APARAT keamanan memiliki standar operasional prosedur dalam menggunakan senjata api ketika akan meringkus penjahat. Peluru dilepaskan bila penjahat melawan atau melarikan diri. Sasarannya pun biasanya kaki, meski sering juga mengenai anggota tubuh lain yang membuatnya mati. Namun, pada 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa mati kapan saja oleh penembak misterius sehingga disebut petrus.
Selama beroperasi, petrus telah menghabisi ribuan korban jiwa. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mendata puncak tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan 781 orang tewas.
Baca juga: Petrus: Kisah gelap Orde Baru
Kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto beralasan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.
“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak,” kata Soeharto.
Dalam kenyataannya, sebagaimana diberitakan media massa, bertato saja sudah cukup bagi mereka yang dianggap penjahat dihabisi oleh petrus. Di berbagai kota mayat-mayat tertembak peluru di dada atau kepala dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke dalam karung, digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan di semak-semak.
“Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja,” kata Soeharto. “Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.”
Baca juga: Tato, dari petrus hingga Angelina Jolie
Para petinggi militer pun mengamini sang presiden. Mayjen TNI Yoga Sugomo, kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), menyatakan tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Yoga menilai pembunuhan terhadap preman “merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan.”
Jenderal TNI Benny Moerdani, panglima ABRI merangkap Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang disebut-sebut sebagai salah satu perancang operasi petrus, mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang antargeng. Dia berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI.
Baca juga: Benny Moerdani, loyalis yang disingkirkan Soeharto
Petrus menimbulkan protes dari para tokoh, salah satunya Adam Malik, mantan wakil presiden (1978-1983). Dia tak setuju dengan aksi petrus. “Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” kata Adam Malik.
Pengganti Adam Malik, Jenderal (Purn.) TNI Umar Wirahadikusumah juga menanyakan langsung kepada Soeharto mengenai petrus. “Apakah tidak ada cara lain yang tidak usah menggunakan tindakan-tindakan drastis itu?” tanya Umar dalam Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.
Soeharto menjawab bahwa alasan petrus karena rakyat kecil telah dipersulit oleh sekelompok manusia jahat di beberapa daerah; mereka dirampok, diperkosa, dan lain-lain. Sementara polisi dan aparat keamanan lainnya boleh dikatakan tidak berdaya, sehingga suatu shock treatment perlu diambil untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kejahatan.
“Ya, nanti biar saya yang bertanggung jawab kepada Tuhan,” kata Soeharto.
Petrus dihentikan pada 1985 setelah ada tekanan dari dunia internasional.