“Son! Tok! tok! tok! Sontani…!”
“Hai, siapakah itu?"
“Sssst! Lupakah kau? Aku Saleh.”
“O, ya…! Silahkan masuk! Tunggulah sebentar!”
“Mengapa, tadi tidak bersedia lebih dulu?”
“Mana boleh, tidak bersedia lebih dulu. Lihatlah ini, sudah mulai tadi aku berpakaian, waktu tidur masih juga bersepatu.”
Semua perlengkapan telah disiapkan. Parang panjang dan botol minum di pinggang. Bekal telah terbungkus karung. Topi dikenakan dan kapak besar dipanggul. “Mari!” kata Sontani kepada Saleh.
Mereka pun bergegas menuju ke belakang rumah dan masuk ke dalam hutan rimba. Maka dimulailah perjalanan Sontani dan Saleh, kabur dari Boven Digul!
Kisah pelarian Sontani dan Saleh, dua Digulis itu terdapat dalam Minggat dari Digul yang termuat dalam buku Cerita dari Digul yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain Minggat dari Digul, Pram juga memuat empat cerita lainnya yakni Rustam Digulist oleh D.E. Manu Turoe, Darah dan Air-Mata di Boven Digul oleh Oen Bo Tik, Pandu Anak Buangan oleh Abdoe'l Xarim M.S., dan Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul oleh Wiranta.
Namun, Minggat dari Digul merupakan satu-satunya yang tidak disertakan nama penulisnya, hanya tertera ‘Tanpa Nama’. Pram menambahkan bahwa cerita itu diterbitkan oleh PERSBUREAU ‘AWAS’, Solo, tanpa tahun.
Sosok Sontani
Pada 23 Mei 1965, surat kabar Harian Rakjat menerbitkan artikel tentang Sontani, tokoh dalam Minggat dari Digul yang juga sekaligus dijelaskan sebagai penulis kisah tersebut.
Diceritakan, Sontani merupakan cucu dari Ronggopermadi, pejuang yang turut dalam barisan Diponegoro yang gugur di Gentingan. Ia lahir di Desa Modinan, Sleman, kemungkinan pada tahun 1895.
Sontani tamat sekolah desa 3 tahun di Desa Modinan. Pernah bekerja sebagai buruh kereta api, kernet, tukang besi, hingga buruh pabrik gula.
“Pengalaman-pengalaman revolusionernya dimulai sejak ia memasuki organisasi buruh gula, Sarekat Islam, VSTP. Sebagai buruh ia mengalami berbagai perlakuan-perlakuan yang kasar sampai pemecatan tanpa alasan dari majikannya,” tulis Harian Rakjat, 23 Mei 1965.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
Pada suatu ketika, terjadi sabotase di sekitar onderneming tebu di Beran, Yogyakarta. Pembakaran kebun-kebun tebu berhasil memusnahkan berhektar-hektar areal tebu. Sontani nampaknya turut dalam serangkaian aksi tersebut dan tertangkap pemerintah kolonial ketika hendak meledakkan gudang mesiu di Kotabaru, Yogyakarta. Tidak diketahui kapan ia bebas.
Namun, ketika pemberontakan PKI meletus pada 1926, Sontani kembali ditangkap di Modinan saat sedang tidur.
“48 orang polisi mengepungnya dan sebelum ia sadar dan sempat menggunakan pistolnya, tangannya telah diborgol lebih dahulu. Ia dibawa ke tahanan, disimpan di WO, lalu kemudian dipindahkan ke sel Wirogunan,” tulis Harian Rakjat.
Di penjara Wirogunan, ia bertemu dengan Sadiun, seorang pejuang yang dihukum 40 tahun penjara. Sontani berhasil membuat duplikat kunci sel sehingga ia dapat keluar sel tiap malam dengan sembunyi-sembunyi menjumpai Sadiun.
Namun tak lama, kesempatan Sontani keluar masuk sel untuk menemui kawan barunya itu berakhir. Pada 21 Juni 1927, Sontani diangkut ke pengasingan di Tanah Merah, Digul.
Pelarian Pertama dan Terlama
Kamp Tanah Merah letaknya jauh di pedalaman hutan Papua, di kawasan atas aliran Sungai Digul. Kala itu, kota terdekat yaitu Merauke yang jaraknya kira-kira 160 km. Jika naik sampan melewati sungai yang penuh buaya itu, bisa menghabiskan empat malam perjalanan.
Meski demikian, nampaknya pengalaman Sontani sebelum dibuang ke Digul menjadi bekal yang berharga. Bersama Saleh, ia berbulat tekad untuk melarikan diri dari kamp pengasingan itu.
Dalam masa pelariannya, Sontani dan Saleh kemudian bertemu beberapa pelarian lain yang kemungkinan menyusul kabur setelah mereka. Di pedalaman hutan, seorang kawannya yang bernama Abas tewas ketika melawan serangan suku Kaya-kaya.
Sementara itu, kawan lainnya yang bernama Partatjeleng justru dirawat suku Kaya-kaya yang lain karena sakit. Bahkan setelah ia sembuh, ia juga kawin dengan gadis suku tersebut dan tinggal bersama suku. Namun, suatu ketika ia ditangkap dan dibawa kembali ke pengasingan. Istrinya dan anaknya kemudian menyusul Partatjeleng ke Tanah Tinggi.
Baca juga: Gamelan Rantang dari Pengasingan
Harian Rakyat menyebut Sontani adalah tahanan yang memelopori pelarian pertama sekaligus yang terlama dari pelarian-pelarian yang pernah dilakukan di Digul.
Sontani dan kawan-kawan berhasil kabur 11 bulan lamanya sampai kemudian mereka ditangkap di Kota Bowen, Australia. Mereka pun harus kembali merasakan pengasingan di Boven Digul.
Menurut Molly Bondan dalam Spanning a Revolution, Kisah Mohamad Bondan, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia, aksi kabur Sontani dan kawan-kawan terjadi pada Maret 1929. Namun, cerita versi Molly yang didapat dari eks Digulis bernama Dulrachman sedikit berbeda dari cerita Sontani.
Menurut Sontani sendiri, tulisannya memang perlu diperbarui karena ada beberapa bagian tidak sesuai kenyataan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sensor pemerintah kolonial saat itu. Sontani menulis kisah itu ketika masih di Digul.
“Kisah itu ditulisnya selama satu setengah bulan dalam 3 buah buku tulis yang tebalnya 32 halaman dengan tulisan tangan kecil-kecil, setiap baris buku dijadikan dua, dengan begitu berarti menjadi 6 buku tulis X 32 halaman,” tulis Harian Rakjat.
Baca juga: Maestro Gamelan di Kiri Jalan
Dari Digul, tulisan Sontani dibawa ke Jawa oleh Siswomintardjo, tahanan dari Surakarta. Tulisan itu kemudian dapat diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Minggat dari Digul.
Buku inilah yang membuat Utuy Tatang, sastrawan kelahiran Cianjur, menyematkan nama Sontani di belakang namanya menjadi Utuy Tatang Sontani. Dalam bukunya, Di Bawah Langit Tak Berbintang, Utuy mengaku mendapat buku Pelarian dari Digul (judul versi lain) dari seorang eks Digulis bernama Wiranta yang menulis Boeron dari Digoel. Tokoh Sontani membuatnya terkesan dan ia pertama kali menggunakan nama Sontani ketika mengirim cerita pendek ke surat kabar Sinar Pasundan.
Menurut Harian Rakjat, selain Minggat dari Digul Sontani juga pernah menulis buku Perintis Djalan Menudju Marxisme, Twaalfstellingen, dan Political Economy.
Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan Ex Digul, hingga tahun 1977, Sontani masih hidup dan bertempat tinggal di Yogyakarta.