Eugene Gordon, wartawan Daily Worker, koran kiri terbitan Amerika yang datang ke Bandung meliput Konferensi Asia Afrika, 18–24 April 1955 terkesan pada sosok Moses Kotane sebagai orang yang tak punya tempat resmi di dalam pertemuan, namun sangat disegani di kalangan peserta.
Moses, tulis Gordon, adalah “orang yang tak punya kursi di antara delegasi resmi KAA, namun kehadirannya sangat menonjol dan banyak orang yang menghormati serta menyambutnya secara hangat saat dia masuk ke ruang pertemuan.”
Dia datang bersama kompatriotnya, Maulvi Chacalia dari Kongres India Afrika Selatan (SAIC) sebagai peninjau. Mereka berdua ditugasi khusus oleh ANC untuk datang ke Bandung, mencari dukungan bagi gerakan pembebasaan Afrika Selatan.
Moses Kotane lahir di Pella, Provinsi Transvaal, Afrika Selatan pada 9 Agustus 1905. Dia tak pernah mengenyam pendidikan formal tapi terkenal sebagai kutu buku dan pembelajar yang tekun. Pada 1928 Moses sempat bergabung dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) kemudian mengundurkan diri.
Baca juga: Sokongan Indonesia untuk Kemerdekaan Afrika Utara
Setahun setelah pengunduran dirinya dari ANC, Moses bergabung dengan Partai Komunis Afrika Selatan (SACP), dan terus berada di sana sampai jabatan puncaknya sebagai sekretaris jenderal. Sejak 1963 – 1973 Moses menjabat bendahara umum ANC.
Kendati datang dari partai komunis, Moses sangat dihormati di kalangan tokoh pembebasan Afrika Selatan non-komunis. Walter Sisulu, Sekjen ANC menyebut Moses sebagai “raksasa kaum perjuangan” yang dikenal karena pemikiran logis dan sikap non-dogmatisnya. Sementara itu bagi Nelson Mandela, Moses adalah kawan diskusi sekaligus lawan debat yang akrab.
Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela menulis jika Moses sering datang ke rumahnya pada malam hari dan berdebat sampai pagi. Perdebatan itu menyoal konflik di dalam tubuh ANC. Kendati sama-sama tokoh ANC, Nelson tak “mengimani” komunisme, sementara Moses tokoh komunis.
“Nelson,” kata Moses seperti dikutip Mandela, “Kenapa kamu harus melawan kami? Kita semua memerangi musuh yang sama. Kami tak bermaksud menguasai ANC; kami bekerja dalam konteks nasionalisme Afrika,” lanjut Mandela meniru kata-kata Moses. “Pada akhirnya, saya tak punya lagi argumen yang baik untuk menyanggahnya,” kenang Mandela.
Baca juga: Nelson Mandela Melawan Apartheid dengan Olahraga
Menurut Verne Harris, direktur riset dan arsip pada Nelson Mandela Centre of Memory, Moses adalah guru bagi Mandela. “Kalau kamu sebutkan nama orang-orang yang pernah menjadi mentor Madiba, Kotane salah satunya,” ujar Verne seperti dikutip dari laman theguardian.com.
Sebelum KAA dihelat, pada 16 April 1955, Moses dan Maulvi menyusun pernyataan ihwal tujuan kehadirannya dalam KAA. Dalam pernyataannya itu, mereka mengatakan ketegangan rasial di negerinya sudah mencapai titik yang sangat berbahaya karena penguasa kulit putih melakukan tindak diskriminasi.
“Yang hebat benar di Afrika Selatan itu ialah kepada bangsa Afrika yang jumlahnya 67,5 persen dari seluruh penduduk hanya disediakan 13 persen tanah, sedangkan untuk bangsa kulit putih yang banyaknya hanya 20,9 persen dari penduduk disediakan 87 persen tanah pertanian yang subur,” kata Moses dalam pernyataan yang juga ditandatangani oleh Maulvi di Bandung.
Baca juga: Antara Nelson Mandela di Pulau Robben dan Herry Sjuhairi di Pulau Buru
Usai KAA, Moses masih terus melanjutkan perjalanan keliling dunia selama 11 bulan untuk mencari dukungan internasional. Sejak 1956 sampai 1961, Moses jadi salah satu terdakwa dalam rangkaian persidangan Treason (The Treason Trial) bersama Nelson Mandela, Walter Sisulu, Joe Slovo, Albert Luthuli, Joe Modise serta 151 pemimpin ANC lainnya.
Pada 1960 di bawah undang-undang darurat, Moses ditahan selama empat bulan dan ditempatkan pada sebuah rumah isolasi dengan pengawasan ketat selama 24 jam. Pada 1963 Moses meninggalkan Afrika Selatan menuju Tanzania, menjadi bendahara umum ANC di pengasingan. Sekira 1968, Moses mengalami serangan stroke dan mendapat perawatan di Moskow, Uni Soviet sampai meninggal di sana pada 1978.
Sebulan yang lalu, 14 Maret 2015, 37 tahun sejak kematiannya, jenazah Moses dibawa pulang dari Moskow ke Pella, Afrika Selatan untuk dimakamkan kembali. Selain Moses, jasad JB Marks, tokoh pembebasan Afrika Selatan lainnya, juga dibawa pulang dari Moskow.
Baca juga: Orang Afrika: Mengapa Sukarno Disingkirkan?
Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma dalam pidatonya mengatakan Moses Kotane telah menyumbangkan hidupnya untuk kebebasan rakyat Afrika Selatan.
“Hari ini, akhirnya kamerad Kotane pulang ke tempat peristirahatannya yang abadi. Dia telah memberikan seluruh hidupnya untuk menegakkan kebebasan, keadilan dan kesetaraan,” ujar Zuma dalam pemakaman kembali Moses, seperti dikutip dari laman resmi pemerintah Afrika Selatan, gov.za.
Dalam kesempatan yang sama Presiden Zuma menyampaikan rencananya untuk menghadiri peringatan 60 tahun KAA di Bandung, 19-24 April besok. Kenangan atas Moses Kotane menjadi salah satu alasan penting kenapa ia datang ke Indonesia kali ini.
“Afrika Selatan akan berpartisipasi pada perayaan peringatan KAA untuk mengenang kembali seorang patriot yang pernah menghadiri pertemuan bersejarah itu sebagai seorang peninjau, yang mencari dukungan bagi gerakan pembebasan dalam rangka meraih kemerdekaan seperti yang kita nikmati hari ini,” ujar Zuma.