Masuk Daftar
My Getplus

Buku Harian yang Hilang

Sebuah catatan harian milik Gatut Kusumo yang hilang kala gerilya. Kembali setelah 50 tahun disimpan Belanda.

Oleh: Randy Wirayudha | 20 Nov 2018
Buku harian Gatut Kusumo Hadi yang sempat disimpan tentara Belanda 50 tahun lamanya. (Randy Wirayudha/Historia).

DARI sebuah lemari, Thea Susetia Kusumo mengambil sebuah buku tebal bersampul coklat muda. Buku itu diperlihatkan kepada Historia kala bertamu ke kediaman sederhanya di Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya.

Di atas meja kayu tua bertaplak putih sederhana motif renda kembang, buku yang sampulnya mulai lapuk itu diletakkan Thea. Di sampul buku itu tertulis: Gatoet Koesoemohadi’s Dagboek: 12-06-1947 – 20-07-1948.

Bersama beberapa foto, buku harian milik suami Thea, Gatut Kusumo Hadi, itu salah satu warisan suami paling berharga. Keseharian Gatut di masa revolusi fisik diabadikan dalam buku itu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pengagum Sutan Sjahrir penggarap film kolosal

Sayang, saat dibuka lembar per lembar, hanya tampak tulisan-tulisan tangan cursive atau huruf-huruf sambung di atas kertas kopian. “Aslinya hilang entah ke mana. Sempat hilang selama 50 tahun. Tapi ya masih bersyukur walau hanya kopian. Tulisan di sampul itu yang menuliskannya rekan almarhum semasa TRIP, Pak Sangki namanya,” jelas Thea kepada Historia.

Tutup Buku, Usung Senjata

Lahir di Purwokerto, 12 Februari 1928, Gatut termasuk beruntung bisa makan bangku sekolahan sejak kecil lantaran ayahnya seorang wedana. Namun, sejak usia 10 tahun dia sudah harus jadi anak yatim. Setelah ayahnya meninggal dan keluarganya tercerai-berai, Gatut pindah bersama saudara tirinya dan melanjutkan sekolah di Malang.

Tetapi situasi pelik di Surabaya sejak akhir 1945 membuat Gatut mesti menutup buku pelajarannya dan menggantinya dengan memanggul senjata. Berangkatlah Gatut ke Surabaya untuk menggabungkan diri ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar 49 Darmo yang lantas melebur ke dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur lewat ketetapan Kongres Ikatan Pelajar Indonesia di Madiun, 21 Juli 1946.

Mengutip Sagimun Mulus Dumadi dalam Mas TRIP: Dari Brigade Pertempuran ke Brigade Pembangunan, TRIP berkekuatan lima batalyon di lima kota:  Yon 1000 Mojokerto, Yon 2000 Madiun, Yon 3000 Kediri, Yon 4000 Besuki, dan Yon 5000 Malang. Gatut Kusumo sendiri bertanggung jawab mengasuh Yon 1000.

Ketika Belanda merangsek sampai ke Mojokerto pada 17 Maret 1947, Gatut bersama Yon 1000 mengungsi sampai ke Madiun untuk bergabung dengan Yon 2000. Kedua batalyon kemudian melebur jadi TRIP Komando I. Gatut dipercaya jadi komandannya.

Di Madiun, TRIP Komando I tak hanya harus waspada terhadap Belanda, tetapi juga dari “saudara” sendiri, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). “Dulu Pak Gatut aslinya sosialis, pengagum Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia. Tapi Pesindo itu justru di bawahnya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan di Madiun (dia) ikut melawan Pesindo yang melebur ke Front Demokrasi Rakyat/FDR PKI, membantu TNI Divisi Siliwangi,” lanjut Thea.

Kembalinya Dagboek yang Hilang

Tak sampai tiga bulan setelah Madiun Affair September 1948, giliran Belanda menggulirkan Agresi Militer II (19 Desember 1948). “Satu saat, kira-kira di daerah Blitar, waktu gerilya pas Pak Gatut dan kawan-kawannya sedang istirahat di satu desa, ternyata desanya ikut dioperasi (penyisiran) Belanda. Buru-buru mereka kabur dan ini (dagboek) ketinggalan. Lalu ditemukan tentara Belanda,” imbuhnya.

Sampai revolusi selesai, buku harian itu tetap dibawa sang serdadu Belanda yang tak diketahui namanya pulang ke negaranya. Lima puluh tahun kemudian (1999), buku itu baru dikembalikan sang veteran Belanda via Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. KBRI lalu mengirim buku itu ke Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI), kemudian dioper lagi ke Pusat Paguyuban Mas (Markas) TRIP.

“Tentara Belanda itu tahu, ini (buku harian) Tentara Pelajar. Wong tulisane boso londo (tulisannya bahasa Belanda). Zaman itu kan yang biasanya fasih tulis bahasa Belanda pasti pelajar. Lalu dikirim ke Jakarta ke LVRI,” sambung Thea.

Sempat lama buku itu tersimpan di LVRI Jakarta. Maklum, kata Thea, saat itu di LVRI isinya lebih banyak eks-TNI, bukan Tentara Pelajar, maka tak ada yang mengenal nama Gatut Kusumo. Buku itu baru bisa “teridentifikasi” oleh GS Joewono, rekan sejawat Gatut yang akrab disapa Sangki.

“Pak Sangki yang mengetahui itu punya Pak Gatut ketika diperlihatkan ke Paguyuban Mas Trip di Jakarta. Sebetulnya sempat hilang betulan. Entah waktu masih di LVRI atau Paguyuban Mas Trip. Tapi Alhamdulillah, bukunya sebelum hilang sempat di-copy dan makanya copy inilah yang diberikan Pak Sangki kepada kami di Surabaya,” tambahnya.

Kendati sulit dibaca isinya oleh orang awam lantaran berbahasa Belanda dan tulisan tangannya yang juga sulit terbaca, Thea pernah mencoba menerjemahkannya. “Tidak hanya bahasa Belanda, bahkan di beberapa lembar ada yang bahasa Inggris dan Jerman,” ujar Thea.

Baca juga: Fragmen Pertempuran 10 November dalam teatrikal dan film

“Isinya lebih kepada curhat-nya Pak Gatut. Kebanyakan ya cerita tentang keluh-kesahnya tentang percintaan sama pacarnya. Tidak ada tentang urusan ketentaraan. Dia ini kan sebelum nikah sama saya punya pacar juga. Tapi pacarnya dilamar tentara yang berpangkat kolonel. Lha, dia (Gatut) enggak punya pangkat, mana ada Tentara Pelajar punya pangkat, jadi pacarnya yang anak seorang bupati dicuri orang, hahahaha…,” kata Thea sambil tertawa lepas.

Sayangnya, Gatut tak pernah tahu buku hariannya yang hilang sudah kembali. (Kopian) buku itu baru sampai ke Surabaya pada 1999, sementara Gatut sudah mangkat pada 19 Juni 1996.

TAG

Pertempuran-Surabaya

ARTIKEL TERKAIT

Seragam Batik Tempur Senjata Makan Tuan HUT Kota Surabaya dan Pasukan Sriwijaya Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris Yang Terlupa dalam Surabaya 45 Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya Menyingkap Makna Ndas Mangap Tragedi Pembunuhan Ario Soerjo Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan