Masuk Daftar
My Getplus

Serikat Buruh Nasionalis, Antara Perjuangan Kelas dan Kepentingan Nasional

Serikat buruh kaum nasionalis ini tidak bisa sepenuhnya menerima kebenaran konsep perjuangan kelas.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 06 Mei 2015
Penandatanganan pengambilalihan KPM (Perusahaan Pelayaran Belanda) di Jakarta pada Desember 1957.

PBB gagal mengesahkan suatu resolusi agar Belanda merundingkan masalah Irian Barat dengan Indonesia. Akibatnya meledak gerakan anti-Belanda, di antaranya pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda.

Serikat buruh pertama yang melakukan aksi pengambilalihan adalah KBKI (Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia). Pada 3 Desember 1957, sekelompok pimpinan KBKI memaksa masuk ke ruangan manajer di kantor pusat KPM (Perusahaan Pelayaran Belanda) di Jalan Merdeka Timur Jakarta, dan menyatakan mengambilalih KPM.

“Menghadapi situasi demikian, pihak manajemen mengemukakan bahwa mereka harus membicarakannya terlebih dahulu dengan pemerintah, dan dijawab oleh pimpinan mereka, ‘kami dan kaum buruh adalah pemerintah!’” tulis Bondan Kanumoyoso dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia.

Advertising
Advertising

KBKI dibentuk pada 10 Desember 1952, sebagai hasil fusi beberapa organisasi buruh di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), seperti Himpunan Buruh Indonesia (HIMBI) dan Ikatan Buruh Demokrat (IBD).

Menurut Bondan, KBKI relatif sebagai sebuah federasi kecil yang sebagian besar dikuasai serikat-serikat buruh di Sumatera Utara, di mana beberapa serikat buruh PNI dibentuk dengan nama IBD. “Dengan demikian, tidak aneh bila ketua umum KBKI pertama adalah ketua PNI Sumatra Utara, Saleh Umar,” tulis Bondan.

Garis politik yang diikuti KBKI secara jelas diuraikan dalam program umum yang dirumuskan pada saat pembentukannya. Mengikuti sikap PNI, program tersebut menyatakan bahwa KBKI tidak bisa sepenuhnya menerima kebenaran konsep perjuangan kelas. Serikat buruh ini dengan tegas mendukung kepentingan nasional di atas kepentingan kelas. Pengambilalihan perusahaan Belanda dianggap oleh KBKI sebagai upaya mendukung kepentingan nasional yang berjuang merebut Irian Barat.

“Karena itu bagi KBKI, aksi mogok yang mereka lakukan lebih didorong untuk memperjuangkan kepentingan nasional ketimbang sekadar memperjuangkan kenaikan upah,” tulis Bondan.

Program umum KBKI menyatakan bahwa KBKI tidak akan menjadi anggota federasi buruh internasional yang didominasi komunis maupun didominasi Amerika Serikat, tetapi bersedia bekerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) PBB. KBKI juga mengikuti garis PNI, KBKI menyatakan: “…mendesak dikembangkannya kewiraswastaan nasional sepanjang hal ini tidak menciptakan kapitalisme nasional.”

Dalam The Communist Party of Indonesia: 1951-1963, Donald Hindley menyebutkan bahwa pada 1958 KBKI mengklaim memiliki lebih dari satu juta anggota; dan pada awal tahun 1960 mengaku memiliki 143 cabang dengan setidaknya seorang pekerja penuh waktu di setiap cabang.

KBKI tak tahan dari perpecahan. Ini bermula dari sengketa dewan pimpinan PNI yaitu Hardi dan kawan-kawan dengan Ketua Umum KBKI, Ahem Erningpradja mengenai kedudukan KBKI. Dewan pimpinan partai menghendaki supaya KBKI mendengar kepada politik PNI sedangkan Ahem yang juga menjadi menteri perburuhan seratus persen mengikuti Sukarno. Sementara itu, “di kalangan pimpinan PNI masih terdapat unsur-unsur yang menuruti gaya dan cara kerja yang tidak serasi dengan kemauan Sukarno,” tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, dan PKI.

Menurut Rosihan, Ahem dalam kedudukannya sebagai ketua umum KBKI mengusahakan supaya hanya orang-orangnya yang duduk dalam pimpinan KBKI. Dia menulis surat edaran resmi kepada semua departemen hanya KBKI Ahem Erningpradja yang boleh diakui sebagai organisasi buruh. Dengan demikian, KBKI yang ada orang-orang dari dewan pimpinan partai di dalamnya, menjadi tersingkir. Ahem kemudian dipecat dari PNI, namun dia yang kemudian menjadi duta besar di Korea Utara, menyatakan KBKI tetap jalan. 

Menurut SK Trimurti dalam Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan Pergerakan Kemerdekaan Nasional, pada kongres ketiga pada 1962, KBKI terpecah menjadi dua: yang masih di bawah PNI yaitu DPP (Dewan Pimpinan Pusat) KBKI dibawah pimpinan Surojo. Pada 1963, mengubah namanya menjadi DPP KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis) mengikuti Kongres PNI di Purwokerto. Sedangkan yang tidak di bawah PNI adalah DPS (Dewan Pimpinan Sentral) KBKI di bawah pimpinan Ahem Erningpradja. (Baca: SK Trimurti Menteri Perburuhan Pertama dan Kiprah Trimurti Menteri Buruh Bersandal Jepit)

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Momentum Zulkifli Lubis Kyai Modjo Sahabat Pendeta Riedel Antara Lenin dan Stalin (Bagian II – Habis) Penyebar Kristen di Kampung Ibu Prabowo Umat Advent Hari Ketujuh, Penanti Kedatangan Yesus Kedua Kali Jenderal-Jenderal dari SMP Tarutung Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama