Masuk Daftar
My Getplus

Setengah Merdeka

Dua kisah "kolonialisme" Belanda. Beda cara datang, beda pula cara pulangnya.

Oleh: Bonnie Triyana | 31 Mei 2014

Buxtehude sebuah kota kecil di selatan Hamburg. Entah kenapa, mungkin karena saking kecilnya atau namanya yang terdengar aneh, orang-orang Jerman kerap membuatnya jadi bahan lelucon. Mereka akan menjawab “pergi ke Buxtehude” apabila malas menjawab pertanyaan “mau kemana” dari kawannya. Buxtehude seakan sebuah kota fiktif yang tak pernah ada di dalam peta Jerman.   

Tapi kenyataannya, kota kecil ini adalah kota yang indah dan punya sejarah yang sangat menarik. Pada abad ke-12 wilayah Buxtehude digenangi air; terdiri dari rawa-rawa yang tak berpenghuni. Kemudian penguasa setempat mengundang orang-orang Belanda untuk membangun tanggul dan kanal banjir. 

Tak hanya itu, penguasa Buxtehude juga memberikan wewenang kepada warga Belanda menjadikan beberapa wilayah Buxtehude sebagai koloninya. Warga Belanda penghuni Buxtehude pun diberikan keleluasaan untuk memberlakukan hukum Belanda di koloninya. 

Advertising
Advertising

Ini bedanya Buxtehude dari Indonesia. Orang Belanda datang ke Indonesia persis kayak jaelangkung: datang tak diundang, pulang tak diantar.  Kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia pun berselang empat abad dari kedatangan mereka ke Buxtehude.

Ketika di Indonesia, Belanda menerapkan hukumnya sendiri, hukum kolonial. Untuk membedakan bagaimana hukum kolonial dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda sendiri bisa terlihat bagaimana Bung Hatta diperlakukan. Pada 1927 dia ditangkap oleh polisi Belanda. Ditahan selama kurang lebih lima bulan. Saat diadili, Hatta membacakan pledoinya yang berjudul “Indonesia Vrji” atau Indonesia Merdeka.

Hakim di Pengadilan Den Haag memutuskan Hatta tidak bersalah. Hakim menilai jaksa “salah alamat” karena menggunakan pasal-pasal hukum kolonial untuk menuntut Hatta. Padahal Hatta berada di negeri Belanda, negeri yang bebas dan tidak sedang dijajah oleh bangsa mana pun. Sehingga hakim menilai perlakuan kepada Hatta tidak pas, tidak cocok. Hatta harus diperlakukan setara dan memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya. 

Begitu pula dengan pengalaman Maria Ullfah. Maria sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia yang berhasil lulus dari Universitas Leiden. Ketika datang ke Belanda, dia merasa senang bisa membeli dan membaca buku karya-karya Sukarno. Salah satu buku yang dibelinya adalah pidato pembelaan Sukarno di hadapan Landraad Bandung, “Indonesia Menggugat”. 

“Kalau di Indonesia, buku-buku itu dilarang, tapi saya bisa bebas membacanya di Belanda,” kata Maria dalam biografinya. 

Namun saat kembali ke Indonesia, Maria dan Hatta, kembali jadi rakyat jajahan. Hukum yang diberlakukan kepada mereka pun hukum kolonial Belanda. Tak ada kebebasan mengeluarkan pendapat; mengkritik pemerintah dan bersikap berseberangan dengan  penguasa dapat berarti pemenjaraan dan hukuman buangan. 

Begitu Hatta pulang ke Indonesia, dia kembali melakukan pekerjaan politiknya. Menulis artikel dan memimpin PNI (Pendidikan Nasional Indonesia), organisasi politik yang didirikan Hatta pascabubarnya PNI (Partai Nasional Indonesia) Bung Karno. 

Tapi di Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda, tak ada kebebasan sebagaimana yang terjadi di Belanda. Hukum tak menjamin kebebasan warganya untuk berbeda pendapat dengan penguasa; hukum tak menyediakan perlindungan bagi perbedaan itu sendiri. Malah penguasa kolonial memberikan landasan hukum bagi tindak diskriminasi dengan membagi-bagi masyarakat jajahan ke dalam tiga klasifikasi: Eropa, Timur Asing dan Pribumi. 

Hukum tidak mengayomi secara setara kepada siapapun. Warga pribumi adalah obyek penjajahan. Subyeknya adalah bangsa Eropa dan para kakitangannya. Dengan cara itulah setiap kali ada kritik, respons pemerintah kolonial terhadap pengkritiknya dengan jalan menyeret mereka ke muka pengadilan dan membuangnya ke penjara.

Hatta dan Sjahrir dibuat ke Boven Digul lantas Banda Neira. Kader-kader PKI yang melawan pemerintah kolonial pada 1926 diasingkan ke Boven Digul. Sukarno ke Ende. Tan Malaka, Semaun dan Tjipto Mangoenkoesomo ke Belanda. Entah berapa puluh pemimpin gerakan nasionalis Indonesia harus menerima nasib sebagai orang buangan hanya karena melancarkan kritik dan ingin menegakkan keadilan. Sebagian lagi bahkan dibunuh. 

Sebagai negara “warisan” kolonial, sampai dengan Orde Baru, pasal-pasal karet itu pun masih diberlakukan. Bahkan pada 2007, saya masih sempat jadi saksi di Pengadilan Negeri Depok untuk Bersihar Lubis, yang dituduh menghina jaksa agung gara-gara tulisannya di Koran Tempo. Padahal, pasal itu tak berlaku di negeri Belanda, negeri yang menjajah Indonesia. 

Sadar atau tidak, seringkali kita kurang menghargai perbedaan. Apapun bentuk perbedaan, selalu dianggap sebagai musuh. Apalagi kalau perbedaan itu dianggap berlawanan dengan kehendak umum; dengan mayoritas. Saya menduga-duga saja, bisa jadi alam pikiran kebanyakan orang di negeri kita ini, masih mewarisi cara berpikir di zaman penjajahan: lebih suka yang seragam daripada yang beragam.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa