Seperti di negara-negara lainnya, warga Afrika harus menghadapi pandemi Covid-19. Namun, mereka jauh lebih menderita karena juga berurusan dengan wabah yang tak kalah mengerikan: hama belalang. Bahkan awal tahun ini hama belalang kembali menyerang dan menimbulkan kepanikan.
Hama belalang pernah menyerang Afrika pada 1920 dan 1930-an. Peristiwa ini diberitakan koran-koran di Hindia Belanda (Indonesia). Maklum, hama belalang (wereng) bisa terjadi di mana saja. Di Hindia Belanda hama wereng cokelat menyerang padi di daerah Dramaga, Bogor, pada 1930.
Di banyak penjuru benua Afrika, gerombolan belalang menghunjam jantung pertanian dan mengganggu transportasi. Tanaman-tanaman herba raib. Hijaunya daun di pepohonan pupus. Kekeringan terjadi di mana-mana. Lalulintas kereta api nyaris lumpuh.
Tak diragukan, wabah belalang menjelma bencana yang membikin kehidupan masyarakat Afrika memucat. Bahkan Soerabaijasch Handelsblad edisi 4 Juli 1930 menyebut wabah tersebut sama mengerikan dengan yang terjadi pada zaman Firaun.
Biskuit Belalang
Penulis berinisial A.J.N lewat tulisan di De Koerier edisi 9 September 1933 menyebut ada dua macam belalang di Afrika. Pertama, belalang merah (Nomadacris septemfasciata). Habitat aslinya di hutan purba sekitar hilir sungai Zambezi, yang sekarang terletak di wilayah Mozambik.
Kedua, belalang cokelat (Schistocerca gregaria), dengan habitat asli di Gurun Kalahari. Ketika masih tinggal di sana, belalang tak membahayakan. Tapi begitu menjadi belalang dewasa, mereka akan mencari makanan dan tempat yang pas untuk bertelur.
Segerombolan belalang dewasa lazimnya akan terbang menuju area pertanian dan menghabiskan tanaman hingga bilah hijau terakhir. Daun-daun pohon di sekitarnya tak luput dari sasaran. Mereka juga menggali tanah dan menyimpan tumpukan telur di bawahnya. Tiap tumpukan, ada 70-100 telur. Setelahnya belalang tua mati dan mengeluarkan bau busuk. Bebarengan dengan itu, jutaan telur menetas lalu membawa bencana yang lebih mengerikan.
Terjepit keadaan, warga setempat tentunya tak tinggal diam. Beragam upaya ditempuh untuk membasmi serangga kecil pembawa bencana. Dari mengonsumsi, mengadu dengan hewan lain, sampai meracuni.
Baca juga: Kumbang Kamerun Sang Mak Comblang
Bataviaasch Handelsblad edisi 24 November 1923 menurunkan berita kekeringan dan wabah belalang dari Afrika Selatan. Gelombang angin panas menyebabkan mata air kering, bunga dan pohon layu, pun hewan ternak harus buru-buru disembelih untuk menyelamatkan para peternak. Kebalikannya, gulma tumbuh subur dan belalang merajalela.
Warga setempat tak hilang akal. Para petani menangkap belalang sedapat-dapatnya dan dijual. Para usahawan yang membeli belalang-belalang itu lantas mengolahnya jadi pakan ternak, bahkan biskuit untuk konsumsi manusia. Biskuit itu berwarna cokelat tua dan rasanya agak serupa dengan bubur oatmeal tapi sedikit berminyak.
Di Maroko, dilansir Soerabaijash Handelsblad edisi 4 Juli 1930, wabah belalang yang terjadi sejak November 1927 awalnya tidak sedemikian serius. Tapi penduduk setempat kemudian harus mengonsumsi begitu banyak belalang seiring jumlahnya yang kian tak terkendali.
Baca juga: Wabah Aneh yang Membuat Orang Menari
Dalam artikel berjudul “The Locust Plague” di Journal of the Royal Society Arts Vol. 91 No. 4631 tahun 1943, entomolog Rusia-Inggris, Boris Uvarov, menyebut analisis kimia menunjukkan bahwa belalang memiliki kandungan protein, lemak, dan zat garam. Dengan begitu, belalang memberi manfaat sebagai bahan pupuk dan pakan ternak.
Namun, ada kalanya manusia pun mengonsumsi belalang. Menurut Uvarov, manusia sudah mengonsumsi belalang sejak era John the Baptist (dalam agama Islam, Nabi Yahya). Hal itu masih dilakukan penduduk asli Afrika Utara, suku Bedouin, ketika kekurangan pasokan makanan.
Adu Belalang
Secara alami, belalang adalah mangsa bagi beraneka burung. Bagi penduduk Afrika Selatan, bangau menjelma pahlawan. Merujuk De Koerier edisi 9 September 1933, 600-700 bangau menghampiri daerah yang dipenuhi belalang. Selama delapan hari, gerombolan bangau itu melacak pergerakan belalang dan memakannya sampai paruh mereka bersih.
Dalam berita Soerabaijasch Handelsblad edisi 28 Maret 1934, burung Locustella naevia atau sprinkhaanvogel menyelamatkan para petani Afrika Selatan pada saat yang tepat. Ketika waktu pengendalian penuh wabah belalang hanya tersisa dua pekan, burung itu membasmi belalang dalam jumlah besar dan menghalau wabah di sejumlah daerah.
Di Aljazair, para peneliti memakai belalang brasil. Menurut De Sumatra Post edisi 18 Maret 1939, sebuah kotak berisi kulit belalang dikirim dari Brasil dengan pesawat ke Aljazair. Para peneliti kemudian menginkubasi telur belalang brasil. Beberapa saat setelah menetas, belalang muda dilepas untuk menghalau belalang asli Afrika.
Baca juga: Melawan Wabah El Tor
Bangau yang Terkapar
Wabah belalang mengundang perhatian pemerintah, akademisi, dan militer. Langkah-langkah radikal mulai diambil untuk mengendalikan wabah, seperti penggunaan penyembur api, gas beracun, penyakit bakterial, penggilas tenaga uap, rentetan balon, tabir asap, dan bahkan artileri.
Pada 6 Juni 1929, Soerabaijasch Handelsblad mewartakan upaya perlawanan ekstensif yang diambil di wilayah koloni Prancis di Afrika Utara. Mereka mengerahkan 60.000 warga sipil, 4.000 tentara lengkap dengan 1.800 penyemprot asam, 800 penyembur api, 300.000 liter asam, dan 375.000 kilogram bahan kimia lain. Diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar 12 juta franc, sekitar 87 milyar rupiah pada era kini.
Belum cukup, tentara legiun asing bersama warga setempat menggali tanah dan membuat parit di Tunisia. Parit digunakan untuk menarik komplotan belalang dengan umpan supaya bisa dibasmi secara massal.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Di Afrika Selatan, pemerintah mengerahkan pesawat untuk menumpas kawanan belalang. Menurut Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie 3 Juli 1933, langkah itu diambil karena penggunaan penyembur api dinilai kurang efektif. Tak pelak, mereka beralih pada racun berbentuk bubuk emas halus dan mengandung arsenik yang disebar dengan pesawat.
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 7 April 1935 menyebut pencetus penggunaan racun tersebut adalah seorang kimiawan bernama Dr. Etches. Etches menuturkan bahwa racun akan terhirup belalang dan membunuh mereka dalam waktu 24 jam. Meski begitu, katanya, racun itu tak berbahaya bagi manusia dan hewan ternak. Partikel kecil racun langsung membunuh belalang, sedangkan hewan ternak tak mengalami efek buruk apapun setelah memakan rumput yang terpapar.
Namun dampak lain yang tak terduga muncul. Het Nieuws van den dag voor Nedelandsch-Indie edisi 15 April 1937 memberitakan kematian bangau di berbagai wilayah Afrika Selatan. Ribuan bangau mati setelah memakan racun arsenik yang resap dalam tubuh belalang.
Konferensi Belalang Internasional
Wabah belalang turut menyita perhatian dunia internasional. Atas permintaan Menteri Kolonial Italia dan tekanan pemerintah Inggris, Konferensi Belalang Internasional pertama pun dihelat di Roma pada 28 September hingga 1 Oktober 1931.
Dalam artikel “International Experimentation and Control of the Locust Plague” di jurnal Les sciences hors d’Occident au XXe siecle Vol. 3 tahun 1995, Antonio Buj dari Universitas Barcelona menyebut bahwa perwakilan Inggris, Prancis, Italia, beserta koloni-koloninya menghadiri pertemuan internasional tersebut. Di situ mereka bersepakat untuk mendesain Imperial Institute of Entomology di London sebagai pusat investigasi belalang.
Baca juga: Lama Wabah di Masa Lalu
Pada 29 Maret 1932, suratkabar The Sydney Morning Herald, mewartakan tentang skema investigasi belalang yang terpusat di London itu. Pembiayaan dibebankan pada koloni Inggris di Afrika dan Empire Marketing Board. Kemudian, dua kantor investigasi lapangan dipilih: satu di Uganda dan satu di Sudan. Investigasi tersebut akhirnya membuahkan hasil, yakni penemuan area permanen perkembangbiakan belalang.
Buj menambahkan, Konferensi Belalang Internasional selanjutnya dihelat empat kali lagi: Paris 1932, London 1934, Kairo 1936, dan Brussels 1938. Pertemuan di Brussels menjadi yang terakhir. Sebab, setelah itu meletus Perang Dunia II yang mengubah keseluruhan program investigasi belalang oleh negara-negara Eropa. Dengan kata lain, hal itu menandakan kegagalan untuk membasmi wabah belalang.
Serangan hama belalang kemudian berkali-kali terjadi di Afrika, hingga kini.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang.