KENDATI tidak menjadi titik persinggahan KRI Dewaruci dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 ini, Kota Banda Aceh merupakan kota penting di Provinsi Aceh. Pusat kotanya masih menyisakan banyak titik bersejarah. Mulai dari Museum Tsunami, masjid raya, Taman Sari Gunongan, hingga makam raja-raja Aceh di dekat rumah dinas gubernur. Termasuk makam raja paling terkenalnya, Sultan Iskandar Muda.
Lada merupakan komoditas dagang Kerajaan Aceh pada abad ke-17. Lada mengundang banyak pedagang asing datang ke Aceh. Tak hanya dari Asia, bahkan juga dari Eropa. Raja Aceh paham nilai ekonomis lada. Dia tak membiarkan pedagang asing membeli lada Aceh dengan harga murah secara langsung dari petani-petaninya.
Raja Aceh tentu berkeras memonopoli lada-lada dari wilayahnya. Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia menyebut monopoli lada membuat sultan Aceh kaya raya. Begitu juga pejabat-pejabat Kerajaan Aceh yang mengurusi perdagangan lada.
Raja sangat dominan dalam perdagangan. Dia bisa memainkan harga lada yang hendak dibeli para pedagang asing, tak terkecuali pedagang Eropa. Sultan Iskandar Muda, yang berkuasa di Aceh dari 1607 hingga 1636, juga terlibat dalam penjualan lada. Dia suka mempermainkan harga.
Iskandar Muda adalah anak dari Raja Indra Bangsa. Ia cucu Sultan Mansyur Syah. Sedari kecil, selain bermain perang-perangan dan membaca Al Quran, Iskandar Muda biasa bermain dengan gajah bernama Indra Jaya dan berburu gajah liar. Menurut Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Jaman Iskandar Muda 1607-1636, ketika muda dia punya beberapa nama: Pencagah, Johan Alam, dan Perkasa Alam. Diperkirakan, dirinya lahir pada 1583 dan naik takhta sebagai sultan Aceh pada 1607.
Iskandar Muda tak sekadar sibuk berbisnis lada, tapi juga berusaha memperkuat diri dan kerajaannya. Dia melakukan apa saja untuk menjadi kuat. Aceh adalah kerajaan yang terbuka pada teknologi. Di zaman Iskandar Muda, orang Aceh sudah mengenal meriam dan sejenisnya sebagai senjata.
“Sementara pihak mengatakan raja punya lima ribu pucuk meriam. Kalau dua ribu, mungkin saja, asalkan dihitung semua bedil berburu, pelempar batu, dan belek kaleng. Kalau meriam, saya merasa pasti, ada barang 1.200 pucuk, semua dari perunggu,” catat Augustin de Beaulieu, perwira Perancis yang berkunjung ke Nusantara, dalam buku Orang Indonesia dan Orang Perancis yang disusun Bernard Dorleans.
Selain meriam, bedil sundut juga banyak dimiliki Kerajaan Aceh. Yang terpenting, Aceh tidak tergantung pada pihak asing untuk amunisinya. Di zaman Iskandar Muda, orang Aceh sudah mampu membuat bubuk mesiu dari belerang. Belerang itu didapat dari daerah di Aceh yang menjadi penghasilnya, salah satunya Pulau Weh.
Sudah barang tentu raja memiliki banyak tentara. Pun dengan hewan dan perangkat pendukungnya.
“Raja dapat dengan mudah mengerahkan 40.000 orang,” catat Beaulieu.
Selain kuda, gajah menjadi kendaraan militer bagi Kerajaan Aceh. Iskandar Muda punya lebih dari 100 gajah. Selain itu, raja memiliki banyak kapal. Setidakya 200 kapal perang yang dimiliki sultan. Di antaranya ada yang bisa memuat 400 orang.
Di zaman Iskandar Muda, angkatan laut Aceh lebih baik daripada di zaman raja-raja sebelumnya. “Orang Aceh tidak lagi menyerahkan tugas polisi di samudera atas nama mereka,” tulis Denys Lombard.
Bajak laut yang tak tunduk pada raja sulit hidup di Aceh. Menurut kesaksian Beaulieu, Aceh paling kuat di laut dibanding tetangga-tetangganya. Kekuatan Aceh di laut dan di darat itu tentu mendukung perdagangan rempah yang menjadi sumber kekayaan Iskandar Muda.
Namun, Iskandar Muda amat berhati-hati dalam hal senjata api. Senjata api tak boleh dipakai orang di luar istana. “Raja membatasi pemakaian bedil di lingkungan istana saja,” catat Beaulieu.
Iskandar Muda sadar bahwa dirinya punya banyak musuh. “Pada waktu Iskandar Muda naik tahta, musuh itu bermacam-macam bentuknya,” catat Denys Lombard.
Tak semata sangat berhati-hati, Iskandar Muda sekaligus paranoid. Raja yang dijaga pengawal wanita itu suatu hari pernah merasa terganggu tidurnya karena suara berisik pengawalnya. Ia kemudian menuduhnya melakukan hal berbahaya dan memberi hukuman berat sebelum akhirnya dibunuh.
Selain memiliki banyak pengawal perempuan, Iskandar Muda punya 1.500 budak yang dilarang keluar istananya. Jika ketahuan keluar, mereka akan dihukum berat. Selain itu, ada kewajiban bagi orang Aceh untuk tinggal di ibukota selama tiga hari untuk melakukan ronda. Sultan yakin bahwa ada pihak-pihak yang sembunyi-sembunyi ingin menggoyang kekuasaannya. Iskandar Muda melakukan berbagai cara agar rakyatnya tidak saling berhubungan, sebab sebuah hubungan bisa menciptakan sebuah komplotan berbahaya.