El Tor. Anda pernah mendengarnya? Mungkin sekarang tak pernah. Tapi pada dekade 1930-an dan 1960-an, El Tor sempat menjadi nama paling ditakuti di Sulawesi Selatan, Semarang, dan Jakarta. El Tor adalah penyakit menular. Gejalanya mirip kolera. Bahkan penyebabnya serupa dengan penyakit kolera. Masih satu keluarga dengan bakteri kolera.
El Tor kali pertama ditemukan oleh Felix Gotschlich, dokter dari Jerman, di pusat karantina El Tor, tak jauh dari Terusan Suez, Mesir, pada 1905. Karena itu, bakteri termaksud disebut El Tor.
Gotshlich menyatakan El Tor terdapat di feses sejumlah jamaah calon haji. Meski menyerupai vibrio cholerae (bakteri penyebab kolera), El Tor justru bersifat apatogen atau tidak merugikan inangnya. Jamaah calon haji tetap sehat dan tak muncul gejala sakit apapun pada mereka. Kesimpulan Gotschlich bertahan selama 32 tahun.
Kesimpulan Gotschlich berubah pada September 1937. El Tor mulai jadi patogen (merugikan inangnya). Kasus pertama muncul di Pangkajene, sekira 60 kilometer dari utara Makassar. Orang terinfeksi El Tor akan menampakkan gejala sakit menyerupai pasien kolera.
Baca juga: Kala Kolera Menyerang Batavia
“Mula-mula penderita muntah, diikuti dengan berak-berak yang berupa air beras (cair, keruh putih disertai sedikit lendir) dengan frekuensi lebih dari 10 kali,” catat Djaja dalam “Usaha Memberantal El Tor”, 7 Maret 1964.
Dalam waktu hampir tiga bulan, infeksi El Tor menyebar ke beberapa wilayah Sulawesi lainnya. Dari 26 September hingga 11 Desember 1937 terdapat 37 kasus dengan 11 orang meninggal.
Persebaran El Tor menjangkau 14 desa sehingga menjadikannya epidemi. Media penyebarannya melalui liur atau feses penderita, air yang terkontaminasi, dan lalat yang membawa bakteri itu lalu hinggap di makanan. Epidemi ini cepat menyebar, lekas pula mereda. Tidak seperti dalam kolera, penanganan terhadap penderita tak perlu ada isolasi khusus.
Sekian tahun menghilang, El Tor muncul lagi pada 1958 di Jakarta. “Pertama kali muncul empat kasus parakolera El Tor di Jakarta Raya,” ungkap Soe Khie Tjia dalam Penjelidikan Vibrio El Tor Jang Diasingkan di Djakarta dan Tjara Baru Untuk Membedakan Antara Vibrio El Tor dan Vibrio Cholerae, tesis pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1967.
Baca juga: Intel Kolera di Batavia
Lantaran kasusnya sedikit, kebanyakan orang menganggap biasa kabar ini. Tetapi dunia kedokteran justru bingung, bagaimana El Tor ini muncul di Jakarta setelah sekian tahun hilang dari Makassar. Penelitian digelar selama tiga tahun. Tapi para dokter tak berhasil menemukan jawabannya.
Tiga tahun setelah kasus di Jakarta, El Tor tiba-tiba merebak di Semarang. Tercatat ada 250 penderita terinfeksi El Tor. Dalam waktu bersamaan pula, El Tor menyerang Hongkong, Bangkok, Manila, Makau, dan Serawak. Orang-orang mulai khawatir.
“Sejak 1961 kolera El Tor telah menjangkiti sepanjang wilayah Timur Jauh (Asia Timur) dan menarik perhatian WHO (Badan Kesehatan Dunia),” catat Jeni Iswandari dan Shinta Njotosiswojo dalam “Cholera El Tor Enteritis in Jakarta”, termuat di jurnal Paediatrica Indonesiana, Februari 1973.
Para dokter berkesimpulan El Tor tak bisa lagi dibedakan secara epidemologis, klinis, dan patologis dari kolera. “Perbedaannya hanya terletak pada dua hal: karekteristik fisik dan biokimia (reaksi kimia yang terjadi dalam sel atau organisme hidup) bakterinya,” lanjut Jeni.
Baca juga: Seabad Flu Spanyol
Seiring pendefinisian El Tor, dokter C.E. De Moor menyarankan penanganan terhadap penderitanya ikut berubah. Mereka harus menjalani isolasi sebagaimana penderita kolera.
“Pandangan mengenai vibrio El Tor kini adalah sebagai kuman yang dapat menyebabkan wabah dengan mengakibatkan kematian sehingga oleh karenanya De Moor memasukkannya dalam daftar kuman-kuman yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit karantina,” ungkap Djaja dalam “El Tor dan Cholera”, 26 Oktober 1963.
Menyikapi penyebaran El Tor, pemerintah Indonesia menggunakan data penelitian tenaga kesehatan ketika El Tor berjangkit di Jakarta pada 1958 untuk mengambil tindakan. “Tidak banyak orang tahu bahwa semenjak kurang lebih dua tahun berselang, tenaga-tenaga kesehatan kita dan bagian public health Fakultas Kedokteran bertindak dalam bidang epidemiologis,” catat Djaja.
Data penelitian tadi meliputi anggota keluarga penderita El Tor, pekerjaan penderita, makanan dan minuman, keadaan rumah, dan kondisi lingkungan. Melalui data itu, pemerintah mengambil langkah pencegahan penyebaran El Tor. Antara lain dengan mengeluarkan maklumat tentang El Tor. Isinya berkisar informasi El Tor, rumah sakit rujukan, dan tindakan orang jika menemukan penderita El Tor.
Baca juga: Wabah Penyakit dalam Perang Makassar
Setelah maklumat keluar, Undang-Undang No. 6 Tahun 1962 tentang Wabah terbit pada 5 Maret 1962. UU termaksud menyuguhkan senarai delapan penyakit menular dan dapat menimbulkan wabah. El Tor termasuk satu di antaranya. Ini berarti “penyakit tersebut harus diberantas dengan segera bila terjadi wabah,” catat Almanak Pembangunan Kesehatan.
UU juga memaklumatkan wewenang kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan suatu daerah sebagai daerah wabah setelah pemeriksaan yang teliti. Jika Menkes sudah menetapkan satu daerah sebagai daerah wabah, penguasa tempatan dapat menutup daerah tersebut untuk mencegah wabah meluas.
Selain memaklumatkan tindakan bagi pemerintah, UU juga membuka pelibatan masyarakat untuk melaporkan adanya wabah di daerahnya. Para penderita penyakit dikenakan ketentuan isolasi dari orang lain di sekitarnya. “Peraturan ini dijalankan dengan keras karena terjadinya beberapa wabah di Makassar… Dan El Tor yang sudah endemis,” tulis Pedoman dan Berita, 1968.
Setelah mengeluarkan maklumat tentang El Tor dan UU tentang wabah, langkah selanjutnya adalah pembuatan vaksin. Hingga 1970-an, vaksin El Tor belum juga ditemukan. Sebagai gantinya, pemerintah menggunakan vaksin kolera.
Penderita El Tor mengeluarkan reaksi beragam setelah mendapat vaksin kolera. Ada yang sembuh, ada juga yang tak tertolong. Tapi ketiadaan vaksin khusus itu tertolong oleh perubahan perilaku menuju hidup bersih, pembangunan sanitasi di permukiman, dan kesadaran masyarakat memasak air lebih dulu. Dengan cara demikian, penderita El Tor di Indonesia menurun secara bertahap.