Masuk Daftar
My Getplus

Palagan Bagi Sejarah Lisan

Diperlukan sikap hati-hati dalam pengumpulan sumber sejarah lisan.

Oleh: Aryono | 14 Des 2017
Dari ki-ka: Ravando, FX Harsono, Dana Listiana, Rhoma Dwi Arya Yulianti (moderator), Amurwani Dwi L, Agung Ismawarno. Sesi I Panel B, Peringatan 60 tahun Seminar Sejarah Nasional, FIB-UGM

FX Harsono adalah seorang seniman. Dia mengaku sejak 1985 sudah membuat karya seni berbasis penelitian, namun baru pada 2000-an dia sadar telah melakukan proses kreatif seni berdasarkan penelitian sejarah, khususnya persoalan orang Tionghoa. Harsono menjadi intens dengan masalah sejarah setelah melihat foto-foto yang dimiliki mendiang ayahnya, mengenai penggalian kuburan massal warga Tionghoa pada kurun 1950. Sejak itulah, dia mulai giat berkeliling ke beberapa kota di Jawa dan meneliti lokasi-lokasi kuburan massal warga Tionghoa tersebut.

“Saya sudah menemukan 13 kuburan massal pembunuhan Tionghoa di Jateng, Jatim dan Jabar. Hampir 2000 orang yang dibunuh pada kurun paska 1945,” ujar seniman asli Blitar ini.

Selain berhasil menemukan lokasi kuburan massal warga Tionghoa (biasanya ditandai dengan nisan yang berisi nama-nama orang yang dikubur), Harsono juga berhasil memetakan bahwa pembunuhan massal tersebut cenderung terjadi di pedalaman.

Advertising
Advertising

“Kota-kota di pantai utara tidak ada pembantaian warga Tionghoa, karena tentara kuat. Di Tegal, di Jakarta dan Surabaya tidak ada pembantaian. Kota di mana tentara posisinya kuat, tidak ada pembunuhan. Di Kertosono, yang hanya beberapa kilometer dari Nganjuk, tidak ada pembunuhan. Nah di Nganjuk itu pembunuhunan terbesar di pulau Jawa, 788 jiwa yang tercatat di nisan,” ujarnya.

Harsono pun rajin menjalin komunikasi dengan orang-orang yang selamat atau mengetahui peristiwa pembantaian dalam kurun 1947 hingga 1948. Sadar tidak sadar, sang seniman sudah melakukan metode sejarah lisan dalam penelitiannya.

Sejarah Lisan

Memeriksa peristiwa macam pembantaian Tionghoa yang terjadi paska kemerdekaan 1945 menjadi menarik jika disertai keterangan-keterangan dari para saksi mata atau bahkan penyintas.

“Saat melakukan penelitian di Blitar, saya bertemu dengan penyintas yang sudah berusia 93 tahun. Pada saat revolusi, ia sebenarnya sudah ditangkap laskar untuk dieksekusi, namun dibatalkan karena ayahnya sudah lebih dulu ditangkap, maka penyintas yang masih berusia belasan itu kemudian dilepaskan,” tulis FX Harsono dan Ravando dalam sebuah artikel berjudul Dari Nisan ke Informan: Penggunaan Sumber Alternatif dalam Penulisan Sejarah Indonesia, yang disajikan dalam Peringatan 60 Tahun Seminar Sejarah Nasional 1957-2017 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, hari ini (14/12).

Melakukan penelitian sejarah dengan basis sejarah lisan bukan hal mudah. Masih banyak yang memandang bahwa menulis sejarah haruslah berbasis dari dokumen, kemudian juga munculnya bias dari narasumber. Mensejajarkan sumber sejarah lisan dengan sumber sejarah konvensional berupa dokumen atau arsip adalah sebuah tantangan tersendiri.

“Sumber lisan dapat direkam sebagai kisah sejarah. Nugroho Notosusanto memberikan pernyataan bahwa sejarah lisan lebih dekat ke sejarah kontemporer, sebab sejarah kontemporer itu paling dekat dengan pelaku sejarah, dengan saksi mata. Sejarah kontemporer sendiri dijadikan sejarah dari generasi ke generasi yang sejaman dalam sebuah peristiwa,” ujar Amurwani Dwi Lestariningsih, Kepala Subdirektorat Pemahaman Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, yang hadir juga sebagai pemakalah pada sesi I panel B.

Penggalian keterangan dari para pelaku atau saksi sejarah memungkinkan adanya subyektivitas, selain itu juga jarak waktu antara peristiwa dengan pelaku sejarah. Pun demikian, subyektivitas itu akan bisa ditekan jika menggunakan metodologi sejarah secara benar.

“Tentu saja untuk mengukur kadar subyektivitas maka perlu melakukan kroscek dengan sumber lain. Terkadang penutur juga tidak bertanggungjawab dengan kisah yang diceritakannya. Disitu pula kita harus mencermati budaya tradisi lisan dengan sumber lisan,” ujar Amurwani. Budaya tradisi lisan menurutnya dikisahkan secara turun temurun; penutur tidak ada sangkut paut dengan kisah yang dikisahkan, penutur juga tidak terlibat dengan peristiwa dan penutur tidak bertanggungjawab dengan kisah yang dituturkannya.

Kehati-hatian dalam mencari sumber sejarah lisan, hampir sama beratnya dengan menelisik dokumen.

“Seperti arsip-arsip yang dibuat pejabat kolonial, bukan tidak mungkin mereka membuat laporan yang sesuai dengan yag diinginkan atasannya, perlu sikap hati-hati dengan melakukan pembanding dengan sumber lainnya,” ujarnya.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Tuah Guru Soeharto Muhammadiyah dan Musik Sengkarut Tragedi Sekjen PBB di Tengah Misi Perdamaian Om Genit Mata Keranjang Raja Jacob Ponto Dibuang ke Cirebon Ali Alatas Calon Kuat Sekjen PBB Mempertanyakan Solusi Dua Negara Israel-Palestina Dari Grand Tour ke Study Tour Guru Soeharto Tulisan dan Media Tulis