MASYARAKAT dibuat heboh setelah foto lima orang warga NU bertemu dengan Presiden Israel Isaac Herzog muncul di media sosial dan menjadi berita berbagai media. Pertemuan yang berlangsung di Israel itu menuai kecaman dari berbagai pihak, tak terkecuali dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Mengutip laman nu.or.id, Savic Ali, ketua PBNU bidang media, IT, dan advokasi, menyayangkan terjadinya pertemuan itu. Ia menilai kunjungan tersebut sebagai tindakan orang yang tak memahami geopolitik, tak mengerti kebijakan NU secara organisasi, serta perasaan seluruh warga NU. Pasalnya, Israel kini tengah menjadi sorotan dunia dan mendapat kecaman keras dari banyak pihak atas aksinya melakukan agresi terhadap rakyat Palestina.
Savic menegaskan, pertemuan lima orang Nahdliyin dengan Presiden Israel Isaac Herzog itu tidak atas nama organisasi. “Meski kunjungan itu mengatasnamakan pribadi, mereka dikenal sebagai warga dan bahkan aktivis NU. Hal itu akan memperburuk citra NU di mata publik,” kata Savic.
Baca juga: NU Dulu Lisensi, Kini Konsesi
PBNU akan memanggil kelima aktivis NU itu. Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf juga mengungkapkan pihaknya juga akan memanggil pimpinan lembaga atau badan otonom (banom) dari lima orang tersebut. Pemanggilan ini untuk meminta keterangan terkait latar belakang kunjungan ke Israel.
Bukan kali ini saja masyarakat dibuat gempar oleh peristiwa kunjungan ke Israel. Pada 1994, keputusan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menerima undangan untuk berkunjung ke Israel memicu kontroversi. Kala itu, Gus Dur yang menjabat ketua umum PBNU, setuju menyaksikan perjanjian perdamaian baru Israel dengan Yordania yang dilangsungkan pada Oktober 1994.
Menurut Greg Barton dalam biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, setelah berkunjung ke Yerusalem dan berkeliling Israel, dengan ditemani oleh Djohan Effendi, “Gus Dur pulang ke tanah air dan merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia agar menyelidiki kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.”
Djohan Effendi, sekutu dan teman dekat Gus Dur, adalah staf khusus Menteri Sekretaris Negara dan penulis pidato Presiden Soeharto (1978–1995). Ketika Gus Dur menjadi presiden, ia diangkat menjadi Menteri Sekretaris Negara.
Baca juga: Gus Dur dan Keberagaman
Kunjungan Gus Dur ke Israel mendapat kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Kecaman tidak hanya dari kaum Islamis konservatif, tetapi juga dari tokoh-tokoh NU, seperti Idham Chalid dan Yusuf Hasyim.
“Sebelum Gus Dur menjadi ketua PBNU dalam tahun 1984, ia telah dianggap banyak pihak sebagai seorang yang bersikap liberal secara berlebihan dan kurang perhatian dalam membela Islam. Bagi mereka yang mengkritiknya, kegiatannya sejak menjadi ketua umum PBNU hanya membuktikan bahwa kecurigaan awal mereka mengenai Gus Dur memang beralasan,” tulis Barton.
Kritik dan kecaman yang diarahkan kepada Gus Dur karena berkunjung ke Israel sampai memunculkan sebutan Agen Zionis. Hal ini disampaikan Gus Dur saat memaparkan laporan pertanggungjawaban pada Sidang Pleno V Muktamar ke-29 NU di Cipasung, Jawa Barat, pada November 1994.
Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur
Dalam Dinamika NU: Perjalanan Sosial dari Muktamar Cipasung (1994) ke Muktamar Kediri (1999) disebutkan, selain menyampaikan pertanggungjawaban, Gus Dur juga menyertakan “catatan pribadi” soal kunjungannya ke Israel. Gus Dur mengatakan, keputusannya menerima undangan berkunjung ke Israel dilakukan semata-mata untuk mewujudkan perdamaian.
“Ada banyak cara berjuang untuk Palestina. Ada cara Yasser Arafat, ada juga cara Hamas. Saya pilih cara Yasser Arafat,” kata Gus Dur. “Kedua cara itu efektif. Buktinya, Israel bersedia berunding atas desakan Hamas. Sebaliknya, guna mendukung langkah Hamas juga perlu kemampuan diplomatis seperti yang dilakukan Arafat. Semua pihak mestinya menyadari, mereka harus mau belajar dan bergaul dari yang lain. Dan ini sejak lama dilakukan, termasuk yang tertuang dalam Konstitusi Madinah,” tambahnya.
Melalui penjelasan “catatan pribadi” itu, Gus Dur berharap agar istilah Agen Zionis tak usah disebut-sebut lagi di NU. Terlebih, Gus Dur mengatakan, “kunjungan ke Israel itu tidak ada sangkut paut dengan NU, karena itu urusan pribadi.” Kendati demikian, Gus Dur menyatakan, dirinya terbuka dengan kritik-kritik yang diarahkan kepadanya. “Saya terima dengan tangan terbuka. Hal ini tentu akan memacu perbaikan bagi diri saya,” katanya.
Baca juga: Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri
Meski begitu, kritik masih terus diarahkan kepada Gus Dur. Terlebih dalam Muktamar ke-29 NU, Gus Dur kembali terpilih menjadi ketua umum PBNU. Salah satu kritik datang dari KH Chalid Mawardi yang bersaing dengan Gus Dur dalam pemilihan ketua umum PBNU (1994–1999) dalam Muktamar NU di Cipasung.
Mantan ketua PBNU itu mengatakan, kondisi jam’iyyah NU di masa kepemimpinan Gus Dur mengalami erosi kultural dan semakin memprihatinkan. Ia juga mengkritik sikap Gus Dur yang pernah menyatakan agar pemerintah Indonesia memikirkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
“Hampir tidak bisa dipercaya seorang ketua PBNU melakukan hal-hal yang membuat kita terkejut berkali-kali. Kalau itu dilakukan dalam kapasitas pribadi, lalu mengapa PWNU Jawa Timur habis-habisan membelanya,” kata Chalid yang pernah menjabat ketua umum GP Ansor.
Kendati mendapat kritik dari tokoh-tokoh NU dan banyak temannya juga memandang kunjungan Gus Dur ke Israel sebagai tindakan yang ceroboh, “Gus Dur tampaknya sama sekali mengabaikan kritik-kritik itu,” tulis Barton. Bahkan, “sejumlah teman dan pengagumnya memuji keberaniannya.”*