“Aku adalah master untuk takdirku. Aku adalah kapten bagi jiwaku.” Nukilan puisi berjudul “Invictus” karya William Ernest Henley itu dikutip oleh Mandela dan diberikan kepada Francois Pienaar, kapten tim Rugby Afrika Selatan. Puisi itu menginspirasi Mandela untuk bertahan tak tertaklukan selama bertahun-tahun masa pemenjaraannya di Pulau Robben.
Adegan itu tergambar dalam film “Invictus”, yang mengisahkan cerita di balik kemenangan tim rugby Afrika Selatan dalam final kejuaraan dunia melawan Selandia Baru. Morgan Freeman sebagai Mandela, Matt Damon sebagai Pienaar. Sebuah film yang menabalkan sosok Mandela sebagai “juru selamat” Afrika Selatan dari perpecahan rasial yang berakar sejak zaman apartheid.
Baca juga: Nelson Mandela, Invictus, dan Rasisme di Titik Nol
Tapi pada Kamis, 5 Desember 2013, Mandela tak lagi jadi kapten bagi jiwanya yang menyerah pada takdir kematian. Nelson Rolihlahla Mandela mengembuskan napas terakhir di kediamannya di Johannesburg, Afrika Selatan dalam usia 95 tahun.
Indonesia punya tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan Mandela melawan rezim apartheid. Sepuluh tahun sejak Indonesia merdeka, Sukarno, Nehru, Nasser dan pemimpin negara dunia ketiga menggagas dunia yang baru. “To build the world a new,” kata Sukarno di hadapan sidang umum PBB. Dan sebuah Konferensi Asia-Afrika (KAA) dihelat di Bandung, 18–24 April 1955 untuk menciptakan dunia yang baru, yang berkeadilan untuk semua. “I was inspired by his speech,” kata Mandela tentang Sukarno.
Baca juga: Kisah Moses Kotane, Utusan Afrika Selatan di KAA 1955
Pada saat KAA diselenggarakan, Mandela dan partainya, African National Congress (ANC) sedang menggalang kekuatan untuk menentang politik apartheid. Kebijakan diskriminatif itu diberlakukan oleh partai penguasa, National Party sejak tahun 1948. ANC adalah aliansi organisasi anti-apartheid di Afrika Selatan yang terdiri dari South African Communist Party (SACP), South African Indian Congress (SAIC), organisasi warga kulit putih kiri radikal Congress of Democrats (COD), dan beberapa organisasi progresif lainnya. Koalisi yang dipimpin ANC ini dinamakan Congress Alliance.
Untuk memenuhi undangan KAA 1955 di Bandung, Congress Alliance mengirimkan dua wakilnya, yakni Moses Kotane (SACP) dan Maulvi Chacalia (SAIC). Atas bantuan Ahmed Kathrada, sahabat dekat Mandela, keduanya dapat berangkat ke Bandung setelah sebelumnya dijegal oleh pemerintah. Di Bandung, masalah rasisme dalam politik apartheid pun diperbincangkan.
Baca juga: Antara Nelson Mandela di Pulau Robben dan Herry Sjuhairi di Pulau Buru
“Para partisipan Konferensi Bandung sama-sama termotivasi untuk mengirimkan simpati dan dukungan terhadap tindakan berani para korban diskriminasi rasial, terutama yang menimpa orang-orang Afrika, India, dan Pakistan di Afrika Selatan,” seperti tercantum dalam Africa Since 1935 Volume 8 yang disunting oleh Ali A. Mazrui dan Christophe Vondji.
KAA menghasilkan sepuluh keputusan penting yang merujuk pada kondisi di negara-negara yang belum lepas dari belenggu penjajahan. Keputusan yang dikenal sebagai Dasasila Bandung itu mengusung nilai-nilai hak asasi manusia dan kesetaraan manusia sekaligus berkehendak menuntaskan penindasan yang masih terjadi.
Selesai KAA, ada begitu banyak organisasi pembebasan negeri Asia-Afrika yang dibentuk dan mengadakan kerja sama. Sukarno dan pemimpin negara anggota KAA lainnya menyokong gerakan pembebasan tersebut. Salah satu organisasi persahabatan rakyat Asia-Afrika yang didukung oleh Presiden Sukarno adalah Afro-Asian Peoples’ Solidarity Organization (AAPSO) yang berkedudukan di Kairo, Mesir.
Baca juga: Obituari: Kisah Hidup Ibrahim Isa
Ibrahim Isa, mantan sekretaris AAPSO, perwakilan Indonesia, mengatakan salah satu tujuan organisasi yang dibentuk setelah KAA itu adalah melakukan negosiasi dan menyokong gerakan pembebasan negeri-negeri di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. “Kami mendukung gerakan kemerdekaan rakyat Afrika dan banyak menjalin hubungan dengan mereka,” kata Ibrahim Isa yang bermukim di Belanda dan meninggal pada 17 Maret 2016.
Salah satu organisasi pembebasan yang mendapatkan dukungan dari Indonesia adalah organisasi pembebasan Aljazair, National Liberation Front (NLF). Dukungan nyata Presiden Sukarno itu tampak ketika dia merestui pembukaan kantor perwakilan NLF di Jakarta. Lakhdar Brahimi, yang kini menjadi diplomat senior PBB, menjadi kepala perwakilan NLF sejak 1956–1961. Melalui Lakhdar bantuan Indonesia untuk gerakan pembebasan Aljazair disalurkan.
Baca juga: Peran Indonesia dalam Kemerdekaan Aljazair
Pada 1961, sayap militer NLF pernah memberikan pelatihan militer kepada Mandela. Hal tersebut diakui oleh Mandela di dalam otobiografinya, Long Walk To Freedom. “Situasi di Aljazair memiliki kesamaan dengan kami di mana pemberontak menghadapi kelompok penguasa kulit putih yang mendominasi warga pribumi. NLF telah memulai perjuangan bersenjata sejak 1954,” kata Mandela.
Kecuali menyatakan kekagumannya pada Sukarno, Mandela memang tak pernah menceritakan hubungan langsung gerakan pembebasan Afrika Selatan dengan Indonesia. Namun, Mandela tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika menemukan foto Sukarno tak terpasang di Gedung Merdeka, Bandung, tempat KAA diselenggarakan.
Baca juga: Orang Afrika: Mengapa Sukarno Disingkirkan?
“Di mana foto Sukarno? Setiap pemimpin dari Asia dan Afrika datang ke Bandung karena Sukarno. Di mana fotonya? Aku terinspirasi oleh pidatonya,” kata Mandela pada kunjungan pertamanya ke Indonesia tak beberapa lama setelah dia dibebaskan tahun 1990.
Dalam pidato pembukaannya di KAA, Sukarno mengatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya, dan mesti dihadapi dengan solidaritas moral 1.400.000.000 rakyat dunia yang terwakili oleh para delegasi KAA.
“Saya yakin, kita semuanya dipersatukan oleh hal yang lebih penting daripada apa yang akan memisahkan kita. Kita dipersatukan oleh kebencian akan kolonialisme dalam berbagai bentuknya. Kita dipersatukan oleh kebencian akan rasialisme. Dan kita dipersatukan oleh keinginan untuk mewujudkan kedamaian dunia,” ujar Sukarno.
Baca juga: Revolusi Amerika dalam Pidato Sukarno di KAA
Sementara itu, Mandela dalam pidato pembelaan persidangannya pada 20 April 1964, mengatakan takkan pernah berhenti melawan dominasi yang berdasarkan rasialisme. “Saya telah melawan dominasi kulit putih dan kulit hitam. Saya mendambakan sebuah masyarakat yang bebas dan demokratis di mana semua orang hidup bersama dalam harmoni dan memiliki kesempatan yang setara. Inilah kesempurnaan yang saya harap bisa terus hidup dan dikembangkan. Kalau perlu, untuk hal itu saya siap untuk mati.”
Mungkin dalam solidaritas dan cita-cita untuk membuat dunia yang lebih baik itu, Indonesia dan Afrika Selatan, Mandela dan Sukarno, dipersatukan.
*Tulisan ini ditulis bersama Rahadian Rundjan.