Masuk Daftar
My Getplus

Tentang Bahaya Fasisme

Di Jerman, sejarah jadi bekal masa depan yang baik. Tak pernah sekali pun mereka ingin balik ke masa lalu.

Oleh: Bonnie Triyana | 04 Jun 2014
Adolf Hitler, pemimpin Nazi. (Bundesarchiv).

Reiner Sprenger, kontributor Historia.id di Jerman mengajak saya berkeliling kota Buxtehude. Kota kecil ini adalah kota di mana Reiner melewati masa kecilnya. Dia hapal betul semua jalan dan gang kecil di Buxtehude. Saking kecilnya, seorang kawan lain bisa mengendus keberadaan kami berdua dari aroma kretek yang terpapar dari sebuah cafe di mana kami duduk.

Di kota itu, sebelum perang dunia kedua, sebagaimana juga di kota-kota lain di Jerman, warga terbelah. Sebagian mendukung Nazi, sebagian tentu saja anti. Salah satu yang tersisa dari zaman itu adalah sebuah pusat perbelanjaan Stackmann. Sassusnya pendiri Stackmann seorang simpatisan Nazi.

Dukungan Stackmann kepada Nazi membuatnya lebih leluasa menjalankan bisnis ketimbang mereka yang berseberangan. “Keterangan itu datang dari lawan bisnisnya Stackmann, sampai di mana kebenarannya belum bisa diverifikasi,” kata Reiner.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kabar Pilu dari Kamp Sachsenhausen

Tapi memang kisah pro-kontra terhadap Nazi bukan isapan jempol. Tentang desas-desus sikap anti dan pro Nazi memang selalu jadi bahan perbincangan menarik. Elisabeth Fisher Spanjer, mantan sekretaris Nationaal-Arbeids Secretariaat (Sekretariat Nasional Pekerja di Belanda), yang saya temui di Belanda juga mengungkapkan hal yang sama. 

“Waktu itu masyarakat Belanda terbelah antara sikap melawan atau mendukung,” kata perempuan berusia 99 tahun yang pernah menjalin hubungan asmara dengan Henk Sneevliet itu.

Ketika Nazi berkuasa, para kaum kolaborator Nazi bermunculan. Di Belanda ada Anton Mussert dengan NSB-nya (Nationaal-Sosialistische Beweging der Nederlanden). Mereka bahu membahu bersama Nazi menyingkirkan lawan politik dengan kekerasan; menumpas warga Yahudi tanpa ampun atas nama kemurnian ras unggul bernama Arya.

Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966

Nazi tak main-main dengan politiknya rasialnya. Sebuah penelitian dilakukan untuk menelisik asal-usul ras arya. Ciri-ciri fisik ditetapkan untuk membedakan mana turunan ras arya mana yang bukan. Mereka hendak memurnikan ras dengan perkawinan sesama ras arya dan melarang kawin campur antar ras. Untuk itu, Hitler mengesahkan Undang-Undang Kemurnian Ras pada 14 Juli 1933.

Sejak saat itu, Jerman adalah neraka bagi kaum Yahudi, gay, penyandang cacat dan kelompok anti Nazi. Nilai-nilai kemanusiaan terempas pada titik terendah.  Pada kamp-kamp konsentrasi Nazi terpampang foto-foto warga Yahudi yang hidup di bawah siksaan: tubuh bak tengkorak berbalut kulit, teronggok di sudut kamp menanti maut datang menjemput.

Ketika perang selesai, Nazi kalah, bukan berarti desas-desus berhenti begitu saja. Memasuki periode 1960-an, anak-anak muda yang lahir dan tumbuh pascaperang mulai bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan oleh generasi ayah dan kakek mereka lakukan. Mereka ingin agar Jerman bersih dari pengaruh fasisme.

Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno

Mereka terus menggugat, berharap agar Jerman bersih dari sisa-sisa petaka masa lalu. Sebuah gerakan lahir: berdamai dengan masa lalu. Dengan cara itu, Jerman mengatasi problem masa lalunya. Sampai hari ini, ingatan tentang kekejian Nazi diwariskan melalui pelajaran sejarah; monumen dan situs kamp konsentrasi yang segaja dilestarikan.

Sejarah tentang kekejian diajarkan bukan untuk merawat dendam, tapi sebagai jalan untuk memahami bahwa kepedihan masa lalu adalah kesalahan yang tak perlu diulang.

Lantas bagaimana dengan di negeri kita? Negeri yang kabarnya berpenduduk paling ramah di dunia ini karena kerap menebar senyum ini ternyata telah menyumbangkan kata “amuk” atau mengamuk (to run amok) ke dalam kamus bahasa Inggris. Apakah sejarah jadi pelajaran yang baik bagi bangsa ini? Tentu saja, di sini, ingatan sejarah bukan sekadar jadi pelajaran, tapi juga memberikan keleluasaan bagi mereka yang datang dari masa lalu untuk ambil bagian di masa kini. Betapa pun kelamnya masa lalu itu.

TAG

nazi jerman adolf hitler

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Kapal Hantu Keponakan Hitler Melawan Jerman Kisah Musisi Belanda Menyamar Jadi Laki-laki Ketika Melawan Nazi Dari Kamp Nazi Lalu Desersi di Surabaya Dukung Kemerdekaan Indonesia Kisah Atlet Wanita Jerman yang Ternyata Laki-laki Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Kasus Penipuan Buku Harian Adolf Hiltler Lebih Dekat Menengok Katedral Sepakbola di Dortmund Kisah Seniman Yahudi Pura-pura Mati demi Menghindari Nazi Skandal Perselingkuhan Propagandis Nazi Joseph Goebbels