BULAN ini, Juli, 76 tahun silam. Sersan KNIL Julius Tahija mendapat tugas memimpin pasukan berlayar ke Maluku dari markas pengasingan mereka di Australia. Dia belum tahu tujuan pasti dan misi yang diembannya karena surat perintah yang diterimanya baru boleh dibuka di tengah perjalanan.
Dia hanya tahu, tugasnya merupakan bagian dari upaya ABDACOM/Sekutu menahan gerak-maju pasukan Jepang yang menggunakan strategi lompat katak, yakni menduduki satu pulau untuk pijakan menduduki pulau berikutnya. Meski tak siap menghadapi invasi Jepang, KNIL tak ingin kedatangan Jepang ke Hindia Belanda berjalan mulus.
Sejak mengebom Pearl Harbor pada akhir 1941, Jepang dengan cepat menduduki daerah-daerah di selatan. Di Maluku, kabar akan datangnya Jepang sudah tersiar sejak akhir 1941. “Berita radio mengabarkan tidak lama lagi musuh akan datang. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari,” tulis Roger Maynard dalam Ambon: The Truth About One of the Most Brutal POW Camps in World War II and the Triumph of the Aussie Spirit. Penduduk berbondong-bondong mengungsi.
Sebuah serangan terhadap bandara dan Pelabuhan Darwin pada 19 Februari, menewaskan 240 orang, merisaukan ABDACOM (American-British-Dutch-Australia Command) akan datangnya serangan Jepang ke Australia. Untuk mengantisipasinya, mereka menyusun rencana perlawanan guna menggagalkan taktik lompat katak Jepang. ABDACOM lalu mengirim tim-tim kecil berisi 10-1000 personil ke berbagai pulau di tiga jalur utama menuju Australia dari utara.
Namun, upaya itu justru menjadi blunder karena banyak personil Sekutu itu ditawan dan dibunuh Jepang. Seruan dari lapangan agar langkah tersebut dihentikan, tak mendapat perhatian. Pengiriman tim-tim kecil tetap berjalan. Tahija dan pasukannya berangkat pada awal Juli 1942. “Saya memimpin salah satu kelompok yang terdiri atas 13 tentara Hindia Belanda,” kata Tahija dalam otobiografinya, Julius Tahija Melintas Cakrawala.
Mereka berlayar menggunakan kapal tua Griffioen yang hanya punya senapan dek ringan tapi tak dilengkapi radio komunikasi. “Begitu sampai di laut, saya membuka surat perintah. Kami harus pergi ke Desa Saumlaki di Pulau Jamdena di Kepulauan Tanimbar, 350 mil utara Darwin.”
Mereka tiba di pulau berpenduduk 5000-an jiwa itu pada sebuah malam setelah melewati laut yang tak bersahabat. Kala itu, satu-satunya akses untuk memasuki pulau hanya dermaga kecil yang menjorok ke laut, tempat Griffioen bersandar.
Dengan bantuan seorang inspektur polisi beserta 26 bawahannya plus penduduk setempat, Tahija dan pasukannya membuat parit perlindungan di sekitar dermaga untuk menyambut kedatangan musuh. “Jadi parit pertahanan kami tempatkan di pantai. Ini taruhan. Kalau saya salah, atau kalau Jepang mendarat di siang hari, kapal perangnya akan menghancurkan kami dalam waktu beberapa detik saja,” ujarnya.
Pada pukul 11 malam 29 Juli, Tahija pamit tidur kepada seorang pendeta yang mengajaknya ngobrol. Setelah tidur dan memimpikan sang pendeta, Jean istrinya, dan perang, Tahija terkaget-kaget karena dibangunkan prajurit jaga. Prajurit itu memberitahu dua kapal Jepang baru saja masuk Teluk Jamdena.
Tahija langsung ke ujung dermaga untuk memastikannya. Dia lalu mendapati dua kapal perang Jepang itu sedang menurunkan para prajurit bersenjata lengkap ke sekoci-sekoci yang akan membawa ke dermaga. Setelah kembali ke markas, Tahija dan pasukannya langsung bersiap di posisi masing-masing untuk menyambut kedatangan para serdadu Jepang. Tahija amat khawatir keputusannya salah.
Sementara, keyakinan bahwa Saumlaki tak dijaga membuat pasukan Jepang maju tanpa curiga sehingga tak sedikitpun melakukan pengecekan. “Dari parit persembunyian kami kini tinggal kira-kira 45 meter; berarti sudah masuk dalam jangkauan tembakan kami. Pada saat itulah saya menerikkan aba-aba dalam bahasa Belanda: ‘vuren!’,” kenang Tahija.
Puluhan serdadu Jepang langsung tumbang. Mereka kocar-kacir, suasana dermaga gaduh. Semangat tempur Sekutu melonjak.
Para serdadu Jepang yang masih hidup langsung memberi tembakan balasan. Meriam-meriam kapal perang Jepang memberi tembakan bantuan tak lama kemudian. Rombongan kedua pasukan Jepang, yang menjadikan jasad teman-teman mereka yang tewas sebagai tameng, datang membantu. Tembakan-tembakan Jepang mulai banyak memakan korban. Tahija sendiri kena pecahan peluru kaki kirinya. “Tindakan yang paling realistis adalah mundur ke hutan,” kata Tahija.
Setelah mempersiapkan segalanya, termasuk membakar dokumen dan memilih penduduk yang akan diajak, Tahija memerintahkan pasukannya mundur. Sayang, mereka tak berbarengan. Akibatnya, Tahija mesti menunggu anak buahnya sampai dua hari di hutan.
Begitu lengkap, mereka menyusuri jalan setapak hutan ke arah barat. Mereka akhirnya tiba di bagian paling ujung pulau. Penduduk setempat menyambut hangat mereka dengan mencukupi kebutuhan hidup selama di sana. Penduduk juga memberi perahu yang digunakan pasukan Tahija untuk menyisir pantai hingga akhirnya mendapatkan bantuan sebuah kapal Bugis dari penduduk desa lain. Dengan kapal itulah mereka kembali berlayar menuju Darwin.
Pelayaran pulang tak kalah membahayakan dari pertempuran di darat. Mereka mesti ke utara untuk mengelabui Jepang, lalu berbalik ke selatan menuju Darwin. Mereka terus bersiaga karena khawatir bertemu kapal perang Jepang. Ketika daratan Australia muncul di pelupuk mata, kapal terdampar di karang. Beruntung, pasang air laut datang beberapa jam kemudian sehingga kapal bisa kembali berlayar.
Mereka akhirnya mencapai Kepulauan Bathurst. Tahija langsung mendapat laporan bahwa radio Tokyo telah menyiarkan keberhasilan pasukan Jepang yang tinggal selangkah lagi dan gerak maju mereka hanya tertahan sebentar di Saumlaki.
Tahija dan sisa beberapa anakbuahnya akhirnya selamat mencapai tanah Australia. “Atasan militer Belanda, yang tahu bahwa sayalah yang melakukan perlawanan tersebut dengan 13 anak buah, mengajukan usul agar saya dianugerahi bintang kehormatan militer tertinggi –secara anumerta karena mengira saya gugur– Militaire Willmes-Orde,” ujar Tahija.