“Hei, koran!” teriak seorang lelaki penumpang dari tempat duduknya kepada Retna Wiyana, pramugari pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Palembang. Retna agak kaget. Semula dia dan dua pramugari lain dalam pesawat, Lydia Pangestu dan Deliyanti, asyik membincang tampang lelaki yang masuk pesawat bersama empat kawannya.
“Kayaknya penumpangnya norak-norak gitu, kok!” kata Retna dalam Aktuil, 18-31 Oktober 1982. Tampang anti-baca, pikir mereka tadinya. Tapi dugaan mereka meleset. Maka Retna gegas menghampiri lelaki penumpang tadi dan memberinya koran yang disediakan maskapai untuk bahan bacaan para penumpang selama penerbangan.
Retna kembali ke tempat duduknya. Pesawat lepas landas menuju Medan. Belum jauh pesawat lepas landas, lelaki penumpang yang meminta koran tadi berdiri dan berteriak. Empat temannya berlaku serupa. Beberapa memegang pistol, lainnya menggenggam granat. Pesawat jurusan Jakarta-Palembang-Medan itu dibajak pada Sabtu, 28 Maret 1981. Inilah pembajakan ketiga dalam sejarah dirgantara Indonesia.
Kompas, 31 Maret 1981, menyebut dua pembajakan sebelum Woyla ini. Kali pertama terjadi di pesawat milik Merpati Nusantara Airlines pada 4 April 1972. Seorang pembajak membawa granat dan mengancam meledakkan pesawat. Pembajak itu gagal memperoleh tuntutannya. Dia mati tertembak oleh pilot.
Pembajakan kedua berlangsung di pesawat milik Garuda pada 5 September 1977. Pembajaknya hanya seorang diri dan berbekal badik. Tapi dia sempat sandera pramugari beberapa lama. Pilot pesawat berhasil menghentikan aksi pembajak itu, sekaligus menyelamatkan nyawa pramugari.
Tapi yang terjadi dalam pembajakan 28 Maret 1981 jauh berbeda dari pembajakan sebelumnya. Pembajakan kali ini bergerombol. Lebih rapi dan penuh persiapan.
Para pembajak membelokkan tujuan pesawat, dari Medan ke Libya. “Kamu semua harus saya bawa ke Libya. Di sana baru kamu bisa lihat kesengsaraan manusia. Kalau di sini kalian masih mampu bermanja-manja dan hidup enak,” kata Mahrizal, pemimpin para pembajak. Libia saat itu karib dengan peperangan dan penderitaan. Tempat yang jauh dari hidup enak.
Retna gemetaran. Telapak kakinya berkeringat dingin. Dia menunjukkan gelagat kalut. Seorang pembajak menuju ke arahnya dan menyepaknya. Dia refleks berucap, “Allahuakbar, Allahuakbar.” Tapi dia malah dapat hardikan dari pembajak. “Kami juga Islam!”
Lydia coba membela Retna. “Kok galak-galak amat sih. Kita kan cuma cewek-cewek!” Pembajak tak senang dengan ucapan Lydia. Giliran Lydia kena semprot. “Yah, tapi justru nanti cewek-cewek yang rusak acara!” balas pembajak. Khawatir bikin berang pembajak, Lydia memilih diam. Di sudut lain, Deliyanti kelihatan takut, gugup, dan juga diam.
Retna, Lydia, dan Deliyanti mengaku tak pernah beroleh materi untuk menghadapi pembajakan pesawat selama masa pendidikan pramugari. Mereka cuma bisa memikirkan hal buruk tentang diri, awak, dan penumpang pesawat ketika pembajakan baru masuk babak awal. Apalagi sebagian besar pembajak bersikap kasar dan mengancam meledakkan pesawat. “Masih adakah harapan untuk hidup?” batin Retna.
Tapi Retna, Lydia, dan Deliyanti enggan berada dalam kungkungan pikiran buruk dan rasa takut terus. Mereka berupaya lepas dari keadaan itu dengan beberapa cara. Retna sembahyang dalam hati. Seluruh perasaannya tercurah ke Tuhan. Deliyanti ambil sikap pasrah. Dia percayakan semua kepada Tuhan. Lydia pun tak jauh beda.
Untuk mencapai Libya, pembajak menyusun rute: Penang (Malaysia)-Bangkok (Thailand)-Colombo (Srilanka)-Libya. Mereka mengisi bahan bakar pesawat, meminta peta perjalanan, dan memperoleh bekal logistik di Penang. Mereka juga menuntut beberapa hal ke pemerintah Indonesia.
“Untuk membebaskan 80 orang tahanan yang terdiri atas tahanan yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki (Bandung) oleh gerombolan bersenjata pada tanggal 11 Maret 1981, tahanan yang terlibat dalam teror Warman di Raja Polah 22 Agustus 1980 dan tahanan yang terlibat dalam teror Komando Jihad 1977/1978,” tulis Pelita, 1 April 1981. Selain itu, mereka minta pemerintah Indonesia sediakan uang sebanyak 1,5 juta dolar Amerika Serikat.
Pembajak menyuruh Herman Rante, pilot, dan Hedhy Juantoro, kopilot, terbang lagi setelah beberapa tuntutan mereka kabul. Antara lain bahan bakar dan bekal logistik untuk ke Bangkok.
Retna, Lydia, dan Deliyanti mulai mampu memupus ketakutan dan menghapus pikiran buruk selepas di Penang, Malaysia. Deli yang berdarah Medan bahkan sudah berani menyindir Mahrizal yang logatnya Medan kental. “Payah pula Abang kita ini. Yang dibajak sama-sama sekampung pula,” kata Deli dalam Aktuil, 18-31 Oktober 1982. Mahrizal cuma senyum mendengarnya.
Ketegangan agak cair. Para pramugari dan pembajak mulai saling kenal. Pramugari mengenali nama-nama pembajak selain Mahrizal: Wendy, Abu Sofyan, Zulfikar, dan Abdullah. Pramugari memperhatikan rupa-rupa pembajak lebih saksama. Kelimanya mempunyai kesamaan pada kening, sama-sama punya lingkaran hitam.
Mahrizal agaknya sempat jatuh hati kepada Deliyanti. Lydia bersaksi Mahrizal melirik dan mengajak ngobrol Deliyanti cukup lama, sedangkan Zulfikar kelihatan terpikat dengan seorang perempuan penumpang yang berpakaian cukup terbuka. Padahal sebelumnya dia memarahi Lydia lantaran berpakaian lengan pendek. “Pakaian porno. Babu Garuda!”
Kemudian pesawat mendarat di bandara Bangkok. Pembajak bernegosiasi dengan wakil pemerintah Indonesia yang berada di menara bandara. Pemerintah Indonesia menyatakan tak bisa memenuhi semua tuntutan pembajak. Kesannya malah balik mengancam pembajak. Karuan ketegangan memadat lagi.
“Rupanya pemerintah kalian sudah merelakan pesawat ini untuk diledakkan,” kata seorang pembajak. Herman Rante, pilot, pun geram. “Kita ini dianggap apa sih sama mereka (pemerintah Indonesia, red.)?” Deli memperingatkan orang-orang di menara. “Jangan macam-macam deh! Turutin apa mau mereka!”
Pesawat berhenti lama di bandara Bangkok. Negosiasi masih alot. Tak ada kata sepakat. Ancaman peledakan mengemuka lagi. Pendingin udara pesawat mati. Penumpang kepanasan. Seorang di antaranya minta diri untuk salat. Tapi pembajak justru membentaknya. “Kalau kamu sudah mau dimatiin, baru ingat sembahyang, ya?”
Lydia berikhtiar mencairkan ketegangan. “Bang Rizal (Mahrizal, red.)! Pesanin aja deh ice cream. Enak nih minum ice dalam keadaan gerah begini. Ayo, pesanin deh. Mumpung gratis!”
Malam tiba di Bangkok. Negosiasi hampir mencapai kata sepakat. Esok pagi sejumlah tuntutan pembajak dipenuhi pemerintah Indonesia. Para pembajak kegirangan. Pengawasan mereka mulai kendor. Mereka taruh pistol sembarangan saja. Lydia sempat kepikiran mengambil pistol. Tapi pelurunya hanya enam, sedangkan posisi pembajak terpencar. Dia urungkan niat itu.
Gagal dengan pistol, Lydia masih ada niat lain untuk membekuk para pembajak. Caranya dengan membius pakai obat tidur. Dia rundingkan niat itu bersama Deli.
Jawaban Deli, “Kalau untuk keselamatan kita, nggak usah pakai melawan. Toh, ada kesempatan untuk kabur. Tapi yang kita pikirkan untuk keselamatan bersama.” Lydia urungkan lagi niatnya melawan pembajak. Mereka memilih menunggu hingga akhirnya tidur pulas bersama penumpang lain.
Tengah malam di bandara Bangkok. Suara tembakan membangunkan pramugari dan penumpang. Pasukan Komando Sandi Yudha (Kopassandha) menyerang pembajak. Lima pembajak roboh. Nyawanya melayang semua. Herman Rante juga tertembak, tapi nyawanya tetap tinggal.
Dalam tiga menit, pasukan Kopassandha berhasil merobohkan para pembajak. Para pramugari dan penumpang selamat. Mereka segera bertemu keluarga. Kecuali Herman Rante. Sebab beberapa hari kemudian dia meninggal dunia.
Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin menyatakan keberhasilan penyelamatan pesawat Woyla berkat andil dari awak pesawat juga. “Presiden sangat terharu terhadap keberanian awak Garuda yang sangat membantu keberhasilan pasukan antiteroris Indonesia membebaskan lebih dari 48 sandera di dalamnya,” kata Roesmin dalam Pelita, 6 April 1981.
Seorang penumpang berkata dalam Sinar Harapan, 5 April 1981, bahwa "Pramugari-pramugari pesawat tersebut cukup berperan melemahkan emosi para pembajak sehingga tidak buas terhadap penumpang."
Meski selamat dari maut, para pramugari mengaku trauma. “Saya sebetulnya sudah nggak mau mengungkit-ungkit itu lagi. Mental saya bisa terganggu,” kata Retna. Tapi keduanya tetap menyambung kerja sebagai pramugari, sedangkan Lydia berhenti dari pekerjaannya setelah mengambil libur beberapa lama untuk pulihkan mentalnya.
Biar telah berbeda jalan, ketiganya meninggalkan jejak yang sama. Keberanian dan ketenangan menghadapi situasi sulit.
Baca juga:
Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Awal Profesi Pramugari di Indonesia
Pramugari yang Menolak Cinta Sukarno