PETER Carey barangkali satu-satunya indonesianis yang totalitas meneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. Karya monumentalnya Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011) menjadi rujukan otoritatif bagi siapa saja yang ingin mengetahui sosok paling epik dalam Perang Jawa itu. Siapa nyana, persinggungan Peter Carey dengan Diponegoro justru hanya berawal dari sekilas pandang. Tak pernah terpikirkan sebelumnya.
“Saya terpana oleh sosok Diponegoro yang agak misterius. Saya ingin mendalami sosok itu sebab saya tak bisa lihat wajahnya,” kata Peter Carey kepada Historia di sela-sela acara peluncuran buku Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, 30 Januari 2019.
Baca juga: Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro
Bermula dari sketsa Diponegoro karya Mayor Francois de Stuers yang termuat dalam bab tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf mengenai Perang Jawa. Sketsa itulah yang disaksikan Peter sekira tahun 1969 saat menempuh studi doktoral kajian Asia Tenggara di Cornell University. Terinsipirasi dengan cara demikian, Peter lantas menjatuhkan pilihan untuk meneliti riwayat hidup Diponegoro sebagai topik disertasinya. Sayang, profesornya di Cornell kurang mengapresiasi.
Peter menyadari, saat itu buku dan litaratur mengenai Diponegoro begitu terbatas. Namun bagi Peter, semacam ada panggilan untuk menelusuri lebih lanjut sisi historis sang pangeran. Dia berkelakar, Diponegoro akan lebih menyukai orang Inggris sebagai penulis biografinya ketimbang orang Belanda.
Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
Keputusan itu membawa Peter kepada petualangan menjejaki memori tentang Diponegoro. Pada 1970, Peter memulai proses pencarian sumber-sumber sejarah. Mulai dari merambah arsip-arsip berbahasa Belanda di Leiden, Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, kitab-kitab babad di perpustakaan Keraton Yogya, hingga napak tilas ke tempat-tempat yang pernah dilalui Diponegoro tatkala menggelorakan perang melawan Belanda. Tak heran bila Peter jadi bule yang mahir berbahasa Jawa dan memahami budayanya.
“Hidup seperti masuk ke laut yang dangkal. Kita masuk tapi kita tidak sadar bawah itu akan betul-betul dalam sekali. Tiba-tiba kita sudah masuk tanpa direncanakan. Itu yang saya katakan sebagai panggilan,” ujar Peter.
Menyinari Historiografi
Pada 1975, Peter Carey merampungkan disertasinya di Oxford University, Inggris. Disertasi itu diberi judul “Pangeran Dipanegara and the Making of the Java War, 1825-30 (Pangeran Diponegoro dan Asal-usul Perang Jawa, 1825-30)” setebal dua jilid. Jilid pertama membahas sejarah Yogya antara 1792-1825. Jilid kedua berupa teks dan terjemahan dalam bahasa Inggris dari Babad Dipanegara versi Surakarta yang kemungkinan ditulis pada awal Perang Jawa. Seorang penguji (informal) Merle Calvin Ricklefs, mengatakan disertasi itu bisa menjadi kajian yang paling penting dalam sejarah modern Indonesia.
Baca juga: Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro
Tiga dekade lebih berselang, disertasi Peter akhirnya diterbitkan oleh KITLV. Buku itu diberi judul The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (2007), (versi Indonesia: Kuasa Ramalan). Tebalnya hampir seribu halaman.
“Buku itu segera diakui sebagai karya agung yang luar biasa. Sebuah kontribusi kepada pengertian kita mengenai sejarah Indonesia yang amat penting,” tulis Ricklefs dalam prakata Urib iku Urub.
Takzim yang senada juga disampaikan cendekiawan politik, Daniel Dhakidae. Menurut Daniel, Peter adalah sejarawan yang melibatkan dirinya dalam konteks sosial kultural dari objek yang ditelitinya. Dalam hal ini adalah Diponegoro. Karya dedikatif Peter Carey ini memberikan sumbangan penting dalam historiografi Indonesia. Dia membuat sejarah itu hidup dan relevan; mengangkat sejarah itu menjadi politik masa kini.
Baca juga: Benda-Benda Peninggalan Pangeran Diponegoro
“(Peter) menghidupkan tokohnya itu dan bertutur mengajak orang tour dari suatu tempat ke tempat lain yang pernah dilewati Pangeran Diponegoro. Memperkenalkan relik, seperti keris dan perlengkapan perang yang berhubungan dengan sang pangeran. Mengajak anak-anak muda untuk berdialog dengan tokoh itu. Itu tentu saja sesuatu yang baru dalam tradisi akademik di Indonesia,”kata Daniel Dhakidae.
Sebagai sejarawan, Peter tak hanya merekam peristiwa masa lalu yang dia kaji secara tekstual. Tapi dia juga membumikan karyanya sedekat mungkin kepada publik. Penelitiannya mengenai Diponegoro dan Perang Jawa bahkan telah diadaptasi menjadi pertunjukan drama hingga film pendek.*