Masuk Daftar
My Getplus

Satu Negara Dua Kerajaan

Konflik di Thailand selatan terus berlanjut. Ada perbedaan latarbelakang sejarah dan budaya.

Oleh: M.F. Mukthi | 13 Okt 2010

NARATHIWAT, Thailand selatan awal September 2010. Hari masih pagi. Wilas Petchprom dan istrinya, Komka, bersepeda motor menuju sebuah pasar di Narathiwat sebelum mengisi kelas pagi di sekolahnya. Di tengah perjalanan, mereka ditembak mati orang-orang bersenjata.

Pembunuhan itu merupakan bagian dari kekerasan bersenjata bernuansa separatis yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir di Thailand. Siapa saja yang terkait dengan sekolah umum sering jadi sasaran pembunuhan di provinsi-provinsi Thailand selatan. Bagi para penyerang bersenjata, sekolah umum merupakan simbol dominasi politik dan budaya Thailand.

“Sekitar 70 persen dari guru-guru di Narathiwat membawa senjata,” kata Sanguan Inrak, ketua dari Persatuan Guru Narathiwat, lembaga yang mewakili hampir 7.000 guru sekolah dasar dan menengah, seperti dikutip Inter Press Service, 27 September 2010.

Advertising
Advertising

“Kekerasan fundamental Islam di Thailand berpusat pada aktivitas-aktivitas separatis penduduk Melayu-Muslim di tiga provinsi, yakni Pattani, Yala, dan Narathiwat,” tulis Jason F. Isaacson dan Colin Lewis Rubenstein (editor) dalam Islam in Asia: Changing Political Realities.

Di masa lalu, Pattani, Yala, dan Narrathiwat merupakan wilayah Kesultanan Pattani –awalnya kerajaan tertua di Semenanjung Malaya bernama Langkasuna, yang berdiri pada abad ke-2. Ia berulangkali menjadi wilayah vasal kerajaan lain: Sriwijaya, Nakhon Si Thammarat, Sukhothai; hingga kembali menjadi wilayah otonom pada abad ke-15 dan menjadi kerajaan Islam bernama Kesultanan Pattani.

Sebagai wilayah otonom, perdagangan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di Pattani berkembang pesat. Hubungan diplomatik terjalin dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Pattani jadi satu titik penting dalam perniagaan Selat Malaka. Menurut Peter Chalk, “Militant Islamic Separatism in Southern Thailand”, yang dimuat dalam Islam in Asia: Changing Political Realities, kawasan itu meningkat menjadi satu entitas sosio-politik religius, dan terus menikmati identitas penuh yang terpisah dari kerajaan Thai-Buddha yang telah berdiri di utara.

Pattani sempat berjaya di era Sultan Muzaffar Shah pada pertengahan abad ke-16. Sultan mendirikan masjid pertama, Krisek atau Krue Se, di provinsi Pattani yang berarsitektur Timur Tengah. Zaman keemasan berlanjut para era empat ratu yang memerintah sejak 1584: Ratu Hijau, Ratu Biru, Ratu Ungu, dan Ratu Kuning. Kekuatan ekonomi dan militernya mampu menghadapi empat kali invasi kerajaan Siam dengan bantuan kesultanan Pahang dan Johor –kini bagian dari Malaysia.

“Pada abad ke-17, kerajaan itu muncul sebagai pusat utama ilmu pengetahuan Islam di dunia Melayu, dihormati oleh banyak kesultanan, setara dengan kesultanan Aceh yang prestisius,” tulis Chalk.

Pattani mengalami kemunduran ketika Ayudhya atau Ayutthaya, cikal-bakal kerajaan Siam, menginvasinya pada 1688. Sultan Muhammad, yang berkuasa di Pattani saat itu, terbunuh dalam pertempuran. Kota Pattani dibumihanguskan. Pattani sendiri mengalami konflik internal, yang kian memudarkan kejayaan mereka.

Pattani kembali merdeka setelah Ayudhya kalah perang dari Burma. Setelah lama berada di bawah cengkeraman Burma, pada abad ke-18, Dinasti Chakkri di bawah Raja Rama I kemudian berhasil menyatukan kembali kerajaan Siam. Siam bangkit kembali dan bahkan lebih kuat. Dipimpin Pangeran Surasi, adik dari Raja Rama I, “pasukan Siam menginvasi Pattani pada 1786 dan membagi kerajaan Muslim itu menjadi tiga provinsi,” tulis Karl R. deRouen dan Paul Bellamy dalam International Security and the United States: an Encyclopedia, Volume 2.

Setelah dikuasai oleh kerajaan Siam, wilayah Pattani menjadi daerah yang merupakan wilayah Thai-Budha. Hal didasarkan atas perjanjian penentuan daerah antara Kerajaan Thailand pada masa pemerintahan Raja Chulalongkorn dan pemerintahan kolonial Inggris di Malaya, yang mengharuskan wilayah Pattani dan sekitarnya menjadi wilayah kekuasaan Thailand pada 1902. Sebenarnya, masyarakat Muslim di Thailand itu lebih suka bergabung dengan Malaya, sekalipun di bawah pemerintahan Inggris, karena memiliki akar budaya yang sama. Tapi sejarah menentukan lain; dan dampaknya terasa hingga kini.

Di bawah pemerintahan Muangthai yang Buddha, sebagai kelompok minoritas, mereka memperoleh perlakukan diskriminatif. Birokrasi negara yang berorientasi Thai-Buddha mengisolasi mereka bukan hanya dalam proses politik tapi juga kultural, agar sesuai dengan kebutuhan integrasi nasional. Upaya itu gagal. Kebijakan lebih keras dijalankan rezim Phibul Songkram pada 1938, yang menekankan asimilasi berbagai budaya minoritas ke budaya monoetnik.

Upaya integrasi itu menimbulkan ketidakpuasan Melayu-Muslim. Identitas budaya mereka terancam. Mereka juga mengeluhkan marjinalisasi budaya, bahasa, dan ekonomi. Muncullah gerakan separatis untuk kemerdekaan Pattani.

Pada 1947, Haji Sulong bin Abdul Kadir, kepala Dewan Provinsi Islam Pattani, mempelopori perlawanan terhadap Bangkok. Dia memimpin kampanye petisi penuntutan hak otonom, bahasa, budaya, dan penerapan hukum Islam. Haji Sulong, bersama beberapa pemimpin agama dan anggota parlemen Muslim, ditangkap, dibebaskan, lalu hilang tak jelas rimbanya. Dia menjadi simbol perlawanan etnis Melayu-Muslim terhadap Thailand.

Gerakan perlawanan terus menguat. Gabungan Melayu Pattani Raya (GAMPAR) terbentuk pada 1950 dengan tujuan menggabungkan provinsi-provinsi Muslim Thailand ke dalam Malaya. Tak lama berselang, Tengku Jalal Nasir –dikenal dengan Adul Na Saiburi, wakil Ketua GAMPAR dan mantan anggota parlemen Narathiwat– mendirikan Barisan Nasional Pembebasan Pattani pada 1959, yang memicu bentrokan dengan pasukan pengamanan di hampir seluruh provinsi di Thailand Selatan. Pada pertengahan 1970, lebih dari 20 organisasi separatis muncul di perbatasan Thailand dengan Malaysia.

“Pemberontakan-pemberontakan Islam terus pecah untuk menuntut kemerdekaan wilayah Kerajaan Pattani sebelumnya,” tulis Peter Chalk.

“Sebuah gerakan separatis,” menurut Ruth McVey sebagaimana disitir Clive J. Christie, dalam A Modern History of Southeast Asia: Decolonization, Nationalism and Separatism, “akan sangat kuat bila identitas gerakan itu bisa dikaitkan dengan memori sebuah negeri secara historis.”

Perlawanan etnis Melayu Muslim di selatan Thailand belum terselesaikan hingga kini. “Konflik itu, sekarang memasuki tahun ketujuh, mengakibatkan lebih dari 4.300 orang tewas dan 11.000 cidera. Kebanyakan yang tewas warga sipil Melayu-Muslim,” tulis Inter Press Service.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah Awal Mula Meterai di Indonesia KNIL Turunan Genghis Khan Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Akhir Tragis Overste Romantis Inggris dapat Membakar Lautan Patra Mokoginta Gagal Jadi Raja dan Dibuang Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Tokio Jokio, Film Animasi Propaganda AS Masa Perang Dunia II Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau Gelut di Tapanuli