Masuk Daftar
My Getplus

Pengungkapan Kebenaran Dulu, Baru Rekonsiliasi

Penyelesaian masalah tragedi 1965 diusulkan dengan permintaan maaf dari segala arah. Namun, rekonsiliasi baru bisa dilakukan setelah pengungkapan kebenaran.

Oleh: Aryono | 03 Jan 2018
Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

GUBERNUR Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo kembali mengemukakan pendapatnya mengenai tragedi 1965 di Indonesia. Menurutnya tragedi itu meninggalkan bekas luka dendam yang belum bisa disembuhkan dan masih sulit untuk berdamai dengan masa lalu.

“Nah, jika ini tidak bisa dipecahkan, dendam akan terus berlanjut. Kecurigaan yang mendalam akan berlanjut. Segala sesuatu yang berasal dan terwujud dalam bentuk balas dendam, serta kecenderungan curiga [satu sama lain] dan percaya bahwa kita satu-satunya yang benar –dan ini salah– tentu akan menciptakan rintangan pada kemampuan bangsa untuk maju secara maksimal,” ujar Agus kepada Johannes Herlijanto, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pelita Harapan, seperti termuat dalam artikelnya The 1965 Tragedy, China, and the Ethnic Chinese: Interview with Lieutenant General (Retired) Agus Widjojo (Part II).

Oleh karena itu, Agus berpendapat bahwa perlu permintaan maaf dari segala arah oleh semua pihak yang terlibat dalam kekerasan, termasuk negara Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Advertising
Advertising

“Permintaan maaf itu tidak berarti bahwa pemerintah meminta maaf kepada PKI. Karena itu, permintaan maaf yang saya usulkan adalah dari segala arah. PKI juga harus meminta maaf, karena pada tahun 1948, mereka juga membunuh banyak pamong praja di Jawa Timur. Pada tahun 1965, jelas, setidaknya tujuh tentara dibunuh oleh mereka. Jadi PKI juga harus meminta maaf,” ujar putra Sutojo Siswomiharjo, salah satu jenderal yang dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965 itu.

Namun demikian, menurut Agus, beberapa perwira di TNI salah menafsirkan gagasan rekonsiliasi dan permintaan maaf tersebut menjadi pengakuan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Mereka takut tindakan itu akan memberi ruang bagi kebangkitan PKI.

“Mereka belum bisa melakukannya. TNI tidak pernah diajarkan untuk berpikir kritis. Mereka masih sangat preskriptif, doktriner, dan terkadang doktrin-doktrin ini dapat disalahgunakan. Nah, misalnya, isu PKI memang diperparah dengan dibesar-besarkan yang menghasilkan mobilisasi-mobilisasi untuk bersatu. Nah, siapa lawan PKI? kelompok garis keras yang menggunakan sentimen keagamaan untuk membangkitkan militansi,” ujar Agus.

Rekonsiliasi yang diungkapkan Agus Widjojo ditanggapi aktivis IPT 1965, Harry Wibowo. Menurutnya, pernyataan Agus ini tidak tepat.

“Agus ini membalikkan mana awal dan mana ujung. Sebelum ada rekonsiliasi, maka diperlukan pengungkapan kebenaran. Itu yang benar,” ujar Harwib, panggilan Harry Wibowo, kepada Historia.

Meski UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006, pengungkapan kebenaran atas tragedi 1965 masih bisa dilakukan.

“Tinggal bagaimana kemauan presiden, kan di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sudah ada. Tinggal bikin semacam keputusan presiden saja. Sebab kalau tidak, maka ya muncul pernyataan-pernyataan yang seperti ini. Dibumbui politik pula. Dan menurut saya bukan komisi, sebab terkesan memerlukan undang-undang lagi dan akan lama lagi. Namun, bentuklah semacam komite atau panitia yang diberi wewenang khusus, dengan durasi kerja minimal untuk pengungkapan kebenaran adalah tiga tahun,” kata Harwib.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI