Masuk Daftar
My Getplus

Protes Anti-NATO di Masa Lalu

Bergabung dengan NATO bukan hanya jadi masalah buat Presiden Rusia Vladimir Putin. Tujuh puluh tahun silam, hal itu juga menjadi masalah warga Islandia.

Oleh: M.F. Mukthi | 30 Mar 2022
Kerusuhan menentang keanggotaan Islandia dalam NATO pecah di depan gedung parlemen, 30 Maret 1949. (Foto: Arnaldur Gretarsson & family, Valgerour Tryggvadottir/wikipedia.org)

Hubungan Rusia dan Ukraina yang tengah berperang, maju selangkah lagi. Kedua negara duduk bareng di Turki Selasa, 29 Maret 2022, kemarin untuk membicarakan perundingan damai. 

“Pembicaraan tatap muka yang dijadwalkan mulai pukul 10.30 (waktu setempat, sekitar pukul 13.00 IST). Perundingan damai Rusia dan Ukraina tersebut akan dipandu langsung oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Kantor Kerja Kepresidenan Dolmabahce, Distrik Besiktas, Istanbul,” demikian kabar24.bisnis.com memberitakan di lamannya pada 29 Maret 2022.

Pembicaraan damai ini menjadi yang kelima dilakukan kedua belah pihak. Tiga pembicaraan sebelumnya berlangsung di Belarus dan satu pembicaraan berikutnya berlangsung lewat konferensi video.

Advertising
Advertising

Dalam pembicaraan lewat konferensi video itu, pihak Rusia menuntut Ukraina menangguhkan niatnya untuk bergabung dengan NATO. Tuntutan itu disambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang bersedia mengkompromikannya. 

Kendati berbeda, tuntutan untuk tidak masuk NATO juga pernah disuarakan tepat 73 tahun silam (30 Maret 1949). Tuntutan itu bahkan sampai menimbulkan kerusuhan. Tuntutan itu dilakukan sebagian warga Islandia di ibukota Reykjavik.

Baca juga: Apa dan Siapa Islandia?

Kendati NATO belum resmi didirikan, Islandia menjadi salah satu negara yang aktif membidani kelahiran pakta pertahanan Atlantik Utara tersebut. Islandia yang tidak memiliki militer dan terus mempertahankan sikapnya itu, melihat perlunya membuat sebuah kerjasama regional di tengah ancaman baru pascaperang yang datang dari agresivitas Uni Soviet. Kekhawatiran yang sama juga dialami negara-negara Benelux (Belgia, Belanda, Luxemburg) sehingga ketiganya bersama Inggris dan Prancis membentuk kerjasama yang ditandatangani di Brussel (Treaty of Brussels), Belgia pada 17 Maret 1948.

“Perjanjian Brussel adalah perjanjian pertahanan bersama melawan ancaman Soviet pada awal Perang Dingin. Itu adalah pendahulu NATO. Ancaman Soviet menjadi langsung dengan Blokade Berlin pada 1948, yang mengarah pada pembentukan Organisasi Pertahanan Uni Eropa Barat pada September 1948,” tulis pakar geopolitik Neari Rivers dalam International Security Studies.

Lantaran dianggap terlalu lemah untuk menghadapi kedigdayaan militer Soviet yang pada akhir tahun 1948 juga berperan dalam kudeta di Cekoslowakia, para penandatangan Perjanjian Brussel pun berupaya menggandeng Amerika Serikat (AS). Audiensi dengan Pentagon dilakukan para pemimpin negara penandatanganan Perjanjian Brussel.

“Menteri Luar Negeri Inggris Ernest Bevin menegaskan bahwa cara terbaik untuk mencegah Cekoslowakia lain adalah dengan mengembangkan strategi militer bersama,” sambung Neari.

Baca juga: Membentuk Sekutu Politik

Islandia, yang baru resmi merdeka sekira tiga tahun, ikut serta dalam pertemuan di Pentagon itu. Adalah Menlu Bjarni Benediktsson yang menjadi motornya.

“Rakyat saya tidak bersenjata dan tidak bersenjata sejak zaman nenek moyang Viking kami. Kami tidak memiliki atau tidak dapat memiliki tentara. Tapi negara kami, dalam keadaan tertentu, sangat penting untuk keselamatan wilayah Atlantik utara,” kata Menlu Islandia Bjarni, pendorong utama keterlibatan Islandia dalam NATO, saat pidato di acara penandatanganan pendirian NATO.

Apa yang dilakukan Menlu Bjarni mengkhawatirkan beberapa kalangan di dalam negeri Islandia. Ikut NATO berarti terlibat dalam Perang Dingin dan konfrontasi langsung dengan Uni Soviet. Itu bukan hanya bertentangan dengan tradisi damai bangsa Islandia yang telah turun-temurun, tapi juga akan mengancam nilai-nilai tradisi lain yang telah berkembang di Islandia.

“Para kritikus umumnya dibagi menjadi dua kelompok: nasionalis Islandia, yang khawatir kehadiran pasukan asing akan melemahkan bahasa Islandia, budaya dan kemurnian etnis, dan Sosialis Islandia yang ingin Islandia mengembangkan hubungan lebih dekat dengan Uni Soviet daripada dengan Sekutu Barat. Kekhawatiran terbesar bagi nasionalis Islandia adalah bahwa negara mereka yang baru merdeka akan ditarik oleh para pemain lebih besar di pentas internasional dan diserbu oleh serdadu asing di dalam negeri. Akibatnya, Amerika Serikat setuju untuk secara ketat membatasi interaksi pasukan Amerika dengan warga Islandia, termasuk dengan menetapkan jam malam untuk para petugasnya,” tulis NATO dalam artikel di lamannya, nato.int, “Iceland and NATO”.

Kekhawatiran itu menggerakkan ratusan aktivis kiri dan nasionalis untuk mengadakan protes ke gedung parlemen pada 30 Maret 1949. Pada hari itu, parlemen Islandia (Althingi) bersidang untuk menentukan apakah Islandia akan bergabung dengan NATO atau tidak.

Rencana tersebut sampai ke “telinga” pemerintah. Selain perintah kepada aparat keamanan, seruan untuk menjaga gedung parlemen juga dikeluarkan pemerintah kepada warga ibukota.

Pada hari-H, massa penentang NATO pun bergerak. Setelah berkumpul di belakang sebuah sekolah, mereka bergerak ke taman Austurvöllur yang terletak di depan gedung parlemen. Mereka pun bertemu dengan massa pro NATO dan aparat keamanan yang berjaga di sekitar gedung.

Susana damai berubah kacau setelah pengumuman dikeluarkan seorang anggota terkemuka Partai Sosialis yang mengatakan bahwa pemimpin partainya disandera di dalam gedung parlemen. Massa penentang NATO pun berubah menjadi beringas. Batu-batu dan telur dilempari massa penentang NATO hingga memecahkan kaca jendela dan hampir mengenai presiden parlemen. Polisi terpaksa menggunakan tongkat plastik dan gas air mata –yang baru pertama kali digunakan di Islandia dan baru digunakan lagi pada pengamanan demonstrasi Januari 2009– untuk mengatasi keadaan.

Baca juga: Ikan Pemicu Perang

Kondisi tersebut tak menghentikan sidang di dalam gedung. Parlemen akhirnya memutuskan Islandia bergabung dengan NATO kendati kericuhan di luar gedung masih terjadi hingga beberapa jam kemudian.

Kendati demonstrasi itu gagal, ia menjadi “bahan bakar” bagi bergeloranya gerakan anti-NATO di Islandia.

“Kehadiran tentara AS yang sangat militeristik, karena posisi geostrategis utama Islandia, membuat ketegangan tetap tinggi dalam beberapa dekade berikutnya –kadang-kadang memicu mobilisasi yang signifikan,” ungkap buku yang ditulis Donatella Della Porta dan kawan-kawan, Late Neoliberalism and Its Discontents in the Economic Crisis: Comparing Social Movements in teh European Periphery.

Bahkan, jauh setelah Perang Dingin usai, para pendukung anti-NATO tetap eksis di Islandia. Dalam demonstrasi Januari 2009 sehubungan dengan ambruknya ekonomi Islandia, beberapa aktivis tua anti-NATO melibatkan diri.

"Gerakan anti-NATO belum dilupakan, tetapi semakin kuat selama mobilisasi. Anda akan melihat orang-orang muda bergabung dalam demonstrasi, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah tindakan terkuat yang pernah Anda lihat selama bertahun-tahun. Karena mereka melibatkan lebih banyak orang, orang-orang yang lebih muda. Anda akan melihat nenek-nenek ini, para perempuan tua ini, memprotes –begitu saya melihat sekelompok dari mereka mengenakan topeng di wajah mereka– seperti topeng para anarkis, tiba-tiba bahkan yang lebih tua pun mengenakan syal dan topeng,” kata salah seorang demonstran, dikutip Donatella dan kawan-kawan.

TAG

perang dingin

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971