Masuk Daftar
My Getplus

"Petualangan" Menteri Susanto Tirtoprojo dan Supeno

Agresi militer membuat Menteri Susanto dan Supeno "bertualang" ke pedalaman Jawa hingga kaki Gunung Wilis. Persahabatan kedua menteri itu berakhir oleh serangan Belanda.

Oleh: M.F. Mukthi | 28 Apr 2021
Ilustrasi (Betaria Sarulina/Historia)

Setelah berjalan dari Jawa Tengah melewati berbagai rintangan, rombongan kecil Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprojo dan Menteri Pembangunan dan Urusan Pemuda Supeno akhirnya mencapai Desa Ganter di kaki Gunung Wilis yang masuk wilayah Nganjuk, Jawa Timur. Mereka menginap dua malam di rumah kamituwa, lalu pindah karena tak betah sebab pak kamituwa amat pelit. Mereka kemudian menumpang di rumah penduduk miskin bernama Krama-Dul.

Di rumah kecil dan terpencil itulah kedua menteri mendapat kenyamanan. Kendati sesaat, mereka bisa menikmati istirahat dan “kedamaian” di tengah pelarian menghindari penangkapan pasukan Belanda. Namun di sana pula mereka akhirnya harus berpisah.

Pelarian Susanto-Supeno dimulai setelah pasukan Belanda menduduki ibukota RI Yogyakarta dalam Agresi Militer II. Di Solo, keduanya bersama Menteri Kemakmuran IJ Kasimo, Mendagri dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto, residen Surakarta, dan walikota Solo rapat menentukan kelanjutan pemerintahan. Kendati rapat memutuskan keempat menteri mengambil-over dan membagi rata pekerjaan kabinet, keputusan belum sempat dijalankan karena pasukan Belanda keburu mendekati Solo. Dari sana mereka menyingkir ke Tawangmangu pada 20 Desember 1948.

Advertising
Advertising

Mereka berempat sempat membentuk pemerintah darurat selaku wakil pemerintah pusat. Pemerintah darurat itu kemudian digabungkan ke dalam pemerintah darurat pimpinan Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi.

“Di Pulau Jawa ada Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa (KPPD) yang terdiri dari menteri-menteri yang berada di luar daerah-daerah yang diduduki Belanda. Mereka itu Menteri Kasimo, Menteri Susanto Tirtoprodjo, Menteri Supeno, Menteri K.H Maskur,” tulis Tim Wartawan Kompas dalam I.J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya.

Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda

Namun karena pasukan Belanda telah mendekati Tawangmangu, semua yang direncanakan batal dilaksanakan. Rombongan tergesa-gesa melarikan diri sehingga tercerai-berai. Susanto berada satu rombongan dengan Supeno. Dari Tawangmangu, “petualangan” keduanya dimulai, ke arah timur hingga memasuki wilayah Magetan.

Di Dukuh Putih, Desa Wayang, Ponorogo, keduanya didatangi utusan Pangsar Jenderal Sudirman yang memberitahu bahwa sang jenderal saat itu beristirahat di Banyutuwo, tak jauh dari Wayang. Kedua menteri pun bergegas ke tempat persembunyian Jenderal Sudirman.

“Sang Panglima berkata perlahan, (tentang) apa yang telah dialaminya, (yaitu) waktu Yogya, Ibukota (R.I) diserang, Kabinet telah memutuskan, untuk pindah ke Sumatera, (ke sanalah) Pemerintah Pusat pindahnya. Para menteri yang tak tertangkap Belanda agar diakui, oleh Pemerintah Darurat, menjadi bagiannya, (dalam) memegang pimpinan Negara,” kata Sudirman sebagaimana dikutip Susanto dalam memoar-tembangnya yang berjudul Nayaka Lelana: Pengalaman Kelana-Gerilya Waktu Aksi Militer Belanda II.

Baca juga: Soedirman, Guru Kecil Jadi Panglima Besar

Beberapa hari usai bertemu dengan Sudirman, Susanto-Supeno didatangi utusan Mendagri dr. Sukiman. Utusan itu mengabarkan Menteri Sukiman dan Menteri Kasimo beristirahat di Desa Ngrambe, Ngawi. Kabar kedua menteri itu baru diketahui lagi oleh Susanto-Sukiman sejak mereka terpisah di Tawangmangu.

Di sela-sela pelarian itu, Supeno tetap menyempatkan diri menyelesaikan tugasnya. Di Desa Serak, Ponorogo, Jawa Timur, dia mencicil pekerjaan bidang penerangan, dengan menerbitkan Majalah Berita Negara. Supeno mempercayakan pimpinan majalah kepada Ananta, rekannya asal Bugis yang ahli sastra dan penggemar sandiwara. “Ia (Ananta, red.) dibantu oleh berbagai-bagai tenaga, semuanya giat bekerja, dengan sukarela,” ujar. Susanto.

Begitu pekerjaan selesai, mereka kembali melanjutkan perjalanan dan sampai di Desa Wayang. Di desa itu, ketika mereka semua terlelap kelelahan di rumah kamituwa pada suatu malam, dua orang tak dikenal terdengar mendatangi rumah. Ketika disapa, mereka lari. Dua tamu tak dikenal itu diyakini sebagai mata-mata Belanda.

“Tak urung (tempat kami) diketahui musuh, karenanya lalu segera pindah, ke rumah yang (letaknya) lebih tinggi, yaitu rumah mandor hutan (bernama) Singokarso,” sambung Susanto.

Baca juga: Tembang Gerilya Seorang Menteri Negara

Namun sesaat di rumah mandor Singokarso, rombongan Susanto-Supeno dikejutkan suara tembakan bertubi-tubi. Rombongan pun segera menyingkir meski oleh tuan rumah diminta tinggal untuk waktu lebih lama. Mereka berjalan menuju daerah bukit dengan jalan terjal. Dalam menyusuri jalur terjal itu, anggota rombongan bernama Hadi sampai jatuh terguling akibat sulitnya medan. Susanto sendiri mesti dituntun seperti manula.

Tengah malamnya, mereka sampai di Dukuh Claket dan menginap semalam. Mereka kembali berjalan hingga mencapai Desa Nguncup, lalu melanjutkan perjalanan melalui hutan. Di sana mereka bertemu rombongan bupati Ponorogo dan diberitahu agar segera meninggalkan Nguncup. Pasalnya, penduduk Nguncup tak mengakui aparat pemerintah Republik Indonesia. Susanto-Supeno terpaksa kembali berjalan. Sempat bermalam di Sedayu karena kelelahan, mereka kembali berjalan karena pasukan Belanda sudah dekat. Perjalanan berat terus mereka lakukan hingga akhirnya sampai di Desa Sawahan di kaki Gunung Wilis yang masuk wilayah Nganjuk.

“Desa Sawahan tinggal beberapa menteri Kabinet, antara lain Pak Soepeno – Menteri Pembangunan dan Pemuda, serta Mr. Soesanto Tirtoprodjo – Menteri Kehakiman,” tulis Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, dalam Bung Tomo Suamiku.

Desa Sawahan bersebelahan dengan Desa Dodol tempat Bung Tomo dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) bermarkas. Di dekat situ pula Kolonel Sungkono memilih tempat untuk dijadikan markas Divisi I/Jawa Timur yang dipimpinnya. Karena kedekatan itu, koordinasi menjadi lebih mudah dilakukan.

“Sudah ada persetujuan dengan Pak Soengkono –Gubernur Militer Jawa Timur– bahwa Bung Tomo mengkoordinir berita-berita dan suara-suara baik dari kalangan militer maupun pemerintah pusat, sehingga memudahkan siasat bersama. Apalagi di daerah itu ada dr. Moerdani dan Bapak Doel Arnowo tokoh pimpinan Jawa Timur,” sambung Sulistina.

Baca juga: Jadi Perintis Jalan, Bung Tomo Jatuh ke Jurang

Namun karena serangan Belanda akhirnya mencapai wilayah tersebut, mereka akhirnya kembali menyingkir dan terpisah. Rombongan Susanto-Supeno akhirnya mencapai Desa Ganter pada Februari 1949. Di rumah penduduk miskin, mereka tinggal selama beberapa hari dan bisa sesaat “istirahat”. Supeno memiliki kebiasaan mandi pagi ke pancuran dekat desa saat langit masih gelap.

Pada Kamis pagi, 24 Februari 1949, Supeno ditemani Samodro pergi ke pancuran. Saat itu Susanto tetap tinggal di rumah. Dari dalam rumah itulah Susanto dikejutkan suara tembakan di luar.

“Kami mengintip tampak dari dalam rumah. Pak Supeno berjalan, digiring Belanda, gagah tegak jalannya, tidak dengan menoleh. Adapun Samodro, sudah tak diketemukan lagi,” kata Susanto.

Susanto tak bisa menolong sahabatnya itu karena akan mendapatkan perlakuan sama bila ketahuan musuh.

“Tak lama kemudia terdengar dari kejauhan, bertubi-tubi suara senapan,” kata Susanto.

Begitu yakin pasukan Belanda telah pergi, Susanto segera mengirim Kusni ke tempat asal suara senapan. Dari Kusnilah Susanto mendapat kabar bahwa Supeno telah gugur. Lantaran tak percaya, Susanto kembali mengirim orang, Mahrup dan Marjo, untuk memastikan kebenaran berita dari Kusni. Berita yang diterimanya tetap sama.

“(Mereka) berkata memang benar, bahwa Pak Peno sudah wafat, (karena) ditembak pelipis-kirinya. Semuanya, tujuh orang yang dibunuh,” sambung Susanto.

Airmata kesedihan Susanto dan anak buahnya pun mengalir deras. Semua merasa kehilangan sahabat karib, tokoh sekaligus pemimpin enerjik itu. Mereka semua “berhutang budi” pada mendiang Supeno.

“Pada waktu itu pakaian Pak Peno serba hitam semua, kumisnya panjang janggutnya lebat sekali, (karena) sudah lama tak dicukurnya. (Rupanya) musuh mengira, menemukan warok. Pak Peno (tentulah) tak berterus terang, bahwa (beliau) berkedudukan menteri, sebab bilamana berterus terang, semua kawan (niscaya) ditangkap semua. Waktu itu Pak Peno sengaja berkorban, (sebagai) pahlawan yang sungguh luhur, rela mengorbankan jiwanya, agar kawannya selamat."

TAG

susanto tirtoprojo supeno agresi militer belanda

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kibuli Raden Paku