Masuk Daftar
My Getplus

Soekaesih Bersuara di Belanda

Soekaesih dibuang ke Digul karena dianggap berbahaya. Setelah bebas, ia bersuara di Belanda menuntut penutupan kamp-kamp konsentrasi di Indonesia.

Oleh: Amanda Rachmadita | 29 Sep 2022
Raden Soekaesih (tengah) dan suaminya, J.H. Philippo tiba di Belanda pada 1937. (Het Volksdagblad: Dagblad voor Nederland, 14 Oktober 1937).

Senin malam, November 1937. Seorang wanita bertubuh mungil berbicara menggunakan bahasa Melayu di hadapan orang-orang Belanda di aula besar Lybelle, Rotterdam. Ia menceritakan pengalamannya selama ditahan bertahun-tahun di kamp Boven Digul, Papua. Wanita asal Indonesia itu bernama Raden Soekaesih.

Pidato Soekaesih, yang diterjemahkan oleh G.J. van Munster, tak hanya mengisahkan penderitaannya selama menjadi tahanan di kamp Digul. Ia juga menuntut agar kamp-kamp konsentrasi seperti kamp Digul ditutup.

Soekaesih sontak menjadi sorotan publik Belanda. Tak sedikit masyarakat yang bersimpati atas pengalaman pahit yang dilaluinya. Pidatonya diberitakan banyak surat kabar di Belanda.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1

Surat kabar De Waarheid, 3 Juni 1978, menyebut Raden Soekaesih yang berlatar belakang keluarga bangsawan Sunda kerap melihat ketidakadilan di sekelilingnya. Salah satunya kerusuhan gula di sekitar tempat tinggalnya karena para petani menolak menyerahkan tanah atau tebu yang mereka tanam untuk kepentingan perusahaan besar. Penguasa Belanda menindak para petani dengan kekerasan.

Ketidakadilan yang dialami para petani menumbuhkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme dalam diri Soekaesih. Di sisi lain, pernikahan dini yang dialami Soekaesih pada usia 13 tahun, membuatnya mulai merefleksikan posisi perempuan. Soekaesih muda dinikahkan dengan seorang pria yang berusia jauh lebih tua dan sudah memiliki beberapa anak. Pernikahan itu akhirnya gagal.

Perlawanan Soekaesih terhadap kesewenang-wenang penguasa Belanda dan pemikirannya tentang hak-hak perempuan membawanya masuk ke dalam organisasi. Sejarawan Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia mencatat, Soekaesih bergabung dengan Sarekat Rakyat, sayap “merah” dari Sarekat Islam, tahun 1920-an untuk memperjuangkan kemajuan sosial dan melawan kolonialisme.

Baca juga: Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul

Aktivitas Soekaesih dalam Sarekat Rakyat menjadikannya buruan penguasa Belanda setelah pemberontakan PKI yang gagal pada 1926–1927. Ia dianggap berbahaya karena pemikirannya dapat memicu pergerakan perempuan. Ia ditangkap di Batavia pada Januari 1927. Ia kemudian dibuang ke kamp Digul tanpa adanya keputusan hukuman dari pengadilan.

“Pada bulan April 1928 (hampir satu setengah tahun setelah penangkapan saya), saya dibawa ke kapal uap pemerintah Rumpius di Priok. Ada 800 orang buangan di kapal, semuanya laki-laki, saya satu-satunya perempuan,” ujar Soekaesih dikutip De Waarheid.

Soekaesih dan tahanan lainnya dirantai bersama-sama selama perjalanan mengarungi lautan. “Satu tangan dibebaskan saat makan malam. Kami tidak bisa berbaring sampai jam 9 malam. Kemudian rantai dilepaskan dan kami bisa tidur,” kata Soekaesih.

Selama tiga setengah tahun di kamp Digul, Soekasih banyak merenung tentang ketidakadilan yang dialami kaum sebangsanya dan perlakuan sewenang-wenang penguasa Belanda. Lokasi kamp yang berada di hutan belantara membuat banyak tahanan terserang penyakit malaria dan demam air hitam. Banyak interniran juga mengidap TBC akibat kekurangan gizi. Mereka harus hidup dari tanah yang –menurut penyelidikan pemerintah– tidak cocok untuk pertanian apapun. Penyakit yang diderita para tahanan juga terjadi akibat sanitasi yang buruk yang harus diatur sendiri oleh mereka. Kondisi itu membuat kematian seakan menjadi hal biasa di kamp konsentrasi tersebut.

Baca juga: Tri Ramidjo, Kecil di Digul Muda di Buru

Dalam surat kabar Het Volksdagblad: Dagblad voor Nederland, 11 November 1937, Soekaesih menyebut pemukulan dengan kawat dan melepaskan semut besar pada orang-orang yang tak berdaya menjadi hal biasa di kamp Digul.

“Mengapa menganiaya orang yang sekarang berjalan dengan pakaian compang-camping, dan memperlakukan setiap buku, setiap surat kabar yang mereka dapatkan sebagai harta yang berharga?” kata Soekaesih.

Tak heran selain karena penyakit dan kelaparan, banyak tahanan di kamp Digul yang tewas akibat depresi.

Soekaesih kemudian menuangkan pengalaman buruk yang dialaminya selama di kamp Digul dalam buku berjudul Indonesia een Politiestaat.

Setelah bebas dari kamp Digul, Soekaesih menikah dengan J.H. Philippo, orang Belanda yang diusir dari Indonesia karena dicurigai hendak menghidupkan kembali PKI. Ia kemudian ikut suaminya pergi ke Belanda.

Di Negeri Kincir Angin, Soekaesih dan Philippo bersuara menuntut pembebasan semua orang buangan, termasuk para intelektual terkemuka seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Koesomasoemantri, dan lain-lain. Ia juga mendesak pemerintah Belanda agar menutup kamp konsentrasi di Digul dan berbagai wilayah di Indonesia.

Baca juga: Suara Roestam di Parlemen Belanda

“Dalam suatu konferensi yang diadakan oleh Bantuan Merah bulan Oktober 1937 suami-istri itu tampil di depan umum untuk pertama kalinya,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600–1950.

Poeze menyebut dalam waktu dua bulan Soekaesih berbicara di hadapan 25 pertemuan. Brosur yang bercerita kehidupan Soekaesih yang dilengkapi dengan contoh-contoh praktik pelanggaran hukum dan kesewenang-wenangan polisi di Indonesia turut diterbitkan, dan hanya dalam waktu beberapa minggu saja brosur tersebut terjual enam ribu eksemplar hingga kemudian dicetak ulang.

Kegiatan Soekaesih dan Philippo berhenti setelah Jerman menduduki Belanda. Mereka kemudian aktif sebagai pendukung CPN (Communistische Partij Nederland atau Partai Komunis Belanda). Dalam De Waarheid disebutkan setelah Perang Dunia II berakhir, pasangan suami-istri tersebut kembali ke Indonesia tahun 1946. Di usia senja, mereka mengabdikan diri untuk perjuangan PKI.*

TAG

perempuan soekaesih boven digul

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu Perempuan di Medan Perang