Masuk Daftar
My Getplus

Rasisme di Titik Nol

Nelson Mandela berjuang keras melawan politik apartheid. Dia menggunakan olahraga  untuk mempersatukan negerinya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 25 Jun 2010

PIALA Dunia 2010 di Afrika Selatan tak bisa lepas dari peran Nelson Mandela. Dia berhasil meyakinkan badan sepakbola dunia (FIFA) bahwa Afrika Selatan siap dan bisa menjadi tuan rumah –12 tahun setelah Afrika Selatan kembali menjadi anggota FIFA. Mandela pula yang menggunakan Piala Dunia yang lain untuk mempersatukan Afrika Selatan: Piala Dunia Rugby.

Mandela dikenal sebagai aktivis yang menentang politik apartheid, yang meminggirkan hak-hak warga kulit hitam. Karena aktivitasnya, dia ditangkap pada 1962 dan menjalani hukuman penjara selama 27 tahun, terutama di Pulau Robben. Mandela adalah pendiri dan panglima tertinggi sayap militer dari Kongres Nasional Afrika (ANC), Umkhonto kita Sizwe, yang dianggap oleh warga kulit putih di Afrika Selatan sebagai organisasi teroris. Atas desakan dunia internasional, Presiden Willem de Klerk membuyarkan apartheid dan membebaskan Mandela pada 11 Februari 1990.

Mandela kembali bekerja untuk mengakhiri politik apartheid. Dalam pemilihan umum, mayoritas warga kulit hitam memberikan suara. Mandela menang dan menjadi presiden Afrika Selatan pada 1994 –presiden kulit hitam pertama. Dia mengangkat De Klerk sebagai wakilnya. Tantangan di awal pemerintahannya adalah menyatukan rakyat Afrika Selatan, yang belum sepenuhnya bisa menghapus pengalaman masa apartheid.

Advertising
Advertising

ANC menghabiskan bertahun-tahun dengan menggunakan rugby sebagai alat untuk mengalahkan orang kulit putih. Mandela berkata, mengapa tak menggunakan tim Springbok untuk menyatukan bangsa yang paling terpecah di dunia untuk sebuah tujuan bersama? Waktunya tepat: Afrika Selatan akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby tahun 1995.

Rugby di Afrika Selatan bermula ketika Canon George Ogilvie, kepala Sekolah Keuskupan Diocesan College di Cape Town pada 1861, memperkenalkan permainan sepakbola. Versi sepakbola ini boleh menggunakan tangan. Pertandingan pertama mempertemukan Officers of the Army dengan Gentlemen of the Civil Service di Green Point Cape Town tahun 1862. Sejak diperkenalkan hingga sebelum UU apartheid diperkenalkan pada 1948, rugby adalah olahraga yang hanya dimainkan oleh orang kulit putih. Rugby jadi semacam simbol rasialisme di Afrika Selatan, akibat kebijakan politik apartheid yang juga menyasar bidang olahraga.

Pada 1956 pemerintah Afrika Selatan memperketat UU olahraga. Hanya warga kulit putih saja yang berhak mewakili Afrika Selatan dalam turnamen olahraga internasional. Olahragawan berkulit putih sekalipun, tapi dari luar negeri, tak boleh tampil. Sampai-sampai Perserikatan Bangsa Bangsa menyerukan seluruh negara untuk memboikot turnamen olahraga yang digelar di Afrika Selatan. Olahraga Afrika Selatan mengalami kemunduran. Setelah bertahun-tahun terisolasi dari bidang olahraga, penghapusan apartheid membuka kembali Afrika Selatan dalam agenda internasional. Pada 1995 Afrika Selatan dipercaya sebagai tuan rumah Piala Dunia Rugby.

Karena popularitas rugby, sebulan setelah Mandela berkuasa, dia mengundang François Pienaar, kapten Springboks, untuk minum teh di kantornya di Pretoria. Mandela melakukan transformasi dalam rugby. Dia ingin menjadikan Rugby sebagai refresentasi dari Afrika Selatan tanpa memandang ras dan kelas. Di sisi lain, Mandela juga harus melakukan persuasi politik terhadap pendukung kulit hitam, yang dibesarkan untuk membenci rugby. Mandela tahu bahwa semua pemain tim rugby Afrika Selatan untuk Piala Dunia 1995 berkulit putih, dengan Chester Williams satu-satunya yang berkulit hitam.

“Mereka mencemooh saya,” kenang Mandela, seperti dikutip John Carlin, wartawan Inggris, dalam “How Nelson Mandela Won the Rugby World Cup” yang dimuat telegraph.co.uk. “Orang-orang saya sendiri mencemooh saya ketika saya berdiri di depan mereka, mendorong mereka untuk mendukung Springboks!”

Dan menakjubkan, tujuan Mandela tercapai. Semuanya antusias, tak lagi peduli perbedaan warna kulit. Dalam Piala Dunia 1995, tim Afrika Selatan bahkan jadi juara setelah mengalahkan All Blacks, tim unggulan Selandia Baru dalam pertandingan final di Stadion Ellis Park.

Mandela hadir di sana, mengenakan kaos tim Springboks. Ketika hendak menyerahkan piala kepada kapten Springboks, Mandela berkata: “François, terima kasih atas apa yang telah Anda lakukan untuk negara kita.”

“Tidak, Bapak Presiden. Terima kasih atas apa yang telah Anda lakukan.”

Dan semua warga Afrika Selatan merayakan kemenangan itu.

John Carlin tertarik dengan upaya Mandela mempersatukan negerinya lewat rugby. Dia lalu menulis sebuah buku berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation. Berdasarkan buku ini, Clint Eastwood membuat film berjudul Invictus, mengambil judul puisi sastrawan Inggris, William Ernest Henley. Morgan Freeman berperan sebagai Mandela sementara Matt Damon jadi kapten tim Springboks, François Pienaar.

Rugby masih jadi olahraga terpopuler di Afrika Selatan, yang menempati ranking kedua setelah Selandia Baru menurut International Rugby Board World Rankings per 20 Januari 2010. Warga kulit putih masih mendominasi permainan ini. Yang menarik, pada 2008, untuk kali pertama ditunjuk pelatih dari orang kulit hitam, Peter de Villiers.

Kebahagiaan warga Afrika Selatan kian lengkap dengan Afrika Selatan menjuarai Piala Afrika 1996. Sepakbola memang masih kalah populer ketimbang rugby atau kriket. Kriket sudah dikenal dan dimainkan di Afrika Selatan sejak 1800-an. Bahkan Afrika Selatan, bersama Inggris dan Australia, tercatat sebagai pendiri Dewan Kriket Internasional (ICC) pada 1909. Sama seperti rugby, kriket adalah olahraga minoritas kulit putih.

Sepakbola lebih digemari warga kulit hitam. Sejumlah pemain Afrika Selatan merumput di liga-liga Eropa. Prestasi tim nasional Afrika Selatan, Bafana-Bafana, terbilang lumayan: dua kali lolos ke Piala Dunia dan tiga kali menjuarai turnamen di wilayah selatan Afrika. Dalam tim nasional kali ini, hanya terdapat satu pemain berkulit putih, bek Matthew Booth, yang beristrikan Sonia, seorang model berkulit hitam.

Piala Dunia 2010 melengkapi pencapaian Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby 1995, Piala Afrika 1996, Piala Dunia Atletik 1998, dan Piala Dunia Kriket 2003. Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma mengatakan, pengaruh Piala Dunia 2010 lebih signifikan ketimbang pemilihan umum 1994 yang mengakhiri apartheid.

Puisi William Ernest Henley, “Invictus” yang dibacakan Mandela dalam adegan penutup film Invictus, seolah kembali bergema: It matters not how strait the gait/How charged with punishments the scroll/I am the master of my fate: I am the captain of my soul.

TAG

pialadunia piala dunia rasisme 2010 afrika-selatan

ARTIKEL TERKAIT

Petualangan Tim Kanguru Mandela dan Palestina Rasisme Memuakkan Klub Israel dalam Forever Pure Rasisme Sejak dalam Pikiran Enam Muslim Pionir di Sepakbola Prancis Dari Perang Dunia ke Piala Dunia Robohnya Patung Edward Colston Si Tokoh Perbudakan dan Rasisme Witan Sulaeman dan Mula Sepakbola Serbia Rasis Tak Kunjung Habis Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis