Masuk Daftar
My Getplus

Sayuti Melok bukan Sayuti Melik

Ada dua Sayuti yang sama-sama wartawan dan pejuang. Sayuti Melok tak sepopuler Sayuti Melik.

Oleh: Andri Setiawan | 28 Sep 2022
Sayuti Melok pernah menjadi wartawan De Locomotief di Semarang pada 1930-an. (delpher.nl).

Pada akhir 1930-an, di Semarang ada dua orang pejuang bernama Sayuti. Keduanya sama-sama wartawan. Satu di majalah Pesat, satunya lagi di De Locomotief. Keduanya juga sering datang pada rapat-rapat pergerakan kemerdekaan dan sering tampil berpidato.

Sayuti yang satu, berperawakan kecil dan bermata kecil. Maka, ia kemudian dijuluki Sayuti Melik. Nama Melik kemudian juga menjadi nama samarannya. Sedangkan untuk membedakan dengan Sayuti Melik, Sayuti yang lainnya dijuluki Sayuti Melok.

“Kebetulan pada waktu itu Sayuti yang lainnya tadi sudah menggunakan kacamata, jadi kelihatan melok-melok,” kata Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sayuti Melik dalam Gerakan Bawah Tanah Singapura

Kelak, Sayuti Melik, pejuang yang sering keluar masuk penjara terkenal karena mengetik naskah Proklamasi. Sementara Sayuti Melok, yang juga sama-sama pejuang, tak begitu dikenal dalam sejarah.

Kisah Sayuti Melok memang tak banyak dicatat. Mantan Walikota Jakarta, Sudiro, dalam Pelangi Kehidupan telah mengenal Sayuti Melok sejak 1930-an ketika ia menjadi murid Algemene Middelbare School (AMS, setingkat Sekolah Menengah Atas) bagian Sastra Timur di Surakarta.

“Kami bersama-sama dengan Armijn Pane dan Amir Hamzah, waktu itu menjadi anggota Indonesia Muda. Sayuti Melok berwatak penuh humor. Hingga sekarang pun beliau masih tetap lucu dalam pergaulan, dan mempunyai cara tertawa yang mampu mengajak lain orang turut tertawa,” kata Sudiro pada 1986 ketika Sayuti Melok masih hidup.

Pada masa mudanya, kenang Sudiro, ketika jejaka usia 18–29 tahun suka berpakaian perlente, Sayuti Melok justru berbeda. Ia sering kali memakai baju Toro, pakaian kusir andong tempo dulu yang biasanya berwarna merah atau biru.

Tak hanya berpakaian seperti kusir andong, Sayuti Melok bahkan sering kali mendapat pinjaman andong dari kenalannya dan mengajak teman-temannya untuk naik.

Baca juga: Sayuti Melik-SK Trimurti: Kisah Asmara Sepasang Pejuang

Sudiro menyebut Sayuti Melok pernah memimpin Taman Siswa di Jombang. Asrama Taman Siswa saat itu berbatasan pagar tembok sekira satu meter dengan rumah wedana.

Suatu hari, ayam milik Sayuti Melok melompat pagar memasuki pekarangan rumah wedana. Ayam itu lalu dilempari batu oleh pelayan wedana hingga kakinya pincang. Sayuti Melok berang. Ketika ayam sang wedana yang masuk ke asrama langsung ditangkap anak-anak asrama dan disembelih oleh Sayuti Melok.

“Tidak itu saja! Beliau bahkan memerintahkan anak-anak itu berdiri berjajar di atas pagar tembok itu dan atas ‘komandonya’, anak-anak itu kencing ke arah halaman sang wedana,” terang Sudiro.

Sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I menyebut Sayuti Melok sering kali dikira sama dengan Sayuti Melik. Pasca kemerdekaan, Sayuti Melok merupakan pimpinan Dewan Perdjoangan Djawa Tengah, sebuah badan permusyawaratan antara tentara dan kelompok-kelompok perjuangan di Jawa Tengah. “…dan juga seorang tokoh terkemuka dalam Barisan Banteng,” tulis Poeze.

Baca juga: Tak Ditangkap Polisi, Sayuti Melik Dongkol

Pada 4 Januri 1946, Sayuti Melok mengikuti sidang besar di Purwokerto yang membahas “hasrat perjungan rakyat seluruh Indonesia”.  Sidang ini bukan sidang biasa. Dihadiri oleh sekira 300 orang yang mewakili 40 organisasi. Dari Partai Komunis Indonesia, Masyumi, Partai Boeroeh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hisbullah, hingga Persatoean Wanita Indonesia (Perwari).

“Orang-orang dari ‘semua lapisan rakyat’ melengkapi semuanya itu, termasuk Panglima Besar Soedirman dan Tan Malaka,” tulis Poeze.

Sayuti Melok bersama Ismail dari Jawa Timur, Armoenanto dan Chairul Saleh dari Jakarta Raya dan Jawa Barat membuka sidang. Sayuti Melok sendiri menyampaikan laporan dari Jawa Tengah.

Sidang itu memunculkan pendapat bahwa pemerintah Indonesia tak memberikan reaksi yang cukup dalam menghadapi provokasi dan tipu daya Inggris.

“Kesatuan dan koordinasi diperlukan, demikian Ismail dan Sayuti Melok berkata. Untuk itu Sayuti Melok mengusulkan agar dibentuk sebuah badan koordinasi,” tulis Poeze.

Baca juga: Sayuti Melik Merasa Bebas di Dalam Penjara

Sidang itu belakangn bersambung pada rentetan peristiwa pada awal 1946 yang sering dikenal sebagai “kudeta Tan Malaka”. Sayuti Melok disebut turut ditangkap bersama Ibnu Parna, tokoh Angkatan Komunis Muda (Akoma) dan Ahmad Subardjo. Sayuti Melik “kembarannya” juga ditangkap bersama Adam Malik, Chairul Saleh, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka baru dibebaskan pada 1948.

Solichin Salam dalam “In Memoriam Soemarmo” yang termuat dalam Soemarmo, Pejuang Tanpa Tanda Jasa mencatat sedikit soal Sayuti Melok.

Pada 7 Juni 1967, Solichin bersama Sayuti Melok, Masagung, dan Soemarmo datang ke Istana Bogor dalam perayaan ulang tahun Bung Karno yang ke-66. Pulangnya, Solichin menginap di rumah Sayuti Melok.

Solichin menyebut Sayuti Melok adalah tokoh pergerakan yang dekat dengan Sukarno dan Muhammad Hatta. “Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau menjual rokok untuk menegakkan hidup. Saya kagum pribadi yang demikian. Karena beliau punya prinsip dan memiliki karakter,” kenang Solichin.*

TAG

sayuti melok pejuang

ARTIKEL TERKAIT

Tentara Jepang Bantai Pejuang Semarang di Rumah Sakit 7 Pejuang Asing dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia Moeffreni Moe'min, Komandan Para Pejuang Sersan Mayor Bernama Sofia Barisan Jenggot Berbahaya Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo