Masuk Daftar
My Getplus

Kabar Pilu dari Kamp Sachsenhausen

Saksi bisu derita umat manusia yang masih berdiri sampai sekarang. Pengabar duka dari masa lalu.

Oleh: Bonnie Triyana | 19 Jun 2014
Kamp Sachsenhausen, Jerman. Foto: Bonnie Triyana©Historia.

JARUM jam dinding yang terpasang di atas gerbang masuk itu membeku di angka 11:05.  Ia adalah pengingat dari sebuah masa di saat ribuan warga Yahudi di kamp konsentrasi Sachsenhausen dibebaskan oleh tentara merah Uni Soviet. Pada gerbang besi usang terpatri tulisan “Arbeit Macht Frei” yang berarti “Kerja membawa kebebasan”. Kebebasan semu yang terkerangkeng pagar tembok tua kamp konsentrasi. 

Saya memasuki situs kamp konsentrasi yang dibangun pada Juli 1936 itu dengan perasaan was-was bercampur ngeri. Alat peraga penyiksaan yang dipamerkan di museumnya melengkapi perasaan yang campur aduk itu. Sebuah tiang gantungan berdiri di sana. Tak jauh darinya, terdapat sebuah benda menyerupai meja berukuran 60 centimeter x 1  meter.

Warga Yahudi yang “divonis” bersalah oleh tentara SS (Schutzstaffel), dipaksa membungkuk, merebahkan tubuhnya pada meja itu. Sementara itu kedua kaki tetap berdiri, dengan pergelangan kaki yang terpasung pada kotak kayu berlubang dua yang hanya muat untuk dua tungkai kaki kurus kering. Dalam keadaan demikian, petugas SS memukul pinggang tahanan menggunakan tongkat besi sebanyak 25 kali. Dalam beberapa kasus, siksaan itu menyebabkan kerusakan pada ginjal yang menyebabkan kematian.

Advertising
Advertising

Penyiksaan tak berhenti pada tiang gantungan atau deraan tongkat besi pada pinggang. Beberapa warga Yahudi yang menghuni kamp konsentrasi dijadikan obyek percobaan para dokter Nazi. Praktik keji itu dilakukan dengan cara menyuntikan bakteri penyebab tuberkolosis (TBC) ke paru-paru tahanan kamp. Membiarkannya dijangkiti penyakit TBC untuk kemudian dijadikan kelinci percobaan pembuatan vaksin anti TBC. Banyak di antaranya yang tewas karena malpraktik tersebut.

Sisa-sisa lokasi percobaan itu masih bisa dilihat pada sebuah klinik yang berdiri tak jauh dari gerbang utama kamp Sachsenhausen. Dua buah bak panjang tempat meletakan mayat serupa meja bedah berlapis keramik masih berdiri di dalam klinik. Beberapa botol obat berukuran kecil, di antaranya berlogo tengkorak dengan dua tulang bersilang, tersimpan pada rak kaca. Kesaksian-kesaksian mantan tahanan yang berhasil luput dari maut tertera sebagai keterangan langsung tentang apa yang terjadi di sana sepanjang tahun 1936 – 1945.

Kamp Sachsenhausen adalah model kamp konsentrasi pertama rezim Nazi yang khusus didesain sebagai tempat menghabisi nyawa tahanan. Tak hanya warga Yahudi yang ditahan di kamp ini, kaum komunis, homoseksual dan aktivis politik penentang Nazi bercampur baur dengan tahanan kriminal lainnya.

Di antara ribuan tahanan itu, ada seorang anak Medan yang juga ikut ditahan di sini. Dia Parlindoengan Loebis, dokter lulusan Universitas Leiden, Belanda. Semasa kuliah, Parlindoengan sempat jadi ketua Perhimpunan Indonesia selama tiga tahun. Ketika Jerman menduduki Belanda pada Mei 1940, dia sempat buka praktik umum. Setahun kemudian, Parlindoengan ditangkap oleh Nazi, dikirim ke kamp konsetrasi Sachsenhausen setelah sebelumnya sempat dipenjara di Belanda.

Parlindoengan Loebis luput dari maut. Dia pulang ke Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, menetap di Yogyakarta. Kemudian pada 1956, bekerja sebagai dokter perusahaan di tambang timah Bangka-Belitung dan meninggal pada 1994.

Kisah berhadapan dengan Nazi tak hanya dialami oleh Parlindoengan saja. Irawan Soejono, seorang mahasiswa yang bertugas menangani alat cetak dalam kelompok bawah tanah anti Nazi di Belanda, bernasib lebih naas.Kendati tak sempat masuk ke kamp konsentrasi, dia tewas di ujung senapan tentara Jerman saat kepergok membawa mesin cetak di Leiden. Sejak 4 Mei 1990 namanya diabadikan jadi nama jalan di bilangan Osdorp, Amsterdam: Irawan Soejonostraat.

Fasisme meninggalkan trauma mendalam pada sebagian besar warga Eropa, khususnya pada negeri-negeri yang pernah diduduki Nazi. Beberapa negara di eropa, seperti Jerman, Austria, Hunggaria dan Rumania memberlakukan Undang-Undang Pengingkaran Holocaust (Holocaust Denial). Undang-undang itu melarang orang untuk menggunakan simbol swastika Nazi dan mengkriminalisasi orang yang membela paham fasisme Nazi seraya mengingkari fakta pembunuhan massal terhadap warga Yahudi.

David Irving, seorang sejarawan asal Inggris pernah dijerat dengan undang-undang tersebut karena mengingkari fakta adanya holocaust. Dia menulis buku The Hitler’s War dan menampik tuduhan bahwa Hitler dengan sengaja memerintahkan pembunuhan massal. Pada 1989, Irving dipersona non-grata oleh Pemerintah Austria saat menghadiri sebuah acara di Wina. Kemudian pada 1992 pemerintah Jerman mengadilinya atas tuduhan yang sama dan dihukum denda sebanyak 30 ribu DM serta dilarang masuk ke wilayah Jerman.

Fasisme adalah berita duka bagi umat manusia. Dan cerita duka itu seakan masih terekam pada tiang gantungan; tungku pembakaran mayat dan pagar kawat berduri kamp konsentrasi yang masih tegak berdiri sampai hari ini.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola Selintas Hubungan Iran dan Israel M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Tradisi Sungkeman Saat Brigjen Djasmin Dikata Pengkhianat