Teh kali pertama masuk ke Hindia Timur pada abad ke-17. C.P. Cohen Stuart, ahli tanaman pada Algemeen Proefstation Voor Thee, Buitenzorg, menyebut Andreas Cleyer, seorang peneliti alam dari Jerman, sebagai pembawa pertama perdu teh ke Jawa.
Perdu teh itu berasal dari Jepang dan tumbuh dengan baik di Tanah Hindia. Kemudian asisten Andreas Cleyer membawa perdu teh itu ke Belanda untuk kepentingan penelitian pada 1687. Demikian keterangan Stuart dalam “Permulaan Budidaya Teh di Jawa” termuat di Sejarah Perusahaan-Perusahaan Teh Indonesia 1824–1924,
Johannes Camphuys, Gubernur Jenderal Hindia Timur 1684–1691, turut berhasil menanam teh di halaman rumahnya, di Batavia. J.H. van Emden dan W.B. Deijs dalam Perkebunan Teh, menyatakan teh tersebut berasal dari Tiongkok. Camphuys menanamnya sebagai hiasan dan kesenangan.
Upaya mengubah orientasi penanaman teh di Hindia Timur terjadi pada 1728. Tuan-Tuan Tujuh Belas (Heeren XVII), para pemegang saham di Maskapai Dagang Hindia Timur (VOC), menyurati pemerintah VOC di Batavia tentang perlunya membudidayakan teh untuk perdagangan. Tapi pemerintah VOC di Batavia kurang berminat membudidayakan teh.
Seratus tahun setelah surat Tuan-Tuan Tujuh Belas VOC, pembudidayaan teh untuk keperluan dagang baru terlaksana di tanah Hindia. Tapi VOC sudah bangkrut sejak 1799 sehingga semua urusan mengenai Hindia dipegang oleh pemerintah Kerajaan Belanda.
Baca juga: Sejarah Teh, Menghirup Aroma Camellia
Pieter Creutzberg dan J.T.M van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi di Indonesia mencatat bahwa pemerintah kolonial telah membuka perkebunan teh di Jawa Barat sepanjang 1833—1838. “Pada tahun 1835 teh Hindia Belanda untuk pertama kali masuk ke pasaran Amsterdam,” tulis Creutzberg dan Van Laanen.
Perkembangan selanjutnya muncul pada 1878. Masa ini mencatatkan pengenalan beraneka macam jenis teh dari Assam, India. Pengenalan ini tak lepas dari berakhirnya masa Tanam Paksa pada 1870 dan diganti oleh masa Undang-Undang (UU) Agraria 1870. UU ini membuka kesempatan luas bagi para pengusaha swasta untuk berinvestasi di Hindia Belanda.
Pertumbuhan ekspor teh dari Hindia Belanda meningkat sepanjang 1890—1920. “Beberapa tahun kemudian pertumbuhan ini tercermin dalam angka-angka ekspor,” lanjut Creutzberg dan Van Laanen. Peningkatan ekspor teh seiring dengan peningkatan produksi teh untuk konsumsi dalam negeri di Hindia Belanda.
Minum teh menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Mereka membuat miuman teh dengan menaruh daun teh dalam cangkir atau gerabah. Air panas dituang, lalu daun teh itu disaring. Hasil saringan itu kemudian disajikan pada sore hari. Teh berpadu dengan makanan Eropa seperti pannekuk, pudding, dan tart.
Baca juga: Beda Suku Beda Cara Minum Teh
Cara membuat teh seperti ini bertahan hingga 1960-an ketika orang Indonesia butuh cara lebih praktis untuk menghidangkan minuman teh. Seorang pengusaha bernama Johan Alexander Supit mulai berpikir tentang cara baru menyajikan minuman teh.
Johan mengetahui bahwa cara baru menyajikan minuman teh telah berkembang di luar Indonesia. Orang tak perlu lagi menyaring teh, melainkan cukup dengan mencelupnya ke air hangat. Teh demikian dibungkus dalam kemasan khusus (tea bags). Permintaan terhadap teh jenis ini cukup besar.
“Adanya permintaan besar akan teh celup itu juga mendorong timbulnya industri teh celup di Indonesia. Yang terkenal karena pertama-tama timbul dengan idea membuat teh celup itu adalah merek Sariwangi,” tulis James J. Spillane dalam Komoditi Teh: Peranannya dalam Perekonomian Indonesia.
Sariwangi adalah jenama bikinan Johan Alexander Supit pada 1973. Sebelummya dia telah mendirikan perusahaan teh pada 1962. Teh celup Sariwangi kemudian diikuti oleh merek-merek teh besar lain.*