Arturo Campbell, agen CIA pertama di Indonesia, tiba di Yogyakarta dengan pesawat terbang pada November 1948. Sebelumnya, dia menjadi anggota OSS (Office of Strategic Service), cikal bakal CIA, selama Perang Dunia II. Dia kemudian ditempatkan sebagai atase konsuler di Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta.
Campbell tinggal di wisma tamu negara di Yogyakarta. Di sana, dia bertemu dengan George McT. Kahin, seorang mahasiswa Amerika Serikat yang sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Johns Hopkins University.
“Saya merasa agak gugup karena ditempatkan dalam rumah yang sama dengan Campbell,” kata Kahin dalam “Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia”, yang termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia.
Menurut Kahin, Campbell mendapat bantuan dari perwira intelijen Indonesia. “Dia tampaknya dirawat [dilayani] dengan baik sekali oleh kepala intelijen kota Yogyakarta, Mayor Brenthel Soesilo,” kata Kahin.
Pembantu Agen CIA
Raden Brenthel Soesilo, putra dari dr. Raden Soesilo, seorang pejabat sementara kepala Divisi Pengendalian Malaria dari Layanan Kesehatan Masyarakat Hindia Belanda. Dia digantikan dr. J.G. Overbeek pada Agustus 1935 karena melanjutkan pendidikan kedokteran ke Belanda. Dia membawa istri dan dua anaknya, Brenthel dan Lillah.
Setelah menyelesaikan studinya, dr. Soesilo kembali ke Indonesia. Dia menjadi dokter Karesidenan Banjarmasin menggantikan dr. Kalthoven yang tidak ada beritanya. Tragisnya, dr. Soesilo juga kemudian dibunuh oleh tentara Jepang.
Sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah menyebut Brenthel menghentikan studi ekonominya di Rotterdam sesudah pecah perang. Dia kembali ke Amsterdam dan aktif dalam kegiatan Perhimpunan Indonesia. Rumah Soesilo sudah lama menjadi tempat bertemunya para mahasiswa Indonesia. Ruangannya yang lega dan letaknya yang mandiri menjadikan rumah itu tempat berunding dan pusat kegiatan ilegal (bawah tanah) yang ideal.
Baca juga: Orang Indonesia yang Jadi Korban Nazi
Perhimpunan Indonesia memiliki sebuah mesin stensil yang ditempatkan di loteng rumah Soesilo yang terletak di Euterpestraat 167, tidak jauh dari markas besar Sicherheits Dienst (Dinas Keamanan) Jerman yang terkenal kejam. Di situ Soenito, Brenthel, Rasono Woerjaningrat, dan A.M. Latif menjalankan mesin stensil untuk mencetak suratkabar De Waarheid, Het Parool, dan De Vrije Katheder. Berkat sikap waspada, mesin stensil itu tidak ditemukan oleh tentara Jerman. Mesin stensil itu dipindahkan ke Clubhuis Indonesia di Willemsparkweg.
“Bulan Agustus dan September [1943], Lillah dan Brenthel ditangkap tentara Jerman atas tuduhan membantu gerakan bawah tanah. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka dibebaskan,” tulis Poeze.
Tidak diketahui kapan Brenthel kembali ke Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, dia bergabung dengan tentara Indonesia. Dia bertugas di Kantor Penghubung Tentara di Jakarta.
Baca juga: Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 6, menyebut Letnan Kolonel Brenthel Soesilo sebagai bekas tenaga (opsir) Belanda. Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama pada 1947, perwira TNI yang bekerja di Kantor Penghubung ditangkap Belanda. Mereka dibebaskan pada Oktober 1947.
Nasution juga menyebut Brenthel Soesilo menjadi wakil Indonesia di Filipina yang berusaha keras supaya Indonesia masuk ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far East) atau Komisi Ekonomi untuk Asia dan Timur Jauh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada 1948, Mayor Brenthel Soesilo menjadi kepala intelijen kota Yogyakarta. Dia membantu Arturo Campbell, agen CIA pertama yang ditugaskan di Indonesia.
Berbagai Tuduhan
Kahin menaruh simpati kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, dia mendapat hambatan dari Mayor Brenthel Soesilo. Sehingga, Kahin menyebutnya angkuh dan mencurigai semua hal tanpa sebab.
“Meskipun banyak masalah intelijen nyata yang dihadapi Republik, dia masih punya banyak waktu untuk mengganggu saya,” kata Kahin.
Brenthel menyita surat-surat Kahin termasuk dua pucuk surat yang menguntungkan Indonesia. Surat pertama berkenaan dengan upayanya agar obat-obatan yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit dan klinik di Yogyakarta dapat dibebaskan dari blokade. Surat kedua ditujukan kepada pejabat yang dia kenal, yaitu John Foster Dulles, anggota pengambil kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang berpengaruh.
“Ini merupakan sebuah upaya untuk membalas propaganda Belanda yang anti-Republik,” kata Kahin.
Kahin menganggap Brenthel tidak menaruh perhatian kepada upayanya untuk memasukkan obat-obatan atau memberikan pandangan yang baik tentang Republik Indonesia kepada para pengambil kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
“Ketika agen CIA, Arturo Campbell tiba, Brenthel Soesilo dengan patuh memberikan surat-surat saya kepadanya untuk diperiksa, yang menyebabkan Campbell memeriksa kertas-kertas di kamar saya ketika saya tidak ada,” kata Kahin.
Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia
Setelah Campbell pergi, Kahin sekali lagi memohon kepada Brenthel agar membiarkannya mengirim surat-suratnya. Namun, Brenthel malah mengancam akan mengusirnya ke luar negeri. Dia juga melaporkan kepada Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim bahwa Kahin adalah agen rahasia Belanda.
Ketika Haji Agus Salim meminta buktinya, Brenthel menyebut bahwa file-file intelijen membuktikan Kahin bekas pegawai perusahaan tram di Jawa Timur dan dengan demikian dia menjadi seorang agen Belanda yang menyamar dengan baik.
Mungkin saja kesulitan yang dihadapi Kahin itu karena menolak permintaan Campbell. “Dia terus mendesak agar saya sebagai satu-satunya orang Amerika yang tinggal di Yogyakarta, harus menolongnya. Ketika saya menolak dia menjadi marah sekali dan mencaci maki saya, baik ketika itu maupun kemudian di Washington,” kata Kahin.
Baca juga: Operasi Agen CIA Pertama di Indonesia
Kahin pun mendapat berbagai tuduhan. Campbell menuduhnya pro-komunis dan Brenthel menuduhnya agen Belanda. “Karena baik intelijen Belanda maupun pers bawah tanah komunis sama-sama menuduh saya sebagai agen Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, maka Haji Agus Salim hanya tertawa kecil karena hilangnya status saya,” kata Kahin.
Setelah menyelesaikan penelitiannya di Indonesia, Kahin kembali ke Amerika Serikat. Dia menyelesaikan disertasinya tentang revolusi Indonesia di Johns Hopkin University dan mengajar di Cornell University.
Sementara itu, karier Brenthel Soesilo di TNI hingga mencapai pangkat brigadir jenderal. Campbell sendiri berhasil menyeleksi para perwira Mobile Brigade (Mobrig, sekarang Brimob) untuk dilatih secara khusus di Amerika Serikat.
Tidak diketahui pasti sampai kapan Campbell bertugas di Indonesia. Namun, menurut Rosihan Anwar, wartawan tiga zaman dan pendiri koran Pedoman, Campbell memberikan informasi kepada Belanda menjelang akhir 1949 tentang gerak-gerik persiapan Kapten Raymond Westerling yang akan melawan pemerintah Indonesia. Informasi itu benar terjadi pada 23 Januari 1950 yaitu pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Jawa Barat.
Baca juga: CIA Ungkap Peristiwa APRA Westerling
Selain Rosihan yang pernah bertemu dengan Campbell, kawan seideologi, Soebadio Sastrosatomo bahkan ditawari dana oleh Campbell.
“Pada awal 1950, anggota dinas intel Amerika bernama Arturo Campbell, bekas anggota OSS dalam Perang Dunia II (yang berdiam di sebuah rumah besar di pinggir jalan hendak masuk kota Bogor) menawarkan dana kepada saya, saya menolak,” kata Soebadio, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Pengemban Misi Politik karya Rosihan Anwar.
“Saya menolak dana yang ditawarkannya karena prinsip saya ialah tidak mau dipergunakan oleh pihak luar negeri seperti Amerika Serikat dan sebagainya,” kata Soebadio. “Sjahrir mengatakan tentang menerima bantuan dari luar negeri itu: kamu tahu di mana memulai, tetapi tidak tahu di mana mengakhiri.”