata yang dikemas secara menarik dan semarak. Kontestasi yang terjadi tak kalah seru dengan adu kampanye ideologi golongan yang mengandalkan politik identitas serta rawan konflik. Meski demikian, dia tak menampik adanya penyimpangan selama proses kampanye berlangsung. 

“Benar di sana-sini masih timbul penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kampanye. Tetapi pengalaman sangat berharga yang dapat kita tarik dari pemilu yang baru lalu adalah bahwa semua peserta pemilu telah berusaha sebaik-baiknya untuk menawarkan program-program yang terbaik dan tokoh-tokoh yang terbaik kepada bangsa kita,” kata Soeharto.

Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu

Kesan yang kurang lebih sama juga disampaikan wakil presiden terpilih, Umar Wirahadikusumah. Dia menekankan agar perasaan menang kalah dalam pemilu jangan terus berlanjut. Bagi pemenang, Umar mengingatkan tanggung jawab yang berat dalam mengatur kehidupan dan pembangunan bangsa. Dan bagi yang kalah, Umar berwejang agar berbesar hati dan meyakini pentingnya peranan serta partisipasi mereka untuk ikut bersama-sama membangun negara.

“Kita harus mampu meningkatkan, memelihara dan melestarikan solidaritas nasional untuk dapat melampaui masa yang sementara memprihatinkan ini, kemudian membina masa depan bersama yang pasti akan jauh lebih cerah,” kata Umar dalam pengarahannya di depan pejabat pemerintah dan pemuka masyarakat se-Sulawesi Tenggara di Kendari dikutip Antara, 29 September 1987.

Pada 1999, gantian PDI Perjuangan yang tampil sebagai partai pemenang dalam pemilu pertama di masa reformasi.  PDI Perjuangan menempati urutan pertama dan memperoleh 153 kursi parlemen (33,74% suara). Golkar (22,44% suara, 120 kursi) dan PPP (10,71 suara, 58 kursi) menempati urutan kedua dan ketiga.

Baca juga: Nasihat Soeharto untuk Gubernur Irian Jaya

Pemilu yang dihelat bulan Juli 1999 itu melibatkan 48 peserta pemilu. Sebanyak 28 partai diantaranya terjungkal alias gagal mendapatkan kursi di parlemen. Hanya 6 partai yang tergolong partai pemenang pemilu, yaitu: PDI Perjuangan, Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Dalam memoarnya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Presiden Habibie mengatakan pemilu kali ini memungkinkan rakyat benar-benar memilih secara demokratis sebagaimana halnya pemilu 1955.  Atas hasil yang diperoleh, Habibie tak ketinggalan menyampaikan pesan kearifan.

Habibie mengimbau partai yang menang hendaknya menggunakan kemenangan yang diperolehnya diabdikan untuk kepentingan rakyat. Pun demikian dengan partai yang kalah tak boleh berkecil hati. Introspeksi perlu dilakukan partai yang kalah. Meski demikian mereka tetap wajib ikut menyukseskan program reformasi untuk seluruh bangsa.

“Terlepas dari komposisi perolehan suara oleh partai-partai, harus kita akui bahwa pihak yang mutlak menang dalam Pemilu 1999 ini adalah rakyat Indonesia seluruhnya,” ujar Habibie.

Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie

TAG

Pemilu

ARTIKEL TERKAIT

Jejak Ali Moertopo dalam Kerusuhan Lapangan Banteng Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai