Masuk Daftar
My Getplus

Tembang Gerilya Seorang Menteri Negara

Disampaikan dalam bentuk tembang Jawa, buku ini berisi pengalaman gerilya seorang menteri dalam menghindari penangkapan Belanda semasa Agresi Militer kedua.

Oleh: M.F. Mukthi | 22 Apr 2021
Ilustrasi Nayaka Lelana/Menteri Bergerilya karya Mr. Susanto Tirtoprojo. (Betaria Sarulina/Historia)

Tanpa arti bahasa Indonesia di bawah judulnya, buku ini akan cenderung mengesankan sebagai buku berisi kisah pewayangan, kumpulan cerpen, atau novel. Maklum, judulnya menggunakan bahasa Jawa. Atau, buku ini bisa juga dikira buku pelajaran sekolah karena desain cover-nya terlalu “formil” layaknya buku pelajaran sekolah dasar di era 1980-an.

Begitu halaman demi halamannya dibuka, kesan pertama tadi akan semakin kuat karena kalimat-kalimat dalam buku ini berbahasa Jawa. Pula, kalimat-kalimatnya disusun singkat dalam bait-bait seperti pantun, puisi, atau tembang Jawa.

Tanpa mengerti bahasa Jawa, hampir pasti isi buku ini tak akan dimengerti maksudnya. Beruntung, di edisi kali ini penerbitnya menambahkan anak judul dan terjemahan di samping bait-bait berbahasa Jawa. Dari bait-bait berbahasa Indonesia inilah pembaca bisa mengerti cerita yang disuguhkan penulisnya, yakni pengalaman di masa Agresi Militer Belanda kedua.

Advertising
Advertising

Buku ini memang ditulis Mr. Susanto Tirtoprojo, menteri kehakiman di Kabinet Hatta I, untuk berbagi pengalamannya semasa menghindari penangkapan Belanda dalam Agresi kedua.

Derenging tyas angengidung,

apa kang wus sunalami,

wiwit wadyabala Landa,

kianat cidra ing janji,

nyerang tan mawi wawarta,

Indonesia Republik,” kata Susanto, yang artinya:

“Dorongan hati (ingin) menyanyikan,

(kisah) apa yang telah kualami,

sejak balatentara Belanda,

berkhianat mengingkari janji,

(dengan) menyerang tanpa (memberi) berita,

terhadap Republik Indonesia.”

Pelarian Susanto sendiri dimulai setelah pendudukan Yogyakarta oleh Belanda pada 19 Desember 1948. Susanto yang ketika serangan Belanda dimulai sedang di Solo, segera menemui Menteri Kemakmuran I.J Kasimo yang juga sedang di kota yang sama. Keduanya sepakat kembali ke Yogyakarta untuk meneruskan tugas masing-masing sekaligus mengikuti rapat kabinet.

Namun, perjalanan keduanya hanya sampai di Kartasura karena mobil mereka ditembaki pesawat Belanda hingga hancur. Mereka pun kembali ke Solo menggunakan kereta kuda. Dalam perjalanan kembali itu, di tengah perjalanan mereka bertemu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dr. Sukiman Wiryosanjoyo yang hendak ke Yogyakarta juga. Ketiganya sepakat kembali ke Solo.

Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku

Di Solo, keesokannya mereka rapat darurat dengan walikota Solo, residen Surakarta, Gubernur Militer Jenderal Gatot Subroto dan lain-lain. Keputusan yang dikeluarkan, ketiga menteri tetap menjalankan fungsi demi kelanjutan eksistensi Republik Indonesia yang pucuk pimpinannya telah ditangkap Belanda dan dibuang ke Sumatra.

Namun, belum lagi tugas dijalankan, mereka dikejutkan dengan kabar bahwa pasukan Belanda sudah sampai di Kartasura menuju Solo. Mereka, yang kedatangan Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno, pun tergesa-gesa melarikan diri ke Tawangmangu. Ikut dalam rombongan itu antara lain Susilowati (anggota Badan Pekerja KNIP).

Di Tawangmangu, mereka menempati Vila Brandaris. Di sanalah mereka memutuskan agar mendagri membuat pidato radio. Namun lagi-lagi, pasukan Belanda dikabarkan telah mendekat. Mereka panik. Pidato radio pun batal. Mereka segera berlari kembali. Karena panik, rombongan terpencar.

Baca juga: Buku Lagu Para Tapol

Dari Tawangmangulah “petualangan” Susanto dimulai, terus menyusur ke timur hingga ke desa-desa di kaki Gunung Wilis. Pelarian yang kemudian dilakoni dengan berjalan kaki itu diwarnai bermacam kisah yang warnanya bergantian atau berpadu antara perasaan bingung, lelah, lapar, takut, sedih, optimis, sesekali sukacita dan sedikit humor. Ritmenya naik-turun.

Pengalaman pilu dan kehilangan dialami Susanto antara lain ketika mengungsi di Desa Ganter di kaki Gunung Lawu. Di sana dia akhirnya berpisah dengan Supeno. Susanto melihat Supeno digelandang pasukan Belanda. Dia lalu dieksekusi. Susanto amat respek pada Supeno karena tak bersedia buka mulut demi menyelamatkan rekan-rekannya meski harus kehilangan nyawa.

 

Pelarian Susanto juga memuat banyak kisah kemanusiaan. Bantuan-bantuan kerap diterima atau diberikan rombongan Susanto di desa-desa yang dilaluinya selama pelarian. Di berbagai desa yang dilalui itu Susanto melihat sendiri semangat gotong-royong masih kuat di masyarakat. Kisah kemanusiaan itu dan perjuangan Susanto beserta rombongan kecilnya berakhir ketika mereka akhirnya tiba kembali ke Yogyakarta pada 13 Juli 1949.

Baca juga: Buku Harian yang Hilang

Buku ini dengan demikian tak hanya mengisahkan pengalaman pribadi Susanto tapi juga menjadi sumber primer dalam sejarah bangsa. Pelarian Susanto membuktikan beratnya perjuangan seorang menteri dalam menyelamatkan diri sekaligus negerinya di samping menunjukkan mahalnya biaya yang harus dibayar Republik Indonesia untuk bisa terus eksis.

Di luar soal cerita, buku ini menunjukkan kepedulian Susanto pada sejarah bangsanya sekaligus membuktikan kreativitasnya dalam menulis. Pemilihan model tembang Jawa dalam penyampaian merupakan kreativitasnya yang orisinil. Buku ini mungkin satu-satunya memoar tokoh bangsa yang dibuat dalam bentuk tembang. Namun sayang, belum ada lagi penerbit yang menerbitkan ulang buku ini sekarang.

Data buku:

Judul: Nayaka Lelana/Menteri Bergerilya: Pengalaman Kelana-Gerilya Waktu Aksi Militer Belanda II, Asli Bahasa Jawa-Tembang. Penulis: Mr. Susanto Tirtoprojo. Penerbit: U.P Indonesia, Yogyakarta. Tahun: 1984, cetakan pertama. Tebal: 131 hlm.

TAG

buku perang kemerdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang Jejak Langkah Gusmiati Suid Dardanella Menembus Panggung Dunia Bayi Revolusi Berbaju Sampul Buku Candranegara V, Sang Pengelana Pertama Bukan Raja Jawa Biasa Race, Islam and Power Bukan Catatan Perjalanan Biasa Repotnya Menyusun Pidato Sukarno Menyusun Kamus Bahasa Melayu