Masuk Daftar
My Getplus

Misi Pemeradaban, Akal Bulus Leopold II

Leopold II membungkus aksi penjajahannya atas Congo dengan misi kemanusiaan dan pemeradaban. Jutaan rakyat Congo tewas akibat misi tersebut.

Oleh: Nur Janti | 27 Jun 2020
Patung Leopold II di Brussels. (Wikimedia commons).

SETELAH gagal mendapatkan daerah jajahan di Filipina, Raja Belgia Leopold II berusaha mencari daerah jajahan baru untuk meningkatkan prestis dan kekuatan Belgia. Dicarinya tempat yang tidak memakan banyak biaya atau mengerahkan kekuatan besar untuk ditundukkan. Ia lantas menemukan Congo di Afrika Tengah yang luasnya hampir 70 kali Belgia sebagai daerah jajahan yang tepat.

Namun, Leopold II tahu bahwa ia harus berhati-hati menundukkan Congo dan berusaha mendapat pengakuan dari kekuatan Eropa lain sebelum penjajahan dilakukan. Ia kemudian melancarkan akal bulus, membungkus kolonialismenya dengan wajah kampanye filantropis dan upaya pembukaan pasar bebas di sana.

Leopold II kemudian mendirikan Asosiasi Internasional Congo pada 1879 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia ingin membawa misi kemanusiaan dan membangun peradaban Eropa di Congo. Pencitraan ini cukup efektif menipu Eropa.

Advertising
Advertising

Ia juga mengirimkan Henry Morton Stanley, wartawan dan penjelajah terkenal berkebangsaan Inggris, untuk memetakan Congo. Sejak Agustus 1879 hingga Juni 1884, Stanley berada di Congo untuk membangun jalan dari dataran rendah Congo ke Stanley Pool (kini The Pool Malebo).

Stanley juga diperintahkan untuk menguasai tanah sebanyak mungkin. Selain dipersenjatai dengan pasukan ekspedisi, ia juga diperintahkan untuk menyuap dan mengintimidasi para kepala suku agar menyerahkan tanah mereka.

Baca juga: 

Memamerkan Negeri Jajahan

 

Seluruh perjanjian ditulis dalam bahasa Prancis dan membuat para kepala suku tak memahami isi perjanjian tersebut. Padahal, tanda tangan para kepala suku dalam perjanjian tersebut memegang peran penting. Bermodal perjanjian dari tipu muslihatnya tersebut, di dalam pengundian wilayah Afrika yang dibahas Konferensi Berlin 1884-1885, Leopold II berhasil meyakinkan para pemimpin Eropa bahwa dialah yang pantas melebarkan sayap ke Congo.

Steven P Johnson menyebutkan dalam tesisnya “King Leopold II’s Exploitation of The Congo from 1885 to 1908 and Its Consequences”, dengan persetujuan Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara besar lainnya, Leopold menciptakan Negara Bebas Congo (NBC) yang berlangsung dari 1885 hingga 1908.

Alih-alih mempromosikan perdagangan bebas dan membangun peradaban Eropa di Congo seperti janjinya, Leopold Ii justru melancarkan eksploitasi besar-besaran di Congo. Untuk mempercepat eksploitasi, Leopold II memberikan tanah kepada perusahaan swasta pemegang konsesi dan menggunakan segala paksaan untuk memaksimalkan keuntungan.

Dalam “Colonial Streets and Statues: Postcolonial Belgium in the Public Space”, sejarawan Universitas Leuven Idesbald Goddeeris menyebutkan, secara resmi NBC mengizinkan perdagangan bebas tanpa pajak. Dalam praktiknya, Leopold II mengklaim semua wilayah kosong, memerintah Congo sebagai wilayah pribadinya (tidak melalui pemerintah Belgia), dan mengeksploitasi sumberdaya alam, terutama pohon karet.

Baca juga: 

Belanda Juga Tak Mau Dijajah

 

Kerakusannya menyebabkan jutaan rakyat Congo meninggal karena penyiksaan dan kelaparan. Kebrutalannya bisa digambarkan lewat foto terkenal yang menampilkan seorang lelaki terduduk di teras memandangi potongan tangan dan kaki dari anak perempuannya yang berusia 5 tahun. Anak perempuan tersebut meninggal disiksa aparat Belgia setelah desanya gagal memenuhi target panen karet.

Seorang ayah memandangi potongan tangan dan kaki anak perempuannya di Congo 1904. (Alice Seeley Harris, Don’t Call Me Lady: The Journey of Lady Alice Seeley Harris).

Kekejaman Leopold II menjadikan NBC salah satu skandal internasional terbesar pada awal abad ke-20. Pada 1908, setahun sebelum Leopold II meninggal, ia dipaksa menyerahkan Congo ke pemerintah Belgia. NBC kemudian menjadi Congo-Belgia.

Profesor sejarah di Berry College Matthew Stanard mencatat dalam bukunya, Selling the Congo: A History of European Pro-Empire Propaganda and the Making of Belgian Imperialism, Leopold II kemudian digantikan oleh keponakannya yang bergelar Albert I (anak dari adik bungsu Leopold II). Pada masa kepemimpinan Albert I bersama Perdana Menteri Jules Renkin, mereka menyadari kesalahan masa lalu. Berbeda dari pamannya yang memerintah dari Belgia tanpa pernah sekali pun menginjakkan kaki di sana, Albert mengunjungi Congo dan menghabiskan banyak waktu di sana beberapa bulan sebelum kematian Leopold II pada Desember 1909.

Baca juga: 

Mitos 350 Tahun Penjajahan

 

Dalam pidato pengangkatannya, Renkin dan Albert merenungkan kesalahan-kesalahan masa lalu dan berusaha membentuk pemerintahan Congo yang lebih baik. Maksudnya, bukan memerdekakan wilayah tersebut, melainkan penjajahan atas Congo tidak lagi dilakukan atas kuasa pribadi raja, tapi lewat pemerintah Belgia. Albert dan Renkin juga mengungkapkan perlunya memberi tahu rakyat Belgia tentang misi peradaban di Afrika.

Pemerintah Belgia yakin bisa memerintah Congo sebagai model koloni. Pembangunan ekonomi, infrastruktur, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan evangelisasi dilakukan besar-besaran. Namun, menurut Goddeeris, masih banyak aspek dari pemerintahan Belgia yang menunjukkan kesinambungan dengan NBC masa Leopold II. Ekonomi NBC masih didominasi perusahaan swasta besar yang menguras sumber daya dan masyarakat Afrika. Misi pemeradaban digunakan untuk menyembunyikan penjajahan.

Stanard mencatat, propaganda citra baik untuk menutupi kebusukan ini dilakukan pula oleh Jerman untuk legitimasi Hitler dan Prancis untuk memoles penjajahannya di Indocina. Upaya whitewashing penindasan Leopold II di Afrika jadi jalan keluar untuk mendukung penjajahan dan meniadakan kebutuhan untuk mempertanyakan penjajahan di Afrika serta masalah kekejamannya.

“Sejarah digunakan keluarga kerajaan untuk melegitimasi perilaku mereka. Setelah Perang Dunia I, pembangunan patung Leopold II di Belgia merupakan upaya untuk meningkatkan dukungan bagi Kerajaan Belgia,” tulis Stanard.

Pembangunan citra Leopold II lewat patung-patung menyebabkan amnesia sejarah yang bertahan selama beberapa dekade. Pada awal abad ke-21, monumen-monumen tersebut mendapat banyak kritikan. BBC menyiarkan dokumenter karya Peter Bate berjudul White King, Red Rubber, Black Death pada awal April 2004 dan memicu protes. Pada malam 20 April, aksi protes terjadi di Ostend, Belgia. Mereka menggergaji tangan patung orang kulit hitam yang bersorak di dekat patung berkuda Leopold II. Aksi ini mengacu pada kekejaman Leopold II yang menerapkan hukuman potong tangan pada rakyat Congo.

Baca juga: 

Hilangnya Mutiara Hitam

 

Para aktivis menawarkan pengembalian potongan tangan itu dengan syarat dewan kota mau memasang gambar orang Congo dengan tangan terputus di dekat patung. Dewan kota menolak tawaran itu dan tetap membiarkan tangan patung itu terputus. Para pendemo lalu melakukan tindakan baru terhadap monumen kerajaan lainnya di Ostend, seperti menuangkan cat merah di atas patung Raja Baudouin pada malam 17 Januari 2005 sebagai peringatan 44 tahun kematian pemimpin gerakan kemerdekaan Congo, Patrice Hemery Lumumba.

Kampanye itu ditiru di kota-kota lain. Para pengunjuk rasa, mayoritas anonim, menggunakan grafiti atau cat merah untuk menolak kehadiran patung Leopold II. Penolakan dilakukan pada patung-patung Leopold II di Tervuren pada Desember 2009, sebuah monumen yang didedikasikan untuknya di Namur pada Juni 2011, dan patung berkudanya di Brussels pada September 2008, Juli 2010, dan Desember 2013. Patung Leopold II di Ekeren dekat Antwerp juga disiram cat merah pada Desember 2006, Juni 2007, November 2009. Namun, setiap kali dirusak, patung-patung tersebut kembali dibenahi otoritas terkait, seolah meremahkan protes sebagai aksi individu yang anti-pemerintahan.

Baru pada awal Juni 2020 protes tentang keberadaan patung Leopold II didengar seiring aksi global Black Lives Matter. Setelah dibakar, disiram tinta merah, dan diberi petisi untuk menyingkirkannya, patung Leopold II di Antwerp akhirnya disingkirkan.

TAG

penjajahan afrika

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Perlawanan Dandara Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Mandela dan Palestina Pembantaian di Puri Cakranegara Drama Kopral Soedarmo Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João Menyegarkan Kembali Historiografi Revolusi Indonesia Jejak Nelson Mandela di Indonesia Anomali Kamerun yang Menggegerkan Dunia Kala Afrika Diserang Belalang