Cornelis Janzoon Speelman, komandan pasukan VOC, mengibarkan bendera merah pada 21 Desember 1666. Tanda dimulainya perang VOC melawan Kerajaan Gowa-Tallo yang dipimpin Sultan Hasanuddin. VOC dengan sekutunya Arung Palakka unggul dalam pertempuran sehingga memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667.
Perjanjian Bungaya mengharuskan semua benteng yang dimiliki oleh kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan kecuali Sombaopu dan Jumpandang –kemudian diubah namanya menjadi Fort Rotterdam.
Ternyata, perjanjian itu tidak menghentikan perlawanan. Karaeng Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo, memutuskan terus melawan.
“Perlawanan terhadap VOC dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang sudah sejak awal sangat benci kepada orang-orang Belanda. Beliau sering mendesak agar Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dan bertempur sampai tetes darah penghabisan,” tulis Sagimun M.D. dalam biografi Sultan Hasanudin: Ayang Jantan dari Ufuk Timur.
Baca juga: Meninjau Kembali Peran Arung Palakka
Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo konflik bersenjata melawan Makassar merupakan konflik besar kedua yang dilakukan VOC. Berbeda dengan konflik pertama melawan Mataram (1627–1629), VOC melakukan ofensif terhadap Makassar.
Perang kembali pecah pada 21 April 1668. Pertempuran itu mereda karena epidemi atau penyakit menular.
“Di tengah-tengah masa perang, yaitu April sampai Juli 1668 berjangkitlah epidemi sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi. Sekitar tiga ratus orang lebih pasukan VOC dan kira-kira dua ribu atau separuh dari [sekutunya] pasukan Bugis terserang penyakit panas dan meninggal,” tulis Sartono dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium.
Sagimun mencatat setiap hari ada saja pasukan VOC yang mati karena sakit. Adakalanya dalam sehari, tujuh sampai delapan orang dikuburkan. Bahkan, Speelman juga jatuh sakit sehingga harus meninggalkan Ujungpandang. Selama itu, pimpinan diserahkan kepada Danckert van der Straten.
Baca juga: Cerita di Balik Gambar Sultan Hasanuddin
Setelah kurang lebih sebulan istirahat, Speelman kembali memimpin. Namun, keadaan kesehatan orang-orang Belanda sangat menyedihkan. Lima orang dokter bedah (opperchirurgijns) meninggal dunia dan 15 orang pandai besi mati. Dari 40 pasukan bantuan yang datang dari Batavia dua bulan sebelumnya, hanya delapan orang yang dapat berdiri; sebagian besar sakit dan lima orang mati. Pada Maret 1668, dalam sebulan 139 orang mati di daratan, sedangkan di kapal-kapal 52 orang menemui ajal.
Pada September 1668, VOC mengirimkan 108 orang yang sakit keras ke Batavia, namun dalam perjalanan 100 orang mati. Para perwira juga jatuh sakit. Speelman menderita sakit perut. Orang keduanya, Straten meninggal dunia karena penyakit beri-beri. Kapten Du Pont juga menderita beri-beri. Sedangkan Kapten de Bitter kena peluru di kakinya sehingga harus dirawat.
Baca juga: Wabah Penyakit Mematikan di Banten dan Jawa Tengah
Keadaan menyedihkan pasukan VOC itu tidak dimanfaatkan oleh pasukan Gowa-Tallo. Mungkin mereka juga terkena wabah penyakit. “Sayang sekali hal ini kurang diketahui dan kurang diselidiki untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pasukan Gowa dengan mengadakan psywar atau perang urat saraf dibarengi serangan bertubi-tubi,” tulis Sagimun.
Dalam keadaan kepayahan, Speelman dan pasukannya bertahan sambil menunggu bantuan datang dari Batavia dan sekutunya.
Setelah memenangkan pertempuran pada 4 Juli, 11-12 Agustus, dan 12 Oktober 1668, Speelmen mengarahkan seluruh kekuatannya untuk merebut Sombaopu. Benteng dengan istana raja itu merupakan lambang kekuasaan Gowa-Tallo sehingga dipertahankan mati-matian.
Baca juga: Jalan Tarung Karaeng Karunrung
VOC berhasil mematahkan perlawanan di sebelah utara benteng Sombaopu pada 14-15 April 1669. Tinggal pelawanan terakhir yang dipimpin oleh Karaeng Karunrung. VOC mulai menyerang pada 14 Juni 1669.
Akhirnya, Karaeng Karunrung mengaku kalah dan benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Perang Makassar yang berlangsung kurang lebih tiga tahun berakhir. Perjanjian damai diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669.