Masuk Daftar
My Getplus

Upah Petugas Pemilu Pertama

Panitia Pemilihan Indonesia mengerahkan banyak petugas untuk pemilu nasional pertama tahun 1955. Mereka diberi upah hingga uang lelah.

Oleh: Amanda Rachmadita | 01 Feb 2024
Repro foto anggota PPPS sedang menentukan sah atau tidak surat suara yang telah masuk TPS pada Pemilu 1955 (sumber foto: ANRI).

PEMILIHAN umum (pemilu) tentu sulit terlaksana bila tidak ada petugas yang mempersiapkan dan menyelenggarakannya. Realisasi rencana pelaksanaan pemilu nasional pertama semakin terlihat setelah Presiden Sukarno mengeluarkan keputusan mengenai pembentukan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Alfitra Salamm dalam “Pemilihan Umum dalam Perspektif Sejarah: Pengalaman 1955”, yang termuat di Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga Rampai, menyebutkan melalui Keputusan Presiden tanggal 7 November 1953, PPI dilantik dan diangkat sumpahnya oleh Kepala Negara pada 28 November 1953. Setelah pelantikan dilanjutkan dengan serah terima Kantor Pemilihan Pusat pada 3 Desember 1953. Pelaksanaan rapat pertama PPI diadakan pada 14 Desember 1953.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai panitia pemilu nasional, PPI dibantu oleh Panitia Pemilihan Provinsi; Panitia Pemilihan Kabupaten; Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tiap kecamatan yang bertugas mensahkan daftar pemilih dan menyelenggarakan pemungutan suara; Panitia Pendaftaran Pemilih di tiap desa yang bertugas melakukan pendaftaran pemilih dan menyusun daftar pemilih; serta Panitia Pemilihan Luar Negeri oleh perwakilan Republik Indonesia yang bertugas menyelenggarakan administrasi pemilihan dan mengumpulkan surat suara bagi WNI di luar negeri.

Advertising
Advertising

Baca juga: Manuver Politik Jelang Pemilu 1955

Honorarium Petugas

Para petugas pemilu tentu mendapatkan upah atas pekerjaan yang mereka lakukan. Misalnya, pegawai negeri yang di samping pekerjaannya sendiri merangkap atau dipekerjakan pada suatu panitia pemilihan, maka mereka akan mendapat honorarium. Namun, bila pegawai negeri itu dipekerjakan penuh (full time), maka mereka tidak mendapatkan tambahan gaji atau tunjangan apa-apa. Sedangkan pegawai negeri yang digaji menurut golongan/ruang V/b ke atas tidak diperkenankan merangkap atau dipekerjakan pada suatu panitia pemilihan.

Sementara itu, jika petugas panitia pemilihan bukan pegawai negeri, maka mereka akan mendapatkan honorarium sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri. PPI dalam Indonesia Memilih menyebut jumlah honorarium bulanan yang akan diterima oleh para tenaga lepas ini mulai dari Rp200 hingga Rp1.000.

Penetapan formasi tenaga lepas dalam suatu panitia pemilihan sangat terbatas. Walau begitu jumlahnya akan berlipat ganda di waktu-waktu memuncaknya pekerjaan selama pemungutan atau pemberian dan penghitungan suara. Pegawai negeri yang dipekerjakan pada suatu panitia pemilihan termasuk tenaga lepas yang berhak mendapat setengah dari jumlah honorarium yang ditetapkan.

Baca juga: Aparat Keamanan dalam Pemilihan Umum

Uang Sidang dan Uang Kehormatan

Pengeluaran lain berkaitan dengan upah bagi petugas pemilu adalah uang sidang. Ketua dan anggota diberi uang sidang Rp30 (untuk tiap rapat yang dihadiri dengan ketentuan uang sidang tidak melebihi Rp60) dalam satu hari.

“Penetapan ini dimuat dalam suatu Surat Keputusan Menteri Kehakiman. Dalam bulan Mei 1956, setelah Panitia Pemilihan Indonesia memberitahukan kepada Panitia Ad Hoc Pemilihan Umum, jumlah uang sidang tersebut kemudian disesuaikan dengan Keputusan Perdana Menteri RI tertanggal 8-5-1954 No. 100/P.M./1954, menjadi Rp40,- untuk tiap-tiap rapat,” tulis PPI.

Uang sidang untuk panitia-panitia selebihnya dibebankan pada anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri. Jumlahnya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, yakni ketua dan anggota Panitia Pemilihan, Panitia Pemilihan Kabupaten, dan PPS masing-masing Rp20, Rp15, dan Rp12,50 untuk tiap rapat, dengan ketentuan tidak boleh diberikan uang sidang untuk lebih dari dua rapat sehari.

Di samping uang sidang, ketua PPI, Panitia Pemilihan Provinsi, Panitia Pemilihan Kabupaten, dan PPS juga diberi “uang kehormatan” sebesar 10 kali uang sidang tiap bulan untuk melakukan tugas berkantor tiap hari. Menurut PPI, yang dimaksud “ketua” tidak hanya sang ketua secara pribadi, tetapi bisa juga wakil ketua atau seorang anggota panitia yang melakukan tugas berkantor karena ketua panitia berhalangan hadir. Tak jarang “uang kehormatan” itu dibagi ke beberapa orang yang bertugas menggantikan ketua berkantor.

Baca juga: Lagu-lagu Pemilu

Uang Lelah dan Uang Duka

Ada pula uang premi atau uang lelah untuk pekerjaan pencatatan penduduk, pendaftaran pemilih, serta lurah atau kepala desa sebagai ketua Panitia Pendaftaran Pemilih. Pencatatan penduduk dan pendaftaran pemilih umumnya dilakukan sekali jalan. Untuk pencatatan penduduk diberikan uang premi Rp0,10 per satu orang penduduk, sementara pendaftaran orang-orang yang berhak memilih diberikan uang premi Rp0,75 per satu orang pemilih. Penghasilan dari pekerjaan ini biasanya dibagi dua orang petugas. Uang premi ditentukan oleh kebijaksanaan pihak berwenang di lokasi tersebut, sehingga hasil yang didapat para petugas sering kali tak sebanding dengan kesulitan yang mereka hadapi di lapangan.

Selain petugas pencatatan penduduk dan pendaftaran pemilih, petugas-petugas tambahan yang dikerahkan untuk membantu panitia pemilihan juga mendapat uang lelah. Misalnya, petugas yang diperbantukan untuk penyiaran dan pembagian surat pemberitahuan kepada pemilih menjelang hari pemungutan suara akan diberikan komisi 10 sen tiap surat pemberitahuan yang diterima oleh pemilih. Selain itu, bagi para tenaga pembantu di TPS disediakan uang lelah maksimum 4 x Rp15.

Panitia pemilu juga menyediakan biaya perjalanan dan uang duka bagi petugas. PPI menyebut ongkos perjalanan dan penginapan diurus oleh Jawatan Perjalanan. Sedangkan untuk uang duka, setelah dirundingkan berkali-kali dan mendapat persetujuan pemerintah, pada Januari 1955 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan peraturan mengenai pemberian uang duka bagi petugas yang gugur saat menjalankan pekerjaannya.

“Yang penting dalam peraturan itu adalah penetapan jumlah sebesar Rp5.000 yang akan dibayarkan sekaligus, sama dengan jumlah maksimum yang bisa diberikan kepada janda atau ahli waris pegawai negeri sipil, untuk siapa berlaku beberapa peraturan,” tulis PPI.

Sayangnya, pembayaran uang duka sering kali tersendat oleh syarat-syarat administratif-birokratis. Upaya untuk mengatasi keterlambatan ini, pada April 1956 PPI mengeluarkan surat edaran kepada Panitia Pemilihan Provinsi maupun Panitia Pemilihan Kabupaten yang menganjurkan agar penyerahan uang duka sedapat mungkin dilakukan terlebih dahulu oleh ketua Panitia Pemilihan sendiri dengan disertai upacara sederhana di kantor kecamatan, kewedanaan, atau kabupaten.*

TAG

pemilu

ARTIKEL TERKAIT

Jejak Ali Moertopo dalam Kerusuhan Lapangan Banteng Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai