KETIKA berusia 25 tahun, Aung San mendirikan Partai Thakin. Inggris yang merasa terancam menangkapi para pemimpinnya. Aung San bersama rekan-rekannya melarikan diri ke China untuk mencari suaka ke pemerintahan nasionalis Kuomintang. Ketika tiba di Amoy (kini Xiamen), dia dicegat tentara Jepang.
Di Jepang, Aung San malah disambut sebagai adik dalam keluarga Asia Timur Raya. Bahkan, dia diberi nama Jepang, Omoda Monji. Bersama 30 rekannya yang dijuluki The Thirty Comrades, Aung San mendirikan Burma Independence Army. Mereka dilatih di Pulau Hainan hingga Formosa (Taiwan) untuk dikirim lagi ke Burma lewat Vietnam dan Thailand bersama serdadu Jepang.
Menurut PK Ojong dalam Perang Pasifik: 1941-1945, Jepang berjanji kepada Aung San bahwa Burma akan dijadikan negara merdeka dalam lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. “Aung San percaya bahwa janji ini akan dipenuhi. Kalau tidak, dia akan bertindak,” tulis Ojong.
Baca juga: Ketika Aung San Merangkul Rohingya
Pada Maret 1942, Jepang bersama Burma Independence Army merebut Rangoon. Pemerintahan British Burma tumbang dan Jepang mendirikan pemerintahan boneka dengan mengangkat Ba Maw. Setahun kemudian, 1 Agustus 1943, Burma “dimerdekakan” di bawah pimpinan Ba Maw.
“Jepang hendak menipu rakyat Burma yang pura-pura diberi kemerdekaan sesuai janji Jepang. Sebenarnya, bukan Jepang yang menipu Burma, melainkan sebaliknya. Ketika Ba Maw mengangkat empat anggota Partai Thakin sebagai menteri kabinetnya, Jepang gembira karena berarti rakyat Burma menyokong politik Jepang,” tulis Ojong.
Padahal, Ba Maw mengangkat pentolan gerakan Burma Independence Army yang berubah menjadi Burma Defence Army untuk menggulingkan pemerintahan boneka Jepang. Aung San merasa Jepang telah menipunya dengan janji kemerdekaan.
“Dia mengatakan: ‘Jika Inggris menghisap darah kami, Jepang mengubur tulang-tulang kami’,” tulis Marsekal Sir William Slim dalam memoarnya, Defeat into Victory. “Sejak 1 Agustus 1944, dia mulai berani berbicara lantang menentang kebijakan-kebijakan Jepang. Dia tidak ingin negaranya dipimpin tirani jenis baru (Jepang) setelah lama punya tuan besar di masa lalu (Inggris).”
Baca juga: Aung San Suu Kyi Menulis Sejarah Arakan
Aung San memilih jalan halus dalam melawan Jepang. Terlebih dia sudah masuk kabinet pemerintahan boneka sebagai menteri pertahanan; Thakin Than Tun sebagai menteri perhubungan, Thakin Nu sebagai menteri luar negeri dan Thakin Mya sebagai wakil perdana menteri.
Seraya mendirikan AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis), Aung San punya kesempatan membalas tipu-tipu Jepang. Saat Sekutu mulai memasuki Burma lagi, Aung San bersama serdadu Burma Defence Army berangkat ke front Meiktila pada 16 Maret 1945. Jepang percaya Aung San hendak menyokong tentara Jepang yang tengah menahan laju ofensif Sekutu dan China. Tapi yang terjadi, Aung San malah mencari kontak dengan otoritas Inggris.
“Aung San dan serdadu-serdadunya pada 27 Maret 1945 memberontak dan justru memerangi Jepang bersama Inggris,” tulis Martin Smith dalam Burma: Insurgency and the Politics of Ethnicity.
Baca juga: Burma dan Kemerdekaan Indonesia
Burma Defence Army bertransformasi menjadi Burma National Army. Aung San membantu Inggris merebut kembali Meiktila dan Mandalay. Inggris menguasai kembali Burma pada 2 Mei 1945. Inggris tentu ingin berkuasa lagi di Burma, meski Aung San sudah mendirikan pemerintahan sementara dengan orang-orang dari AFPFL.
Dalam rapat kabinet di London pada 30 Maret 1945, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill berpesan kepada Lord Louise Mountbatten, kepala pemerintahan militer Burma, ketika berhadapan dengan orang-orang Burma: “Jangan mengadakan perundingan dengan gerilyawan Burma dan memberikan janji politik!”
Bahkan, Aung San diusulkan untuk ditangkap karena pengaruhnya yang besar dan membahayakan Inggris. Mountbatten menolak karena takut seluruh rakyat Burma berontak.
Baca juga: Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia
Aung San menjalankan taktik politik yang halus terhadap Inggris. Ketika Jenderal Sir William Slim menemuinya, Aung San mengutarakan konsesi militer tanpa melepas status politiknya di pemerintahan sementara AFPFL.
“Dia kembali pura-pura bekerja sama dengan Inggris di lapangan militer, seperti dia dahulu pura-pura bekerja sama dengan Jepang. Dia bersedia menaruh tentaranya di bawah komando Inggris, tapi dia tahu bahwa tentaranya hanya mendengar perintahnya sendiri. Dia tak bermaksud menghadiahkan tentaranya pada Inggris demi kepentingan politik Inggris,” tulis Ojong.
Di lapangan politik, Aung San terus-menerus mendesak Inggris dengan berbagai gerakannya. Mulai dari rapat raksasa, hingga penolakannya secara keras terhadap janji Inggris yang ingin memberi status dominion (negara semiindependen di bawah Kerajaan Inggris) pada 1948. Inggris gagal memecahbelah rakyat Burma yang mengelu-elukan Aung San.
Baca juga: Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma
Akhirnya, Aung San berhasil memaksa Inggris duduk di meja perundingan. Pada 26 Januari 1947 di London, Aung San meneken perjanjian dengan Perdana Menteri Inggris yang baru, Clement Attle. Perjanjian itu intinya akan diadakan pemilu pertama, pembentukan dewan konstituante, dan status dominion. Perjanjian itu jadi kemenangan tersendiri bagi Aung San melawan Inggris tanpa peluru dan darah di usia yang masih muda, 31 tahun.
Sayangnya, Aung San tak bisa hidup sampai Burma benar-benar merdeka pada 1948. Saat sidang kabinet pada 19 Juli 1947, kelompok bersenjata merangsek masuk dan memberondongkan timah panas. Aung San tewas di tempat.
“U Nu, rekan Aung San yang paling pandai, mengganti kedudukannya," tulis Ojong. "Penyerahan kedaulatan oleh Inggris pada Burma dilakukan tanggal 4 Januari 1948. Pemimpin British Burma terakhir, Sir Hubert Rance pergi sebagai sahabat. Tapi di mata orang-orang saat itu, yang terbayang-bayang adalah wajah Bogyok (pemimpin tertinggi) U Aung San."*