SAYA tiba di Amsterdam tepat pada 1 Mei, hari buruh. Sebagian pekerja libur di sini, sebagian tidak. Tapi berbeda dengan di Indonesia, di Belanda “May Day” bukan hari libur nasional. Kalau memang soal libur merupakan ukuran kemajuan, bolehlah kita merasa lebih maju dari Belanda. Tapi soal kenyataan hidup buruh, memang lain adanya. Buruh di Belanda jauh lebih terjamin hidupnya ketimbang di negara kita. Itu faktanya.
Den Haag adalah pusat pemerintahan di Belanda. Sejumlah kantor pemerintahan berdiri di sini, tak jauh dari penginapan di mana saya tinggal. Bangunan gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah), Eerste Kamer (Majelis Tinggi) dan kantor Perdana Menteri terletak berdekatan. Masuk dan keluar dari pintu gerbang yang sama.
Tak jauh dari pintu gerbang utama, terdapat sederet kalimat dari pasal pertama Undang-Undang Belanda yang terukir pada sebuah monumen yang juga berfunsi sebagai tempat duduk para pengunjung. Kira-kira bunyinya, “Setiap manusia di Belanda harus diperlakukan setara tanpa pengecualian. Diskriminasi yang berdasarkan pada agama, kepercayaan, aliran politik, ras dan jenis kelamin tidak pernah bisa diizinkan.”
Belanda memang telah sejak lama membaptis dirinya menjadi sebuah negeri yang multikultur. Sejak periode 1960-an, ada begitu banyak imigran yang masuk ke sini. Sebagian mereka datang dari Turki, Maroko, dan berbagai negara di benua Afrika lainnya. Mereka datang sebagai pekerja kasar: mulai tukang sapu sampai kuli bangunan. Lambat laun, komunitas pendatang ini semakin membiak.
Jumlahnya makin lama makin meningkat. Generasi kedua dan ketiga yang lahir di Belanda langsung mereken dirinya jadi warga negara Belanda. Masalah mulai muncul. Perlakuan yang setara ternyata, belakangan ini, cuma jadi hiasan yang tertatah di monumen cita-cita orang Belanda. Diam-diam, orang Belanda yang berkulit putih mulai merasa tak nyaman.
Sentimen itu semakin menjadi-jadi ketika pada 4 November 2004, Theo van Gogh, sutradara film “Submission” yang mengkritik kedudukan perempuan dalam Islam ditemukan tergeletak tewas di pinggiran jalan Amsterdam dengan sebilah pisau tertancap di dadanya. Dia dibunuh seorang pemuda Maroko berkewarganegaraan ganda, Maroko dan Belanda. Mohammed Bouyeri, pemuda itu, meninggalkan secarik kertas pesan ancaman kepada beberapa politisi Belanda di tubuh Theo.
Ketakutan merebak. Aksi kriminal berlatar belakang sentimen keagamaan itu menjadi bibit konflik rasialisme di Belanda. Adalah Geerts Wilder politikus Partij Voor Vrijheid (PVV, Partai untuk Kebebasan) yang semakin mengukuhkan perasaan rasialisme pada sebagian kalangan warga kulit putih Belanda.
Pada Pemilu 2010 yang lalu, PVV berhasil meraih 24 kursi di parlemendan berhasil menjadi partai terbesar ketiga di Belanda. Pada Pemilu 2012 lalu, perolehan suara PVV menurun dan hanya beroleh 15 kursi saja. Kekuatan politik yang diperoleh PVV mencerminkan tumbuhnya perasaan rasialisme dan diskriminasi di sebagian kalangan warga Belanda, khususnya yang berkulit putih.
Wilders melakukan kampanye kemana-mana. Dia menyebarkan kebencian terhadap warga pendatang, khususnya terhadap warga Maroko dan Turki, dengan embel-embel terorisme dan radikalisme. Dalam kunjungan saya ke Belanda 2010 yang lalu, saat partainya Wilders baru saja jadi salah satu peraih kursi terbanyak pada Pemilu, beberapa orang Belanda yang saya tanyai pendapatnya tentang dia kasak-kusuk bicara pada saya. “Wilders hidup tidak tenang, saya dengar dia selalu hidup berpindah-pindah rumah dengan pengawalan ketat karena ketakutannya sendiri,” ujar Peter Hoogendijk, wartawan TV Belanda sekaligus sutradara film dokumenter.
Belakangan, begitu saya tiba di Den Haag, saya dengar kabar lain. PVV mulai terbelah. Itu akibat pernyataan-pernyataan Wilders yang menyebarkan kebencian pada komunitas warga Maroko di Belanda. Dalam sebuah pidatonya di depan para pendukungnya, dia bertanya apakah pendukungnya ingin lebih sedikit warga Maroko yang tinggal di Belanda atau lebih banyak. Semua menjawab sedikit. Wilders juga bertanya lagi, apakah pendukungnya ingin warga kulit putih lebih banyak apa lebih sedikit? Mereka menjawab “lebih banyak”.
Kabar buruknya, cita-cita persamaan hak manusia yang tertatah pada monumen di depan kantor pemerintahan Belanda di Den Haag terancam hanya tersisa sebagai kalimat usang. Konyolnya, sassus beredar menyebutkan kalau Geerts Wilder sebetulnya seorang Indo. Bukan kulit putih berdarah murni. Neneknya, demikian kabar yang tersebar, berdarah Jawa. Saat remaja, Wilders banyak diolok-olok sebagai seorang Indo.
Kabar baiknya, tak semua orang Belanda sepakat pada kegilaan Wilders dan partainya. Itu terbukti dengan makin menurunnya orang yang memilih dia dan tentu saja karena partainya kini mulai terpecah. Mereka mulai cakar-cakaran sendiri.
Tapi terkadang, kalau melihat sejarah, orang Belanda memang selalu janggal. Manusia dinyatakan harus diperlakukan setara tanpa diskriminasi atas nama apapun. Tapi dulu di Hindia Belanda (sekarang jadi Indonesia), mereka pula yang memberlakukan aturan segregasi sosial dalam masyarakat jajahan. Sehingga orang seperti si Pitung, bisa dimaki-maki “Kowe orang Pitung inlanders God Verdomme” oleh Tuan Heins, atasannya Demang Meester.
Sekian.