Masuk Daftar
My Getplus

Persepsi China tentang Korea Utara

China mulai mempertanyakan aliansinya dengan Korea Utara.

Oleh: Devi Fitria | 22 Des 2010

NOVEMBER lalu, di tengah perseteruan Korea Utara dan Selatan, Wikileaks membocorkan pandangan pemerintah China terhadap Korea Utara (Korut), yang sejak Perang Dingin menjadi sekutunya. Wikileaks adalah situs nirlaba yang kerap mempublikasikan dokumen rahasia pemerintahan di seluruh dunia.

Bocoran terbaru itu mengungkapkan bagaimana pemerintah China makin frustasi melihat langkah Korut dalam menghadapi perseteruannya dengan Korea Selatan (Korsel).

“Pyongyang berkelakuan seperti anak kecil yang manja ketika mereka mencoba mendapatkan perhatian Washington dengan mengadakan ujicoba nuklir April 2009,” ujar He Yafei, wakil menteri luar negeri China, dalam salah satu dokumen yang merupakan kawat diplomatik rahasia Amerika Serikat, sebagaimana dikutip BBC.

Advertising
Advertising

Kawat yang sama juga mengutip pandangan salah seorang duta besar China yang memperingatkan bahwa aktivitas nuklir Korut merupakan ancaman bagi keamanan dunia. Sementara Wakil Menteri Luar Negeri Korsel Chun Yung-woo menyampaikan hasil percakapannya dengan dua pejabat senior China kepada Duta Besar Amerika Kathleen Stephens, yang mengatakan bahwa mereka percaya Korea seharusnya dipersatukan kembali di bawah kendali Korsel. Selain itu, para anggota Partai Komunis China tak lagi memandang Korut sebagai sekutu berharga. “Kedua pejabat itu mengatakan bahwa China siap menghadapi kenyataan bahwa Korut kini punya nilai amat kecil bagi China sebagai sebuah negara pemisah (buffer state),” ujar Chun.

Saat ini Korut tengah menghadapi keruntuhan ekonomi. Menurut Chun, dua atau tiga tahun setelah kematian Kim Jong-Il, Korut akan mengalami keruntuhan politik –meski Kim Jong-Il telah meminta bantuan kepada China serta mempersiapkan putranya sebagai penggantinya.

Pandangan itu berubah jauh dari pandangan China saat menjadikan Korut sebagai sekutunya saat Perang Korea, dan kemudian Perang Dingin, tahun 1950-an.

Dalam bukunya China and North Korea: From Comrades-in-Arms to Allies at Arm’s Length, Andrew Scobell menjabarkan dasar-dasar kerjasama kedua negara. Beijing dan Pyongyang punya sejarah kerjasama militer yang sudah berusia lebih dari setengah abad. Dari sisi geopolitis, Semenanjung Korea berbatasan sekitar 850 mil dari China, sehingga Korut menjadi sebuah negara pembatas (buffer state) yang penting bagi China. Saat ini Korut adalah pembatas terakhir China dengan Korsel, tempat sekitar 29.000 personil militer Amerika ditempatkan.

Di masa lalu, Korea adalah titik masuk yang dipilih tentara kekaisaan Jepang untuk menginvasi China daratan pada awal abad ke-20. Korea pula yang jadi gerbang masuk pasukan Jenderal Douglas MacArthur saat Amerika memutuskan melakukan intervensi dalam Perang Korea pada 1950-an dan membantu Korea Selatan.

Saat itu Korea Utara berada di ambang kekalahan. Tapi posisinya yang penting membuat Mao Zedong memutuskan untuk mengirimkan bantuan ratusan ribu pasukan sukarela. Perang Korea berakhir dengan penandatanganan gencatan senjata antara kedua Korea pada 1953. Pada Juli 1961, persekutuan China-Korut dikukuhkan dengan penandatangan Traktat Persahabatan, Kerjasama, dan Bantuan Imbal-Balik (Treaty of Friendship, Cooperation and Mutual Assistance). Isinya antara lain saling memberikan bantuan militer apabila salah satu dari kedua negara diserang, menghormati dan tak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, serta melakukan kerjasama bidang ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Kesamaan ideologis adalah hal lain yang membuat China mendukung Korut. Saat Soviet runtuh pada akhir 1980-an, Beijing melihat Pyongyang sebagai satu-satunya “rekan ideologisnya” yang masih tersisa. Menurut Scobell, ini terkait erat dengan legitimasi politis rezim komunis China; makin banyak rezim komunis terguling berarti makin sulit pula bagi yang masih ada untuk mengukuhkan legitimasinya.

Selain itu, menurut Scobell, kedua negara juga punya ambiguitas yang sama dalam memandang hubungan mereka dengan Amerika. Keduanya menganggap Amerika berada di pihak lawan. Namun, di sisi lain, China maupun Korut menginginkan hubungan yang lebih baik dengan AS. China ingin mendapatkan akses dalam sistem ekonomi internasional, sementara Korut berkepentingan mengurangi tekanan militer AS sekaligus (jika bisa) memutuskan persekutuan Amerika dengan Korsel. Maka tak ada pilihan lain bagi China selain memberikan dukungan kepada Korut.

Secara ekonomi, Korut nyaris bergantung sepenuhnya pada China. Sejak 1990-an, China menyediakan setidaknya tiga perempat dari kebutuhan makanan dan minyak Korut. Menurut Nicholas Eberstadt, seorang konsultan Bank Dunia sebagaimana dikutip Jayshree Bajoria dalam “The China-North Korea Relationship”, yang dimuat situs Council on Foreign Relations, 90 persen kebutuhan energi, 80 persen kebutuhan barang konsumsi, dan 45 persen kebutuhan makanan Korut seluruhnya berasal dari perdagangannya dengan China.

Tapi pandangan Beijing tentang makna hubungan strategisnya dengan Pyongyang perlahan bergeser. Hubungan ini berubah tegang pada 2006 ketika Pyongyang melakukan ujicoba nuklir. China, yang tak mendukung tindakan itu, menyetujui resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memberlakukan sanksi bagi Korut. Menurut Jayshree Bajoria, dengan menandatangani resolusi itu, Beijing mengubah sifat hubungan bilateralnya dengan Pyongyang, dari diplomasi menjadi hukuman.

Hubungan kedua negara kian menegang ketika China menyetujui sanksi yang lebih keras saat Pyongyang melakukan ujicoba nuklir kali kedua pada Mei 2009.

Sebelumnya, pada 2003, untuk kali pertama Beijing memprakarsai pembicaraan enam pihak (six party talk) untuk membahas masalah nuklir Korut yang melibatkan Korut, Korsel, China, Amerika, Rusia, dan Jepang. Padahal sebelumnya China sama sekali tak menunjukkan itikad apapun dalam penyelesaian masalah Korut

Menurut Andrew Scobell, ada tiga alasan utama di balik langkah Beijing. Pertama, serangan Amerika ke Irak. Baik China dan Korea Utara merasakan kebutuhan mendesak untuk memastikan Amerika tak melakukan tindakan serupa pada Semenanjung Korea.

Kedua, China mulai memikirkan ulang konsekuensi senjata nuklir di Korea Utara. Amerika bisa saja bertindak dan menjatuhkan rezim (Kim Jong-Il). Atau sebaliknya, Pyongyang menggunakan senjata nuklir itu untuk mengancam China. Kemungkinan lain, pembangunan fasilitas nuklir Korut dapat menimbulkan efek domino di Asia, yang mendorong negara lain membangun fasilitas serupa.

Ketiga, China mulai mempertimbangkan dampak ekonominya jika ketegangan terus berlanjut di Semenajung Korea. Selain harus mempertimbangkan besarnya dana yang harus dikeluarkan jika ekonomi Korut runtuh, kondisi ini bisa mempengaruhi Korsel yang saat ini memiliki hubungan ekonomi yang terus berkembang dengan China.

Dalam tulisan berjudul “SSI: Projecting Pyongyang-The Future if North Korea’s Kim Jong Il Regime” yang dimuat situs Council of Foreign Relations, Scobell menulis, “Beijing kemungkinan besar akan berhenti membantu Pyongyang dan membiarkan kegagalan Korut apabila mereka percaya bahwa Korea yang bersatu di bawah Seoul lebih menguntungkan bagi Beijing.”

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo